Monday, September 21, 2009

Tak akan mendendam

Aku tak ingin mendendam.
Aku tak ingin mendendam
Aku tak mau mendendam
Aku tak boleh mendendam
Aku tak bisa mendendam...

Setiap orang layak mendapatkan apa yang dia cari, even itu menyakitkan orang lain. Bagiku, bukan masalah besar jika aku disakiti, tapi masalah besarnya adalah jika aku yang menyakiti.
Maka di detik ini, jika pun pada akhirnya menyadari bahwa telah mendzholimiku, aku tak butuh permintaan maaf. Karena maaf itu sudah kuberikan jauh sebelum terpikir untuk mendzholimiku. Pembalasan pun tak akan pernah kau terima dariku, karena Allah-lah yang akan membalas dengan dengan setimpal. Aku takut, jika aku membalas, bisa jadi melebihi seharusnya dan jadinya aku yang mendzholimi.
Sikap yang kau ambil salah memang. Tujuannya benar, tapi ko pung cara yang salah. Tapi ya sudahlah, tak akan ada dendam di hati ini. Aku punya Allah yang akan menguatkanku dan ini cara Allah mendidikku merasakan sakitnya dizholimi agar aku tak mencoba mendzholimi orang lain.

Hal terakhir yang ingin kukatakan adalah, berhentilah memakai topeng yang selama ini kau kenakan. Jujurlah pada dirimu sendiri, jujurlah pada hatimu, dan belajarlah untuk bisa menghargai orang lain. Belajarlah untuk melihat sesuatu juga dari sudut pandang orang lain, sehingga kau tak melulu merasa paling benar. Sehingga kau tak melulu menyakiti orang lain dengan perkataanmu.

Tak ada dendam, setidaknya aku sedang mencoba sekuat tenaga untuk tidak membiarkan dendam masuk ke pintu hati. Kau masih akan selalu melihatku tersenyum setiap kali kita bertemu. Kau akan selalu kutempatkan menjadi teman baikku. Aku akan tetap menjadi orang yang pertama bahagia saat kau bahagia dan yang akan lebih bersedih melebihi kesediahnmu jika kau bersedih. Kau akan selalu bisa datang kapanpun berbagi lara denganku.

Hanya satu, belajarlah menghargai orang lain. Itu saja yang kupinta.



Your best, always

Ingin bisa membuat bangga..

5 cm...
Judul buku Donny Dhirgantoro yang baru saja saya baca setelah harus menunggu selama 4 bulan untuk sampai di genggaman. Penantian yang tidak sia-sia karena buku ini membuatku menyadari kembali satu hal tentang mimpi dan jembatan untuk meraihnya. Nyesal ketemu buku itu sekarang, setelahempat tahun buku itu terbit, setelah cetakan ke 15-nya (atau lebih) beredar, tapi daripada enggak kan?
Ada sebuah quote yang menarik,
Taruh mimpimu mengambang depan kening (agar selalu kau lihat), dan yang diperlukan sekarang Cuma....
Kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya
Tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya
Mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya
Leher yang akan lebih sering melihat ke atas
Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari biasanya
Hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya
Serta mulut yang akan selalu berdoa.

Buku ini juga membuatku bangga akan Indonesiaku. Bumi dimana mahameru berpijak, pecel madiun ada, tempe penyet terhidang, papeda dan colo-colo menggoda. Indonesia yang kaya, yang sejak lahir, kita minum dari airnya.

Tapi tulisan ini bisa hadir bukan tentang itu, teman. Buku itu memang mengembalikan tekadku untuk memindahkan daftar mimpi dari buku coklat ke depan keningku. Mengembalikan kebanggaan akan Indonesia meski di tengah carut marut terseok memperbaiki diri. Tapi ini bukan tentang itu. Ini adalah tentang saya dan kalian, sobat. Adakah saya berarti ataukah hanya kesia-siaan yang kalian dapat dari pertemanan ini.

Almarhum Adrian menginspirasi teman-temannya dengan selalu mengulang kalimat “sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain”. Almarhum Adrian pasti dan sangat pasti terinspirasi dari pesan baginda Rasul sejak berabad-abad tahun sebelumnya “Khairunnaas anfa’uhum linnaas...sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”.

Lalu melintaslah pikiran itu.
Bagaimana dengan saya?
Sudahkah saya memberi sesuatu yang bikin orang lain bahagia?
Sudahkah saya memberi makna di setiap kehadiran saya?
Sudahkah saya toreh jejak kebaikan di setiap perjumpaan?
Ataukah saya hanya seonggok daging yang bernama???

Teman,
Saya hanya ingin meminta maaf atas setiap kesia-siaan yang saya timbulkan. Atas berlalunya waktu tanpa makna dalam kehadiran saya di kehidupan kalian. Mungkin juga justru rasa sakit yang saya tingglkan, omongan tak penting yang bisa saja menoreh luka yang tak disadari.
Seorang bijak pernah menyuruh anaknya menempelkan paku di pagar setiap kali ia menyakiti orang lain. Dan ketika pagar itu mulai penuh, anak itu ingin memperbaikinya. Si ayah lantas menyuruh anaknya untuk mencabut paku itu satu persatu setiap kali ia berhasil meminta maaf dari setiap yang ia sakiti. Sampailah pada cabutan paku terakhir, namun si anak melihat pagar itu tak lagi sama dan tak akan pernah sama seperti sebelum dipaku.

