Saturday, November 27, 2010

(23) kawan baru

beberapa hari ini saya bertemu dengan 5 kawan dari kabupaten Aceh Selatan. Saat saya berkumpul dengan kawan kawan Ambon dan mereka ada di sekitar, raut mereka bingung dengan bahasa kami juga kecepatan kami dalam bicara..

Sampai tadi,ketika saya menemani mereka berlima makan malam, saya yang terkagum kagum dengan bahasa mereka. Serasa ada di ujung Indonesia sana..

Orang Aceh itu sopan, ceria, lucu dan mereka tidak canggung dengan kami,orang timur ini. cepat sekali mereka melebur dan bahkan menitikkan air mata ketika menyanyikan lagu Gandong bersama kami..

Senang bertemu kalian,5 kawan baruku, 5 saudara baruku..

Friday, November 26, 2010

(22) tentang rasa

sudahlah...
terima saja.
sebuah takdir sedang terjadi
bukan sekali ini kan?

melepas dan dilepas adalah niscaya
dan jika harus terjadi sekarang
lantas kenapa?
terima saja.

ikhlaskan saja
yang lebih baik akan hadir
pada saatnya
pada masanya
ayuk, ceria yuk...

Thursday, November 25, 2010

(21) Melepas Dari Hati

Memiliki sesuatu dalam waktu yang lama mungkin adalah sebuah hal yang menyenangkan. Tapi jika sesuatu itu pada akhirnya ternyata mendatangkan hal hal yang tidak menyenangkan, kenapa mesti enggan melepas?

Orang kudu belajar kan?
Saya juga belajar lho. Bahwa gak baik ternyata jika terlalu merasa memiliki sesuatu. Karena pada kenyataannya kita tidak pernah memiliki apa apa kan di dunia ini.

Jadi intinya, saya harus melepas sesuatu yang selama ini saya pikir punya saya. Tapi buat saya tidak terlalu berat, kenapa? Karena saya yakin dengan penuh yakin seyakin yakinnya bahwa Allah akan mengganti dengan lebih baik.

Monday, November 22, 2010

(18) Tetangga Resehhh....

Kok ada ya tetangga rese~nya naudzubillah min dzalik. Muka tembok bener. Seenaknya aje datang mandi di kamar mandi orang gak pake basa basi dulu. Malah lewat depan yang punya rumah kayak liat patung gak pake permisi dulu. Udah gitu meninggalkan sampah di area kamar mandi, gak ngajarin anaknya yang buang bungkusan cemilan ke dalam sumur. Sudah gitu pulangnya bawa kayu kayu sisa pagar kita tanpa minta euy.. Busyet dah punya tetangga kayak begini.

Amit amit dah. Bukannya kikir aer, ngapaen juga air disimpan simpan. Tapi sikapmu ketika di rumah orang gimana? Tidak beretika..

Sungguh, saya kasihan sama 3 anaknya yang hidup di lingkungan keluarga yang tidak punya etika. Pasti tidak dapat pelajaran etika nanti. Besarnya nanti mau jalani hidup seperti apa?

Sunday, November 21, 2010

(17) menjadi bermanfaat

kembali membaca 5 cm-nya Donny Dirgantoro..

dan kembali hatiku menggigil.

semoga tidak terlambat untuk saya mencoba menjadi bermanfaat bagi siapapun. membuat orang bernafas lebih lega karena keberadaanku disitu

Saturday, November 20, 2010

(16) Rekonsiliasi

Need to know...that you will always be
Same old someone that i knew


~penggalan Just The Way You Are - Billy Joel~

Friday, November 19, 2010

(15) Episode Sumiati

Episode Sumiati digelar. Rasa rasanya kita sudah terlalu sering dengar hal seperti ini. Kenapa selalu berulang ya? Gak di Malay, di Arab, semua sama saja. Tapi kita lagi korbannya. Perlu berapa Sumiati supaya kita bisa belajar. Apakah manajemen atau kontrol penyalur yang perlu diperbaiki? atau komunikasi KBRI KBRI disana dgn pemerintah setempat intens? Atau selain bekal ketrampilan yg harus dimiliki, TKI juga dibekali bela diri biar bisa smek don balik majikannya..

Apa sajalah. Yang jelas harus ada yang diperbuat karena Sumiati bukan pertama dan yakin bukan yang terakhir.
Ternyata Indonesiaku masih dijajah...

Saya juga TKI, tenaga kerja asal Indonesia. Alhamdulillah saya gak perlu sampai ke Malay atau Arab sana.

Thursday, November 18, 2010

(14) Sejenak

Baru sebentar singgah
Jejak yang ditinggal terlalu dalam
Mungkinkah sembuh?
Saat tak ingin sembuh?

Berlari dalam keasingan
Dan senja mengabarkan satu rasa
Tanpa menunggu hadir bintang
Penat telah hadir tanpa permisi

Tak apa,
Terbanglah,
Ukir harimu sendiri.
Aku pun sedang mengukir punyaku

Wednesday, November 17, 2010

(13) 10 Dzulhijjah

Lebaran itu selalu menyejukkan. Menyentil ketaatan kita. Lihat pagi ini, kaum muslim berbondong bondong dengan rapi, wajah yang bersih berseri, pakaian terbaik (bukan terbaru) menuju rumah Allah.

Sesampai di masjid, shaf disusun dengan indah. Tak peduli ketua RT atau Kepala Dinas atau Abang becak atau Manajer atau Pemulung, semua sejajar. Tunduk menghamba Sang Pencipta.

Lalu kambing dan sapi itu. Di hari biasa, betapa menjengkelkannya menghirup udara tidak sedap dari hewan hewan itu. Nae nae otak, kata orang Ambon. Tapi di Idul Adha ini, tak ada keluh kesah berdampingan dengan hewan hewan persembahan. Betapa keikhlasan telah menundukkan rasa tak enak. Indah, indah sekali rasanya.

Allah, jika hari ini, di 10 dzulhijjah ini, saya masih menghadapmu di masjid terdekat dari rumah, ijinkan hamba, suatu saat nanti, bisa menghadapMU di ka'bahMU, di 10 dzulhijjah yang lain..

Selamat ber-ied Adha, teman. Semoga meneguhkan pengorbanan pada Rabb Tercinta, dengan keikhlasan sempurna.

