Wednesday, April 03, 2013

Suratku dari my Vina

 
 
 Surat dari my beloved Vina. Trimakasih sudah mengirim surat ya sayang. Belum sempat kubalas but i will, i promise. Surat diambil dari sini
 
Assalamu’alaikum Wr Wb.
 
Hai Saudaraku... apa kabarmu di seberang sana?
Kuharapkan kau selalu dalam pelukan Allah, ya. Oh ya, Bang Lito juga apa kabar? Sepertinya sedang semangat-semangatnya bekerja ya?? Kangen sekali ingin bertemu dengan kalian. 
 
Ingat tidak?? Selama ini aku hanya mengetahui tentang sosok bang Lito hanya dari suaramu yang merdu. Dari cerita-ceritamu yang selalu membuatku iri. Hahaha, iri yang baik kok, Bi. Iri ingin memiliki tulang punggung dan belahan jiwa seperti dia. Apa?? Aku harus menjadi sepertimu?? Hahaha... Mungkin juga ya? Aku memang ingin belajar sepertimu. Bukan menjadi mirip kamu, tapi bersikap lembut, dewasa, dan baik sepertimu.
 
Beberapa hari kemarin, aku merasakan rindu yang luar biasa padamu, Gerimis. Eh, jangan bilang kau lupa panggilan itu. Gerimis, kan nama panggilanmu. Senja itu panggilan nona Acha, sedangkan Pelangi itu punyaku. Hahahaha... siapa coba yang kasih nama itu, ya? 
 
Aku ingat, pertama kali satu kelompok denganmu saat AMT. Kita harus mengingat nama-nama teman satu grup yang jumlahnya 30 orang. Dan kau adalah satu-satunya yang bisa mengingat semuanya. Lalu aku rindu saat kita senam setiap Rabu dan Sabtu. Harus bangun pagi-pagi banget. Terus gerak-gerak seksi di sela-sela kabut puncak, ditemani instruktur cantik yang ga kalah seksi. Terus, sarapan ala orang barat, pake omelet, roti bakar, jus. Halah, ingat ga, gara-gara itu, perut pribumi kita tidak bisa menerima dan akhirnya... kau tahu kan, D.I.A.R.E. hahaha. Kau ingat, tiap ke kelas, beberapa dari teman kita selalu membawa bekal roti bakar dan memakannya saat perut mendadak keroncongan sebelum jam coffee break. 
 
 
Aku rindu saat kita ber-karaoke bersama atau bernyanyi di resto. Sio mama, lagu yang kau nyanyikan. Benar tidak? Aku rindu bermain UNO di kamarmu. Berapa nomor kamarmu dulu? Yang kuingat 234, benar tidak? Tiap libur kelas, aku selalu main ke kamarmu, bareng bang Azhar, Mas Hari, bang Uchin, Anesh, hm.. siapa lagi ya? Oh ya, ni Ul, ni Yanti, dan beberapa orang lainnya yang sering main ke tempatmu. Apalagi sepeninggal Nadeth pulang ke Makassar lebih dulu, aku makin sering main ke tempatmu. Sayang sekali, kita baru dekat saat pendidikan sudah hampir selesai. Tapi, aku bersyukur sekali, Alhamdulillah pada Allah, meskipun waktunya hanya sebentar Allah masih memberikan kesempatan untukku mengenalmu, Saudaraku.
 
Aku merindukan momen bersamamu.
 
Oh ya, satu lagi yang luar biasa. Bagaimana mungkin tiba-tiba aku bisa mendadak ikut ke Lembang bersamamu dan bang Azhar. Ya ampun, ga nyangka aku. Itu adalah hal terbaik dan terhebat buatku. Mengenal mbak Titi yang luar biasa melaluimu, Ebi. Ah, pokoknya luar biasa deh. 
 
Maaf, ya, Ebi, aku tidak bisa datang saat pernikahanmu dulu. Tapi seperti janjiku, bingkisan sederhana dan doa aku kirimkan melewati lautan. Dan Thanks, God, itu bisa sampai ke tanganmu dengan selamat. Sempat was-was dan tidak percaya pada pak pos, takut bingkisannya dibuang ke laut, hahaha.
 
Aku masih ingat, bagaimana bahagia dan terharunya aku saata khirnya  kamu mengatakan ada janin dalam rahimmu. Aku langsung menelponmu dengan riangnya. Ya Tuhan, aku bakal jadi tante untuk satu keponakan lagi. Subhanallah. Aku sudah membayangkan, kalaupun tidak bisa datang ke Ambon pada acaranya nona Acha, aku akan datang saat keponakanku itu lahir. 
 