Inilah usaha saya mencabuti paku-paku yang saya torehkan di hati kalian. Mungkin tak akan pernah sama, tapi yang saya butuhkan sekarang adalah kesempatan.
Kesempatan untuk menjadi berarti dalam tiap perjumpaan.
Kesempatan untuk bermmakna dalam setiap pembicaraan.
Kesempatan menjadi terindah dalam setiap terkenang.
Dan yang terpenting adalah kesempatan agara aku bisa belajar menjadi pribadi yang membuat orang lain bisa bernapas lebih lega karena keberadaanku disitu,

Hingga suatu ketika, saat kita tak lagi mampu berjumpa dan namaku terdengar, kalian bisa tersenyum dan bilang “itu temanku, sahabatku, saudaraku”

Maafkan segala perilaku bodohku. Dan sejak hari ini, aku akan berusaha memberi jejak kebaikan, bermanfaat bagi orang-orang di sekitarku. Maafkanku, sobat jika belum membanggakan kalian.

p.s : Menjadi sempurna adalah ketika menatap mata orang tua dan orang-orang yang menyayangi kita dan tahu bahwa kita tak akan mengecewakan mereka.



Sincerely,


Eby (dengan harap tak akan mengecewakan kalian)

Sunday, September 20, 2009

Kembali menjadi hambaMU

Rabbi,
Simpuh ini tak mampu meluruhkan puing puing sesalku
Akan Ramadhan yang kubiarkan berlalu sia-sia
Tak ada yang bisa kubanggakan dari perjalanan Ramadhan kali ini
Tak ada amalan istimewa yang mampu dengan bangga kupersembahkan

Rabb,
Akankah rahmatMU menjauhiku karenanya?
Kupinta, jangan, Ya Rabb...
Karena jika tanpa rahmatMU, maka aku tak punya apa-apa

Rabbi,
Sepertinya tak bisa kusandang kefitrian di hari ini
Namun Rabb, beri aku kesempatan sekali lagi
Untuk menghidupkan semangat Ramadhan ini senantiasa
Agar aku dapat menemuiMU dengan fitri suatu saat ketika Kau memanggilku

Allah,
Terlalu banyak dosa yang kulakukan.
Terlalu banyak perintahMU yang kulanggar
Hingga rasanya aku tak pantas mengaku menjadi hambaMU

Pintaku, Rabb
Beri kesempatan sekali lagi
Ijinkan aku kembali menjadi hambaMU
Sayangi aku, Rabb.
Itu satu-satunya yang ku perlu dalam hidupku.

Thursday, September 10, 2009

Jelang Akhir Ramadhan


Hari berlalu sedemikian cepat
Kemuliaan ini sebentar lagi berlalu
Entah apakah bisa bertemu lagi,
Ataukah menjadi pertemuan terakhir

Saat-saat akhir seperti ini,
Resah, cemas, kesempatan ini sebentar lagi berlalu
Sudahkah termanfaatkan dengan baik?
Tarawih itu, tadarrus itu, subuh berjamaah itu,
Pukulan beduk lepas tarawih itu,
Wajah2 penuh senyum dan ceria
Khas ketundukan yang keluar dari rumah Allah

Ramadhan, sungguh bulan penuh berkah
Mempertemukan setiap yang berjauhan
Saudara, kerabat, semuanya
Subhanallah......

Allah.....
Ramadhan ini, akankah jadi yang terakhir untukku?


Gambar dari sini

Tuesday, September 01, 2009

Obrolan Hati Dua Sahabat


Suatu waktu, seseorang berkata padaku....

"by, kenapa? aduh, saya sedih dengarnya. Kenapa sih? Sudah dipikirkan baik2?"
*sambil meneteskan air mata yang tak kumengerti untuk apa*

saat itu aku hanya mampu bilang....

"ini jawaban istikharahku. Mungkin terlihat salah bagi orang lain, tapi inilah yang benar-benar ingin kujalani, kuambil dengan penuh keyakinan. mengertilah"
*tanpa air mata*

ia berkata lagi ...
"tapi kenapa by? tolong dipikirkan lagi"
*masih dengan air mata*

.....hening....
lalu ku menjawab
"suatu saat kau akan mengerti. tidak sekarang, tapi nanti"
*dan aku berlalu*

lalu, baru saja ia menghubungi dan bilang...
"by, saya tau sekarang kenapa keputusan itu yang kau ambil"

"kenapa?" jawabku

"karena kau bahagia dengan keputusan itu kan? senyummu kulihat lebih lebar, tawamu terdengar lebih lepas, ceriamu mulai merembesi hati. baru sadar, bahwa sebelum keputusan itu kau ambil, senyum, tawa dan ceria itu tak sempat kujumpai dengan lega"

Terimakasih kawan. akhirnya kau mengerti mengapa sahabatmu ini mengambil jalan ini. akhirnya kau tahu, bahwa inilah langkahku menuju bahagia, meski harus bersakit dahulu. Karena bukankah malam akan semakin kelam jika fajar akan terbit?

seandainya kau ada disampingku saat ini, ingin kupeluk dirimu atas pengertianmu sekarang. Terimakasih untuk selalu disampingku meski kita berbatas jarak.