Tuesday, November 16, 2010

(12) Ikhtiar Berhaji; Ramadhan ke tujuh 2003




Allah, saya tidak tahu kapan akan bersimpuh di depan RumahMu, saya hanya tahu, hari ini saya melangkah ke Bank untuk menabung…maka jika sudah cukup waktu untuk mencerap liku-liku itu, ijinkan saya membasuh wajah yang gelap ini dengan zam-zamMu. Berkatilah saya… (Dhuha, sesaat sebelum ke BNI)

Lama saya melantunkan permintaan untuk ke haji. Lama saya mengamalkan bacaan surah Al-Hajj. Saya juga membaca bermacam buku tentang perjalanan haji. Tetapi terus terang saya sama sekali belum memulai menabung sepeser pun untuk ke sana.
Tiap kali saya membaca surah Hajj, dan beberapa surah tentang haji, mata saya berkaca-kaca. Saya menyimak perintah haji dan ritualnya langsung dari sumbernya. Hati saya berdegup kencang manakala bacaan saya sampai pada ayat yang menceritakan perjalanan Sitti Hajar, ibunda Nabi Ismail, antara shafa dan Marwa. Kelak ayat inilah yang menjadi bacaan wajib ketika kaki mulai menapaki perbukitan shafa dan marwa, begitu saya baca dari buku petunjuk Haji.

Di tengah ketidakpastian kecukupan dana, sungguh mati perjuangan Ibunda Sitti Hajar bolak balik antara shafa dan marwa membayang di mata saya. Ooo…perjuangan yang saya lakukan, pengharapan yang saya panjatkan, sesungguhnya belum apa-apa dibandingkan kerasnya perjuangan yang dihadapi oleh Ibunda Sitti Hajar.
Membayangkan perempuan yang baru beberapa bulan melahirkan bayi laki-laki, harus berlarian dari satu bukit ke bukit lain di tengah kesendirian untuk mencari air bagi anaknya. Membayangkan perempuan hitam yang tengah kepanasan, yang harus menekuk perasaan ditinggal sendirian di padang tandus…Tak ada keterangan terperinci pada Qur’an bagaimana suasana hatinya. Tetapi sebagai perempuan, apakah saya tidak dapat sedikitpun merasakan penderitaan itu? Ooo..adakah kesulitan yang menyamainya? Bahagia melahirkan bayi sehat, tetapi sekaligus juga harus menelan kenyataan ditinggalkan oleh suami untuk berupaya survive..adakah kesakitan pasca melahirkan dihapuskan Allah untuknya? Ataukah sakit itu tetap terasa sambil berlari mencari sumber kehidupan?

Melihat ke diri, membanding apa yang dilakukan oleh ibunda Sitti Hajar, ahai…adakah celah dalam diri untuk berputus asa? Saya menjadi tak berani membanding kesukaran yang saya hadapi dengan apa yang pernah dialami oleh perempuan yang dari rahim mulianya terlahir Nabi Ismail. Inilah bagian yang menyemangati saya untuk terus berharap dan berusaha mencukupi diri dengan bekal materi dan non materi untuk tiba di rumahNya.

Dalam pengharapan itu, saya bertemu dengan seorang guru Taman Kanak-Kanak. Beliau baru pulang dari menjalankan Haji. “Saya menabung selama dua puluh tahun dik”. Biar mi* lantai rumah hanya semen biasa, tetapi saya ingin letakkan wajah saya di Keramik Mesjid Haram” saya menyimak ceritanya di satu pagi saat kami hendak melakukan pertemuan rutin pengurus ‘Aisyiyah Makassar. “Jadi guru TK ‘Aisyiyah itu berapa gajinya? Adik tentunya tahu..” timpalnya pada saya. “tetapi saya tetap tabah saja. Saya tetap menabung, biar sepuluh ribu” wah..saya mulai membanding penghasilnnya dengan penghasilan saya selaku dosen.

Perbedaan penghasilan yang Allah berikan pada saya dengannya berlipat lipat kali. Memang dalam hitungan penghasilan saya berlebih dari Bu Guru TK ‘Aisyiyah. Tetapi dalam hal kegigihan menganyam niat ke tanah suci..saya jauh..jauh sekali di bawahnya. Dua puluh tahun bukan hal yang singkat untuk meneguhkan sebuah niat. Mungkin niat itu telah mengeras menjadi batu.
Kiranya cukup sudah pergolakan batin saya. Ada Guru TK ‘Aisyiyah yang tabah menabung. Ada perjalanan Sitti Hajar yang sangat gigih dan tabah. Ada dorongan Haji Udin Wally, kakak sepengajian saya di Ambon, untuk segera menabung “Tugas Ida menabung, bukan barekeng** cukup atau tar*** cukup. Itu urusan Allah. Nanti Antua yang kasi cukup akang****” begitu nasihatnya untuk saya. Juga amalan-amalan yang saya lakukan, semuanya bercampur menjadi satu. Saya menggigit geraham kuat-kuat. Adakah keraguan saya untuk melangkahkan kaki menabung haji?

Maka, ketika saya terseleksi menjadi Fasilitator Panwas Pusat untuk melakukan pelatihan bagi anggota Panwas di tingkat propinsi, kesempatan itu muncul dengan entengnya. Karena saya terseleksi, saya harus mengikuti penataran fasilitator di Jakarta selama seminggu. Saya diberi uang saku sebanyak Rp.1.250.000. Saya bertekad untuk menggunakan sepenuhnyan uang ini untuk membuka tabungan haji. Saya sama sekali tidak membuka amplopnya. Utuh.

Usai penataran, pagi itu, di atas sajadah saya memegang amplop berkop Panwas Pusat Jakarta dengan gemetar. Saya memeluk amplop itu kuat-kuat. Saya meletakkannya di dada saya. Menunduk dalam-dalam, di atas sajadah..”Allah, beta pung modal cuma ini*****”. Saya bergumam. “beta tar tau apa tempo bisa sampai ke RumahMu, tetapi sioo.. ini beta pung ikhtiar******”.