Lalu tanggal 22 Maret 2013 lalu, kau tiba-tiba mengirimkan sebuah pesan singkat padaku. Janinmu sudah meninggal. Buah hati yang belum sempat kau sentuh, kau lihat dan kau dengar tangisannya. Kau dan bang Lito memanggilnya ‘abang’, kan? Boleh aku memanggilnya begitu juga? Aku shock Ebi, mendengar abang kecil dipanggil Allah lebih dulu. Aku tahu betapa kau sangat mengharapkan kehadirannya. Jujur, saat itu aku tidak menangis. Aku diam. Tapi, justru itu membuatku sakit. Lucu ya? Bukan aku yang kehilangan, tapi aku merasakan sedih yang hebat. Bahkan ketika kau bilang bahwa abang kecil sudah meninggal sebulan lamanya dan kamu baru mengetahuinya. Sungguh kebesaran Illahi, kau tidak sampai keracunan, Sayang. Bahkan tanpa dikuret, rahimmu sudah bersih.
 
Aku mungkin tak bisa menguatkanmu. Karena aku tahu kau perempuan yang kuat. Dibandingkan dengan yang menghiburmu, mungkin kau jauh-jauh lebih kuat. Alla mencintaimu, Ebi. Juga mencintai Bang Lito. Dia Yang Maha Cinta tengah mengujimu. Menyiapkan kalian untuk naik tingkat. Percayalah, abang kecil tengah menunggu kalian di surga Allah. Dan seandainya dia punya kesempatan bicara dengan kalian, dia pasti akan mengatakan ‘aku bangga menjadi putra ummi dan abi’ seperti aku bangga menjadi sahabatmu, Perempuanku. Ah, tidak... dia lebih bangga lagi. 
 
Kau selalu mengatakan, sabarlah sayang, Allah pasti punya rencana terbaik. Sekarang, semoga engkau bisa lebih tenang dan sabar. Lebih meredakan air matamu. Aku tak bisa bilang ‘sabar, ya’ karena pasti sudah begitu banyak orang yang mengatakan itu. Aku hanya bisa bilang, ceritalah padaku jika itu mampu meringankanmu. Sms aku jika kau butuh teman untuk bicara, maka aku akan menelponmu. Kita akan cerita-cerita, sama dengan saat aku sering bertukar cerita denganmu di kamarmu. 
 
Kau mau mendengar ceritaku?
Aku punya sahabat dekat. Dian namanya. Dia sahabat kuliahku, hingga sekarang. Eternal friendship, hahaha. Dia sama denganmu, Ebi. Kehilangan janinnya sebelum Allah menghadirkannya dalam pelukan. Kalau kau kehilangan saat usia kandunganmu menginjak 4 bulan. Dia kehilangan saat janinnya berusia 7 bulan. Tapi, sekarang dia sudah bisa tersenyum dan bercanda. Dulu, mungkin dia sepertimu. Menangis dan memendam kerinduan yang luar biasa. Tapi, sama denganmu juga, dia memiliki keluarga dan suami yang tak kalah luar biasanya. Dia merasa, jika sedih terus, maka orang-orang yang meyayanginya juga akan ikut sedih. Kalau Ebi ingin nomor telponnya, aku akan memberikan. Mungkin Ebi bisa berbincang dengannya.
Lalu, ada juga teman SMA yang pada bulan yang sama kehilangan belahan hatinya. Selama 11 tahun bersama, Allah akhirnya memisahkan mereka. Bukan untuk menjauhkan, tapi untuk mempertemukan mereka kembali di tanah Surga-Nya. 
 
Jadi, jangan menangis lagi, Ebi. Air matamu itu, jangan membuat abang kecil sedih. Tersenyumlah. Karena sungguh cantik saat kau melengkungkan bibirmu. Serupa gerimis yang menyejukkan. 
 
Kita belajar bersama, Saudaraku. Bukan hanya tentang kehilanganmu, tapi juga bagaimana kita menerima semua skenario-Nya yang maha dahsyat. Aku yakin kau sudah mampu menerima dan mengikhlaskan abang kecil. Hanya saja, gerimismu masih seperti badai yang mencemaskan. 
 
Aku menunggu gerimis yang rintik, Ebi.
Aku menunggu senyum seorang Ebi Waliulu.
 
Baiklah, aku akan menulis surat lagi nanti. Dan kuharap saat itu, kau sudah berkata ‘hatiku sudah membaik.’
 
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

No comments:

Post a Comment