Saya mengangkat tangan ke atas, memandang langit-langit kamar..betapa ingin saya menembus langit-langit itu. Betapa ingin saya melihat gemawan yang putih, betapa rindu saya pada jejak Nabi. Amplop itu masih ada dalam dekapan saya. Dalam sujud yang sederhana, saya mengangkat permohonan dengan segala rasa dan asa..saya membenamkan segala keinginan di situ...lalu bergulirlah harapan dari mulut saya.. “Allah, saya tidak tahu kapan akan bersimpuh di depan RumahMu, saya hanya tahu, hari ini saya melangkah ke Bank untuk menabung…maka jika sudah cukup waktu untuk mencerap liku-liku itu, ijinkan saya membasuh wajah yang gelap ini dengan zam-zamMu. Berkatilah saya…terima kasih Allah atas perasaan ini”

Usai sudah dhuha di ramadhan ke tujuh. Ketika saya mengisi form aplikasi tabungan haji, petugas bank menanyakan kapan mau ke haji. Saya hanya tersenyum. Saya menggeleng kepala padanya. Saya tidak tahu kapan saya bisa ke sana. Saya hanya tahu kalau hari ini saya melengkapi ikhtiar itu.
Form itu tidak rumit, tetapi saya mengisinya dengan lantunan doa dan shalawat. Saya tidak mau kehilangan sedikitpun moment ini. Saya harus selalu terjaga ketika tangan saya mengisi form tabungan haji. Lalu ketika saya harus mengisi nama lengkap dengan nama Aba, ayah saya...duh.. ada yang menggetarkan hati saya. Aba, ayah dan juga guru ngaji saya, yang berangkat ke haji tiga hari setelah saya lahir, nanti tidak sempat melihat saya berangkat ke haji jika masa itu tiba. Meskipun Aba telah berpulang ke rahmatullah jauh melewati saya, hari ini saya masih menggunakan namanya untuk melengkapi nama saya, Faidah Binti Agil Azuz. Duh..entah kapan nama Aba ikut tertulis di koper haji..

Catatan kata-kata :
*Biar mi (logat Makassar) = biarlah
**barekeng (bhs Ambon) = berhitung
***tar (bhs Ambon ) = tidak
****akang = itu
*****Allah, beta pung modal cuma ini (bhs`Ambon) = Allah, modal saya cuma ini.
******beta tar tau apa tempo bisa sampai ke RumahMu, tetapi sioo.. ini beta pung ikhtiar (bhs Ambon) = saya tidak tahu kapan bisa tiba di rumahMU, tetapi duhai.. inilah isktiar saya.

---------------------------------------------------------------------------------

Satu lagi tulisan dari Ca Ida Sialana. Kisah tentangnya berhaji juga sudah pernah kutuangkan di sini.

Kawan, membaca catatan hatinya kali ini sungguhlah membuat diri ini bersimpuh malu. Tulisan ini saya terima di email pada dini hari. Sungguh tahajjud malam itu begitu beda. Banjir akan sebuah pengharapan dan rasa malu kepada Rabb bahwa diri ini hanya meminta tanpa berusaha. Tanpa satu langkah kecil, tanpa ikhtiar apapun.

Jiwa ini lemah di hadapan Rabb, jiwa ini begitu tergugu dengan panggilanNya. Hanya bulir air yang membasahi pipi tertunduk malu, tertunduk penuh nista di hadapan Pencipta. Lalu diri ini berkaca, bagaimana mungkin Allah akan memanggilku ke rumahNya jika aku masih sering menunda panggilan adzanNya. Bagaimana mungkin Allah memanggilku ke rumahNya jika berlama lama di sajadah pun ku tak mampu. Bagaimana mungkin aku dipanggil melantunkan banyak doa langsung di rumahNya jika surat cinta dariNya jarang kubuka. Bagaimana mungkin aku dipanggil ke rumahNya jika aku tak mulai mengumpulkan duit sesen demi sesen untuk kesana. Bagaimana mungkin aku berharap kesana tanpa satu pun ikhtiar. Dan aku pun tergugu...

gambar dari hasil googling, diambil dari sini

Monday, November 15, 2010

(11) Panggil Kami

Rumah itu, Tuhan
Sudikah kau panggil aku kesana?
RumahMu, Rabb
Bolehkah aku kunjungi?

Di bening hari
Dalam remang senja
Pada pekat malam
RumahMu indah

Panggil kami, Allah
Jamu kami
Di rumahMu
RumahMu

Sunday, November 14, 2010

(10) kamu

ini tentang....



kamu.
ya, kamu
yang bikin sesuatu rumit jadi mudah
tapi di saat yang lain
hal mudah jadi ribet

ini tentangmu
yang selalu tersenyum saat aku marah
yang tenang saat aku meledak
yang marah saat aku mulai tak biasa

tahukah kau?
kalau di doaku
selalu ada namamu
nama kita

banyak doa berkejaran di langit
untuk harapan harapan kita
kelak atas izinNYA
nama kita akan bersanding

dalam bahagia..

Saturday, November 13, 2010

(9) pusing

lembur semalam dan kerja all day long menyisakan sakit kepala kini..

tapi daripada postingan hari ini kosong. maka saya tuliskan hal gak penting ini.

maafkan, tak bisa berlama lama. saya harus, saya perlu istirahat

Friday, November 12, 2010

(8) 6 tahun 6 hari

Iseng mengobyak abyik blog tercinta ini, ternyata postingan pertama saya tertanggal 6 november 2004. Dan sekarang 12 November 2010. Waah, berarti rumah ini sudah 6 tahun 6 hari.

Banyak sudah yang tertulis. Membaca tulisan tulisan lama seperti melemparkan diri ke masa silam. Seperti melihat saya yang dulu. Kalau ada waktu lebih banyak, saya ingin obyak lebih jauh, siapa yang nyampah pertama disini. Mencari tahu kemana sahabat sahabat blog yang lama. Dan mengurai kisah kisah inspirasi lama.

Saya jabat tangan sendiri, Selamat 6 tahun 6 hari. Terimakasih telah membersamai saya, membiarkan saya menulis banyak hal gak penting disini. Terimakasih jadi tempat berteduh, ngomel gak jelas.

Semoga ke depan bisa bersama dengan lebih menebar manfaat

Thursday, November 11, 2010

(7) Sebuah Catatan

Saya suka hari ini. Meski capek tapi begitu sarat hikmah. Bertemu dengan dua orang biasa yang melakukan hal hal luar biasa.

1. Dalam kesempatan apapun, tetaplah menolong orang
2. Permudah orang yang berurusan dengan kita
3. Jangan pernah tinggalkan shalat
4. Menunda waktu saja celaka, apalagi meninggalkan
5. Nikmat mana lagi yang kau dustakan? hitunglah yang ada pada dirimu
6. Allah tidak pernah menuntut balas atas apa yang telah Ia berikan, kenapa begitu sulit kita bersyukur?
7. Jika tak shalat, berarti tidak meminta pertolongan pada Allah. Lalu minta tolong sama siapa? iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin
8. Berikan tempat pada musafir
9. Kalau Allah belum mengabulkan doa, jangan putus asa. Allah suka kita terus meminta
10. Masih banyak lagi..

Nasehat dari mereka tembus ke hati saya. Karena saya tau mereka tak sekedar bicara tapi mereka melakukan apa yang mereka bagi kepada saya. Dan saya mendapati mereka berdua sebagai pribadi yang tenang dan selalu bahagia..

Ah, saya tertampar. Tentang menunda nunda waktu sholat, tentang terburu buru dalam berdoa. Saya tertampar banyak. Terutama karena baru saja saya mengecewakan beberapa rekan KPM Desa Waimital yang mengundang saya untuk berdiskusi. Mereka sudah mengkonfirmasi kehadiran saya sejak kemarin siang hingga tadi siang. Qadarullah, setengah jam sebelum agenda, saya dengan berat hati dan penyesalan mendalam serta rasa bersalah yang besar harus membatalkan rencana kehadiran karena sebab yang tak bisa dihindari.

Semoga saya tidak dicap mempersulit keadaan, tidak dianggap ingkar. Saya hanya berharap kekecewaan itu tidak ada di hati mereka, dan kalaupun ada, semoga tidak menjadi penghalang rahmat Allah pada saya. Mereka membalas sms saya dengan sebuah kalimat yang menyejukkan "gak apa apa mbak. untuk itulah ada kata InsyaAllah. Mungkin belum rezeki kami. Semoga bisa ketemu di lain kesempatan". Ya, semoga dimudahkan di lain kesempatan,insyaAllah.

eh, saya belum isya. pamit mundur temans.

Wednesday, November 10, 2010

(6) jebol satu hari

jebol sudah 365 hari blog. satu hari kemarin saya tak sempat memposting apapun. bukan hal yang disengaja, hari ini si bos berangkat ikut meeting di ibukota RI jadi saya harus mempersiapkan bahans yang akan beliau bawa sekaligus mengirimkannya ke rekans yang ada di jekate sana.

semua baru kelar di jam 6 sore lalu dilanjutkan dengan pengajian pegawai hingga jam 8. disambung ini itu, saya baru bisa memeluk bantal di 11 malam. sebenarnya jemari nan lentik ~haiyah~ ini sudah siap melenggang ke dasbor tapi apa daya, mata tak sanggup lagi terbuka. maka tangan pun memilih tidur..

jebol sudah 365 saya.

hari ini agendanya ngedit buku. dan hingga jam saya posting, br sampai di halaman 97 dari 255 halaman. ditemani gemuruh genset dan ributnya mesin potong rumput di luar sana, telingaku sudah sakit sedari tadi..

okelah, saya lanjutkan dulu ngeditnya temans.

salam hangat sehangat secangkir kopi yang menemani.

Monday, November 08, 2010

(4) Tanya : dimanakah cinta, setia?

Dua kisah yang membuat hatiku banjir hari ini. Banjir akan kisah wanita yang di dholimi juga wanita yang kebablasan.

Kisah 1 : si wanita menggugat cerai suaminya setelah 8 tahun pernikahan. apa pasal? Karena ternyata sang suami telah menikah 5 bulan yang lalu tanpa memberi tahu sang istri. Alasan sang suami adalah tak ada keturunan hingga saat ini.. haruskah begitu? haruskah? tak adakah cara yang lebih elegan? yang lebih berperasaan?

Kisah 2 : seorang lelaki yang sudah memiliki 5 anak selingkuh dengan perempuan yang sudah memiliki 2 anak. Ketahuan dan akhirnya suami si perempuan sedang menempuh jalur hukum untuk hal ini.

Saya jadi bertanya, kalo karena tidak ada keturunan, rumah tangga bisa berantakan, kenapa rumah tangga yang banyak anak juga ada yang berantakan?

Cinta yang dulu dimiliki mana? Janji di depan Tuhan yang dulu diucapkan mana? Kenapa tidak bisa bertahan dengan satu cinta? Kenapa

Semoga saya, anda, tidak memiliki kisah kisah seperti di atas.

Sunday, November 07, 2010

(3) Bait Merapi

cerita kita memang telah usang
tapi tak mampu menahanku melempar sebaris doa
di antara debu debu itu
semoga kau tetap terjaga
dalam sabar
dalam ikhlas

baik baiklah disana
sungguh tak tau lagi apa kata
baik baiklah disana
baik baiklah disana

Saturday, November 06, 2010

(2) Biasa Aja dong...

Baru saja iseng (iseng kok tiap sabtu?) nonton film korea yang judulnya mmmm.. apa ya?
Lupa judulnya karena saya juga bukan penonton setia.
Pada episode yang kutonton tadi, ceritanya seorang anak presiden yang berhubungan dengan seorang polisi. Si polisi itu tidak tau bahwa kekasihnya itu ternyata putri dari presiden. Bahkan teman-teman kantor si gadis pun tak tau bahwa rekan mereka ini putri Presiden. Memang tak ada pengawalan khusus, dan dari beberapa dialog, baru ngeh kalo memang ceritanya masyarakat sendiri gak tahu kalo presiden punya seorang putri.

Di suatu perhelatan, ada satu agenda yang harus dihadiri oleh ibu negara. Berhubung negara itu tidak memiliki ibu negara (jangan tanya mengapa), maka negara itu diwakili oleh putri presiden. Barulah masyarakat ngeh baru Presiden memiliki putri yang selama ini tidak tahu rupanya.

Alkisah, si gadis gelisah karena ini berarti ia harus tampil di depan publik sebagai seorang putri. Pada pagi hari sebelum malam perhelatan itu, putri dan kekasihnya yang polisi itu lari pagi. Wajah putri yang murung, mengundang tanya dari si Polisi.
Putri pun berkata, "Bagaimana jika ternyata saya adalah anak dari orang yang status sosialnya tinggi, tinggi sekali. Bagaimana kalau ternyata saya ini anak Preseden? bagaimana perasaanmu?".
Lalu kekasihnya tertawa dan menganggap itu sebagai lelucon, "ayahmu mau mencalonkan diri jadi presiden? jadi Walikota saja dulu". Sebelum ada pembicaraan lebih lanjut, si polisi mendapat panggilan kembali ke kantor.

Sesampainya di kantor, polisi tersebut mendapat tugas ikut dalam tim seperti secret service di acara nanti malam, karena putri Presiden akan hadir sehingga harus memastikan keamanannya. Singkat cerita, di malam itulah, ketika putri Presiden tampil di atas panggung, si polisi terkejut karena yang di atas sana adalah kekasihnya.

Well, kenapa saya angkat ini?
Karena ini mengingatkanku pada satu peristiwa kira-kira dua tahun lalu. walaupun itu hanya fiksi, tapi tak ada salahnya jika saya bandingkan dengan keadan yang saya lihat.
Hari itu, saya dan adik dalam perjalanan entah kemana (lupa), mendekati daerah Abdulalie, terdengar raungan mobil yang seakan meminta (menghindari kata memaksa) pemakai jalan yang lain untuk menepi. Terlihat dua mobil mewah beriringan dengan "angkuhya" dan mendadak berhenti di depan rumah makan dedes. Saya bilang berhenti, bukan memarkir. Ya, dua mobil itu berhenti tepat di tengah jalan hanya untuk menurunkan rombongan yang mau makan di Rumah Makan Ikan bakar cukup terkenal di Kota Ambon ini. Bisik-bisik tetangga, ternyata itu adalah rombongan anak para petinggi yang mau santap siang.

Hufftt... membuat macet yang cukup panjang dan dalam waktu 10 menit, itu bukan hal biasa. Entahlah, apa karena status sosialnya yang tinggi lantas boleh bersikap seperti itu?

Heran, dan miris hati ini. Sama mirisnya dengan pandangan mata saya ketika meelusuri jalanan kota Ambon kemarin sore. Tampak pihak keamanan berjaga di banyak titik dengan jarak titik hanya sekitar 100 m. Untuk apakah? ada apakah? Cek dan ricek, karena orang pusat sedang mengunjungi Maluku. Bah, kenapa mereka datang, rakyat dijaga? Emang rakyat mau ngapain? Yang milih beliau juga rakyat kan? Kenapa keamanan beliau harus dijaga segitu rupa dari rakyat? Rakyat gak akan ngapa-ngapain kok pak. Percaya deh...

Friday, November 05, 2010

(1) tentang lara

Jelang 15 menit menutup hari pertama dr 365 day blog project. Mencoba posting sedari awal malam namun jaringan tak cukup bersahabat

Sebenarnya ingin posting tentang hal lain disini, ada tentang senangnya kopdar blogger maluku tadi, atau supir mobil yang saya tumpangi, atau angkot butut yang saya naiki. Tapi semua mendadak terpendam oleh lara melihat tayangan peristiwa merapi yang kembali beraktivitas..

Tak cukup kata mampu saya rangkai.. Meminta mereka bersabar dan ikhlas adalah tidak mudah karena saya pun belum tentu bisa sabar dan ikhlas jika di posisi demikian. Hanya bisa menatap kosong wajah wajah yang dipenuhi debu

Tak ada kata terucap. Semoga bisa terlalui.. Saya benar benar speechless

365 day blog project

5 november. resolusi bulan november saya adalah satu postingan satu harinya.http://www.blogger.com/img/blank.gif Sudah 4 hari berlalu dan alhamdulillah semangat posting masih terjaga.

Dan dari blogwalking sana sini, saya nemu blog mas deddy yang konsisten dengan project 365 day blog. Merasa tertantang, maka saya putuskan untuk nyemplung project ini juga.

Aturan yang saya pakai adalah one day one posting. tidak ada hutang, tidak ada deposit dalam kondisi normal. Sama dgn aturan main mas deddy. Namun, saya buat kelonggaran bahwa Hutang dan deposit boleh saya lakukan hanya jika ada hari dimana saya harus ke daerah yang tidak bersinyal. Mengingat bulan november desember ini, Saya juga punya project kantor yang mengharuskan saya turun lapangan ke beberapa desa no signal.

hari ini hari pertama, dan postingan ini belum termasuk 365 day blog project. selamat bergabung... ~jabattangansendiri~

Thursday, November 04, 2010

Seroja Part 2 yang Tertunda

Pasca PB 2010, blogger Maluku pun “iri” dengan perkembangan komunitas blogger di daerah lain. Salah satu maskot blogger maluku yang berjudul Almas berkesempatan mengikuti PB 2010 dan pulang dengan membawa cerita yang cukup bikin yang lainnya “jealous”. Mumpung semangat baru saja dipanasi, kami berencana berkumpul, bukan sekedar kopdar tapi seius bahas konsep blogger maluku yang kalo kata band Armada “mau dibawa kemana hubungan kita”. *dikeplak*.

FYI, pertemuan pertama blogger Maluku di tanggal 4 April 2009 di Kafe Seroja. Setelahnya berlanjut dengan banyak kali kopdar formal dan non formal. Lantas inilah saatnya Seroja Part 2, meski bukan di Kafe Seroja tapi dengan semangat yang dulu pernah berkobar di Seroja.

Then, lewat inbox fb, kami pun sepakat bertemu di hari Rabu tanggal 3 November kemarin. pukul 3 sore di Kota Ambon. Mengingat saya yang sedang terdampar di kota Piru yang berjarak 4 jam perjalanan, entah berapa mil laut itu, sudah menyiapkan diri sedari malam untuk mengikuti. Ijin kantor cuma setengah hari sudah kukantongi, ijin tidak mengikuti satu kegiatan di sore hari juga sudah didapat.

Jelang pukul 11, belum bisa meninggalkan kantor karena satu dan lain hal. Setelah menyelesaikan beberapa hal hari itu, berangkatlah kami, saya dan iwan (kerabat yang setia mengantar kemanapun saya pergi), dengan mengendarai sepeda motor menuju Waipirit. Saat itu, sudah pukul setengah dua belas siang. Jika tak ada kendala dalam perjalanan maka saya bisa sampai jam setengah satu dan menumpangi feri Waipirit-Liang jam 1 siang.

Baru saja meninggalkan Kota Piru, kami disambut hujan rintik, kecil, genit. Sisa sisa hujan lebat masih terlihat di jalanan yang basah. Bersyukur kami tidak berangkat jam 11 tadi, karena itu berarti akan kehujanan. Sembari menikmati rintik itu, kami berkelakar bahwa Tuhan juga tahu orang baik yang mau lewat, jadi hujan sudah selesai. Bukan maksud untuk takabbur atau apa, hanya sekedar menyenangkan hati dan berpositive thinking dalam perjalanan.

Hujan yang menggoda tapi tidak mengganggu ini menemani sepanjang setengah perjalanan. Mendekati desa Waisarissa, kami disambut hujan yang lebat yang memaksa kami harus berteduh di halte. Sayangnya, gunung yang sedang kami lewati ini tidak menyisakan tempat yang tepat untuk berteduh. Karena tak ada jas hujan, dan juga tak ada tempat berteduh, sementara halte masih 15 menit lagi perjalanan, mau tidak mau kami harus siap basah. Sesampai di halte, sudah banyak para pengendara sepeda motor yang juga berteduh. Dua puluh menit saya harus menunggu dengan gelisah sambil sesekali melirik jam yang justru bikin stress.

Hujan mereda sedikit, sedikit saja. Saya “memaksa” Iwan yang tanpa jas hujan, juga tanpa jaket, untuk melanjutkan perjalanan. Kembali berteman hujan, kami meneruskan perjalanan hingga Waipirit. Tapi begitulah, saya tidak ditakdirkan bertemu feri. Feri baru muncul pukul setengah dua. Dan biasanya, feri akan tambat di pelabuhan satu jam setengah untuk menurunkan penumpang serta menaikkan penumpang plus kendaraan-kendaraan.

Tiket feri sudah di tangan, namun hitungannya, kalau saya memaksakan diri berangkat, maka saya baru bisa bertemu dengan rekan-rekan blogger jam ½ 6. Dua setengah jam dari jadwal. Hmmm……. Setelah sms dan tlp, dengan sedikit merengek pada om Almas, saya meminta pertemuan diundur lagi. Meski sebenarnya bisa aja sih jalan tanpa saya. And, beberapa menit kemudian, telpon genggamku berdering dengan nama Almas di layarnya. Ia mengabarkan bahwa setelah kontak yang lain, agenda kopdar serius ini mundur 2 hari lagi alias Jumat. Uhuy senangnya, mereka memang menyayangiku *tsah…*

Saya pun kembali ke Piru dengan kembali basah. Hari kemarin judulnya adalah Mandi Hujan dengan rute Piru-Waipirit-Piru.

Terimakasih kepada Om Embong, Om Mamung, Pakde Dharma, Bang Almas dan Bung Semmy yang bersedia mengubah jadwal pertemuannya. Persohiblogan emang top, euy.

Sampai ketemu hari Jumat, dan mengutip kata Caca Ida Azuz “Mari katong bakaringat par ator negeri dan diri ini bae-bae supaya ada guna sadiki”

Catatan :

  1. Jangan kemana-mana tanpa membawa jas hujan (bagi pengendara sepeda motor)
  2. Saat posting ini ditulis, sempat terhenti karena bertemu dengan seorang wanita yang luar biasa, menginspirasi dengan tindakan nyata bagi ummat. Wanita yang mampu tertawa saat sedih. Suatu waktu, insyaAllah saya akan menulis tentang wanita hebat ini.

Wednesday, November 03, 2010

Allah, ini beta

Apa yang akan teman-teman baca ini adalah salah satu tulisan indah dari saudara saya, kakak saya, inspirasi saya, Faidah Azuz Sialana. Ia yang sering saya sapa dengan ca ida, pagi pagi sudah membuat saya terharu dengan tulisan ini. Ada yang mengalir di dinding hati lalu dengan pertanyaan "kapankah saya dipanggil?". Dan jawaban juga saya temui bahwa saya akan dipanggil ke Baitullah, hanya jika saya memantaskan diri untuk dipanggil. Tulisan ini pernah dimuat di Harian Ambon Ekspress di Tahun 2009, sengaja kami, saya dan ca Ida, mengangkatnya kembali untuk berbagi. Buat saya, tulisan ini ada pendidikan, ada renungan, ada inspirasi, komplit seperti nasi goreng, ada telur, ada ayam eh ada dendeng juga. Mantap pokoknya. Selamat menikmati sajian kami.




Allah, Ini Beta…
Oleh: Faidah Azuz Sialana

“Ingatang, orang itang (jama’a haji Afrika) tu suka injak katong pung tampa testa, dong suka sarobot tampa sonder parmisi, dong tar tau atorang**” dan banyak sekali warning yang diberikan pada saya ketika hendak berangkat ke tanah suci beberapa waktu yang lalu. Agaknya pikiran saya mulai terpengaruh. Membuat saya menganggap orang hitam sebagai musuh yang harus saya lawan. Pikiran saya mulai menyusun strategi bagaimana menghadapi orang hitam itu. Lengkap dengan beberapa kata penolakan dalam bahasa Arab dan Inggris yang saya hafal baik-baik dari tanah air. Pokoknya saya harus fight.

Lalu tibalah saya di Madinah. Menjelang pintu masjid Nabawi untuk shalat Ashar pertama saya telah menyiapkan diri kalau-kalau bertemu dengan orang hitam. Bagaimana sikap saya, apa yang harus saya ucapkan, pokoknya saya harus mempertahankan kapling sajadah, kalau perlu sampai titik darah penghabisan dengan semangat empat lima. Demikian tekad saya.
Semakin mendekati pintu pagar masjid Nabawi, saya semakin gugup. Saya terjebak dalam pilihan prioritas antara mengucap shalawat untuk Nabi, terheran-heran menyaksikan hamparan halaman mesjid Nabawi yang sesak, dan menyiapkan strategi menghadapi orang hitam. Semua membuat kacau konsentrasi saya.

Mata saya kemudian tertumbuk pada sekelompok jama’ah dari Ethopia-Afrika. Masya Allah, mereka benar-benar hitam dan berpostur besar. Beberapa di antara mereka melambaikan tangan ke arah Masjid Nabawi sambil berlinang air mata. Beberapa memegang dada sambil menunduk dalam-dalam sambil menggigit ujung kerudung lebarnya yang berwarna-warni. Beberapa berdiri diam sambil menggigit bibir menahan tangis yang mau meluap. Tidak ada ekspresi sangar, tidak ada gerakan hendak menyerobot tempat, apalagi mau menginjak orang lain di sekitar. Mereka dalam formasi teratur sedang mengirimkan rindu lewat shalawat yang juga sampai di telinga saya. Rupanya mereka beberapa saat lagi akan meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Mereka, seperti saya, melakukan haji Tamattu’

Saya terpaku menyaksikan gerombolan ini. Segalam macam warning yang dibawa dari tanah air melayang jauh meninggalkan diri saya. Dalam kejap yang sedetik itu, pikiran saya berlari ke buku “Makna Haji” yang ditulis oleh Ali Syariati. Buku ini memang saya baca beberapa tahun sebelum berangkat ke tanah suci, bahkan saya membawanya ketika berhaji. Buku ini bukan buku fiqhi, buku ini menjelaskan makna filosofi ibadah haji. Disamping itu saya menaruh hormat pada Syariati karena mumpuni dalam ilmunya, betapa dia adalah seorang sosiolog Iran lulusan Sorbonne University, Perancis.

Ketika menjelaskan tentang Ka’bah (hal 41-53; 2002), Syariati menohok saya dengan pertanyaan “Hanya beginikah? Inikah pusat keyakinan, shalat, cinta, dan kematian?. Penjelasan tersebut berlanjut bahwa pada tiang ka’bah yang ketiga, terletak kuburan Hajar, ibunda Nabi Ismail. Di pangkuan Hajarlah Nabi Ismail di besarkan. Di bekas telapak kaki Hajarlah kita melalukan salah satu ritual wajib antara Shafa dan Marwa untuk bersa’i.
Dari buku Makna Haji saya kemudian lebih memahami keberadaan Hajar, seorang budak yang dari rahimnya lahir Nabi Ismail. Hajar ternyata adalah budak milik Sarah dari Ethopia, Hajar adalah perempuan hitam yang Allah muliakan dengan menempatkan kuburannya menyatu dengan Ka’bah (Hijir Ismalil). Thawaf kita menjadi batal jika kita tidak mengelilinginya juga. Thawaf kita menjadi tak berarti jika kita memotong jalan melewati lorong Hijir Islamil. Hajar adalah perempuan yang melahirkan Ismail yang darinya turun Nabi Muhammad. Hajar melambangkan transformasi peradaban. Hajar bermetamorfosa menjadi hijrah, sebuah momentum penting dalam perkembangan peradaban Islam.

Pikiran saya kembali menelisik beberapa literatur yang telah saya baca menjelang keberangkatan ke tanah suci, buku ini juga saya bawa ke haji. Salah satunya adalah Adversity Spiritual Quetient for Hajj yang ditulis oleh C.Ramli Bihar Anwar dan Haidar Bagir (2004). ASQ For Hajj mengajak saya memahami bahwa Tuhan tidak main-main dengan hukumNya. Tuhan tidak sedang bermain dadu dengan ciptaanNya, termasuk aturan yang telah disyariatkan. Buku ini membuka mata saya tentang urutan rukun Islam. Padahal sejak kecil, sejak duduk di Sekolah Muhammadiyah jalan Permi saya telah tahu bahwa Haji adalah rukun Islam yang ke lima. Pemahaman saya tentang makna urutan tersebut menjadi benderang dari buku ASQ for Hajj ini.
Diterangkan kemudian, untuk sampai ke tanah suci jangan pernah berharap banyak jikalau kita belum menegakkan secara benar-benar empat rukun lainnya. Tidak usahlah berangan-angan ke haji, jika syahadat kita masih belum utuh, jika kita masih saja mensyarikatkan Tuhan Allah. Buanglah impian menjadi Haji atau Hajjah jikalau puasa kita masih sekedar menahan lapar dan haus, kalau kita masih meledak jika marah, kalau kita masih suka memanipulasi membuat pencitraan diri. Pupuskan cita-cita ke baitNya, jika kita masih bingung menghitung zakat.
Rupanya, Haji merupakan pendakian terakhir dari rukun Islam. Dalam ibadah Haji, semua rukun yang empat menyatu. Dalam perjalanan haji, bukankah kita senantiasa rindu shalat di mesjid Nabawi dan Haram? Bagaimana mungkin kita berhaji sementara shalat kita masih bolong-bolong?

Memang, menjalankan ibadah haji, tidak ada kewajiban puasa sebagaimana kewajiban shalat. Tetapi larangan yang berlaku di bulan puasa, terasa sekali ketika kita sedang ihram. Di bulan puasa, kita dilarang melakukan hubungan biologis di waktu siang hari, tetapi ketika kita berihram larangan ini berlaku bahkan malampun kita dilarang melakukannya. Puasa pada initinya membuat kita mampu menahan diri, menekuk ego, dan menahan diri terberat adalah saat ihram. Semoga Ihram jugalah diri saya kelak.
Zakat yang saya lakukan selama ini, tampaknya perlu diredefinisi lagi. Saya memahami zakat sebagai ungkapan kedermawanan, sebagai upaya meringankan beban orang lain. Tetapi ternyata, zakat tidak sekedar itu. Zakat adalah kesediaan untuk taat, kesediaan untuk tidak kikir. Terlebih lagi, zakat adalah kehawatiran ketika orang lain enggan menerima apa yang kita sampaikan. Dengan demikian zakat adalah bentuk pengikisan kesombongan diri.
Buku ASQ for Hajj meninggalkan penjelasan yang mengesankan bagi saya ketika penulisnya mendemonstrasikan kata yang dipakai untuk perintah haji. Qur’an menggunakan kata Aqimash Shalat (dirikan shalat), Atuz Zakat (tunaikan/bayarkan zakat), Kutiba ‘alaikumush Shiyam (diwajibkan kepada kalian berpuasa), maka khusus untuk haji Qur’an menggunakan Walillahi ‘alannaasi Hijjul Baita (Hanya karena Allah diwajibkan atas manusia mngerjakan haji).

Ustadz Quraish Shihab menjelaskan bahwa meskipun semua syarat sah ibadah adalah hanya karena Allah, namun yang tersurat dengan jelas adalah perintah haji. Inilah isyarat Qur’an bahwa haji adalah watak yang perlu kita kejar. Tanpa tendensi apa-apa. Saya memaknai perintah haji melalui Walillahi ‘alannaasi hijjul baita.. sebagai peringatan keras dari Allah untuk tidak berpongah setelah pulang melaksanakan ibadah haji. Agaknya Allah tahu bahwa manusia kerap menggunakan label haji-nya untuk menepuk dada, untuk menunjukkan derajat sosial, bahkan kerap sebagai atribut untuk merebut hati masyarakat ketika pemilu tiba. Haji kerap diseret memasuki ranah ekonomi dan juga politik. Peringatan ini hanyalah agar kita sampai pada titik mampu memaknai kata mabrur. Semogalah saya mabrur adanya.

Bacaan dari dua buku itu kemudian mengantarkan saya duduk menunggu Ashar di halaman mesjid Nabawi. Saya hanya kebagian tempat di halaman, karena Nabawi telah penuh. Ketika mata saya kembali memandang rombongan jamaah Ethopia-Afrika yang hitam legam dari jauh, pikiran saya kembali menyusun argumen. Hajar adalah budak hitam dari Ethopia, tidak berbeda dengan mereka ini. Dari rahim Hajarlah lahir Nabi Ismail, yang kemudian menurunkan Nabi Muhammad yang sangat saya rindukan dan kalau boleh saya junjung di atas kepala.
Mungkin hitamnya Hajar persis dengan hitamnya orang-orang ini. Mungkin ketidakrelaan saya berbagi tempat dengan mereka lantaran saya merasa lebih baik dan lebih layak dari mereka. Di manakah pemaknaan zakat saya? Padahal, tidak tertutup kemungkinan perjuangan mereka untuk sampai di Nabawi jauh lebih berat dari saya. Mungkin shalawat yang mereka sampaikan jauh lebih banyak dan lebih ikhlas dari saya. Ohoi..di mana saya letakkan muka untuk merasa hebat? Bagaimana mungkin saya menganggap remeh mereka ini?

Maka, sambil memegang dada, saya mengangkat wajah lurus-lurus ke depan, ke arah kiblat. Saya berbisik, “Allah, ampong (ampuni) beta jua yang beberapa waktu lalu pandang enteng (meremehkan) orang hitam, padahal justru dari rahim seperti itulah lahir Nabi Ismail leluhur Nabi Muhammad yang beta cinta dan beta junjung tinggi-tinggi. Ilahi.. tolong beta karja haji supaya akang seng salah***), Rabbi....ini beta, perempuan dari negeri yang tengah berkonflik…

sebuah catatan harian
1. beta = saya (bahasa Ambon)
2. Ingatang, orang itang (jama’a haji Afrika) tu suka injak katong pung tampa testa, dong suka sarobot tampa sonder parmisi, dong tar tau atorang = Ingat, orang hitam itu sukanya nginjak tempat sujud (sajadah) kita, suka serobot tanpa ijin, mereka nggak tau adat”
3. Karja haji= melaksanakan semua rukun haji.
4. Seng = tidak

Madinah, 28 Desember 2004.

Faidah Azuz Sialana = Alumnus Faperta UNPATTI Ambon. Saat ini sedang sekolah pada program S3 Jurusan Sosiologi UGM Yogyakarta.

Catatan :
Tulisan ini pernah dimuat di AMEKS tahun 2009.

Tuesday, November 02, 2010

Hari ini, Setahun Kemarin

Hari ke-dua november. Well, ini sebenarnya hari yang bersejarah dalam setahun ini. Hari ini di setahun kemarin, adalah hari mengawali semua yang perlu kuukir dalam perjalanan panjang hidup.
Menjalani proses yang dimulai, apapun itu, ada beragam konsekuensi yang harus kita hadapi. Seperti kalimat yang pernah saya baca, bahwa ketika kita mengambil sebuah keputusan, saat itu kita telah menikahi konsekuensinya.

Begitupun saya, setahun lalu, ketika sebuah keputusan saya ambil dengan sadar, maka saat itu pula, ada konsekuensi yang harus saya tanggung. Konsekuensi yang kadang-kadang harus berdamai dengan banyak hal, berdamai dengan pikiran dan hati yang terkadang tak sejalan. Tapi, begitulah adanya.

Lantas apa yang membuat saya bertahan? dia bernama keyakinan. Satu keyakinan yang membuncah hebat di dada bahwa ini yang saya inginkan, ini yang terasa tepat untuk saya jalani. Tak mulus memang. Tapi apakah ada yang mulus di dunia ini? tidak ada, sungguh tidak ada. Keyakinan yang membuat saya bertahan dalam menjalani sebuah keputusan penting untuk pada masanya, ada keputusan maha penting yang harus saya ambil.

Hari-hari ini adalah hari untuk terus meneguhkan langkah, untuk terus memperbaiki apa yang harus diperbaiki, agar pada saatnya nanti, ketika sebuah langkah harus saya ambil lagi, saya akan dengan tersenyum mengambil langkah itu.

Monday, November 01, 2010

hari baru di awal minggu, awal bulan

tanggal 1. bulan 11.
Adakah yang istimewa? secara khusus tidak ada. tapi di hari baru ini ada satu janji yang saya buat yaitu satu postingan tiap hari. minimal di bulan november ini, target 30 postingan bisa terealisasi..

oke, ini postingan pertama saya. malam sudah mendekap namun belum tahu ingin menulis apa. hari ini diawali dengan cerita perjalanan mengawal sebuah PERDA.

Banyak yang terungkap. tak mungkin cerita disini.. yang pasti, ada sebuah kesimpulan bahwa agak sulit berhubungan dengan para wakil rakyat yang lebih memposisikan diri sebagai wakil partai. belum lagi ketika integritas mulai diragukan.

malam makin dingin, tapi saya tetap menghangatkan harapan bahwa apa yang kini sedang diupayakan bersama atas nama rakyat dapat tuntas dengan baik.

piru,malam,dingin, 0111'10