(Disadur dari sebuah milis, dengan perubanahn sesuai kondisi)
“ Aku ingin mundur dari wasilah dakwah ini, aku sudah tidak kuat lagi menunaikan amanah yang semakin menyesakkan dadaku, aku sudah tidak kuat lagi menelan kekecewaan demi kekecewaan, batas kesabaranku telah habis”. Kalimat itu terlontar dari lisan salah seorang saudariku yang berjuang bersamaku di sebuah organisasi kepartaian beberapa waktu yang lalu di tanah kelahiran.
“ Ana ingin mengurangi aktivitas dakwah ini, ana ingin lebih berkonsentrasi dengan perkuliahan ana yang semakin banyak menuntut perhatian dan penyelesaian dengan segala tugas, dan persiapan-persiapan lainnya”
Begitulah kira-kira implisit kalimat yang terlontar dari lisan salah seorang saudaraku yang biasanya terlihat tegar dan selalu memperlihatkan semangatnya dan menularkannya padaku setiap kali berinteraksi, tapi sore itu seolah kesedihannya telah menghapus semua lukisan senyum dan semangat yang terpancar dari suaranya, seakan keputus asaan telah menyedot seluruh semangat dan harapannya. Padahal, dia memegang peranan yang sangat penting dalam wasilah dakwah kami. Sikapnya jelas akan berpengaruh bagi ikhwah-ikhwah yang ia pimpin.
Untuk sejenak aku termenung, udara dingin yang sedari tadi membekap tubuh tak kurasa lagi. Ah....masih belum begitu lama, aku pun pernah berada pada posisi yang sama layaknya yang dialami saudaraku ini, saat itu pun begitu putus pengharapanku hingga aku pun benar-benar sudah tidak kuat lagi menanggung amanah ini dan seperti dia aku pun ingin mengakhirinya dengan cara keluar dari aktivitas ini. Aku melihat masalah yang dia hadapi pun sepertinya sama denganku, bahkan mungkin masalahku dulu lebih parah. Amanah dakwah yang kuemban yang benar-benar membutuhkan perhatian yang serius, ditambah dengan desakan dari dosen pembimbing untuk sesegera mungkin menyelesaikan laporan KP. Belum lagi Kepala Lab yang menekan untuk secepat mungkin membuat jadwal untuk memulai praktikum yang merupakan konsekuensi sebagai asisten lab, yang notabene akan semakin menambah panjang agenda yang harus aku selesaikan, ditambah dengan masalah keluarga yang begitu menghimpit dada, kepergian seorang dosen pembimbing yang membuat aku harus memulai dari nol lagi, ada kepingan – kepingan kekecewaan dan keletihan yang akhirnya menjadi puzzle raksasa bergambar kata Putus Asa.
Tapi, semua itu Alhamdulillah tidak sampai membuatku memutuskan untuk pergi. Karena aku tahu, aku sadar bahwa bukan dakwah yang membutuhkan aku, tapi akulah yang membutuhkan dakwah. Tanpa dakwah, jiwaku akan mati, hidupku akan kosong. Tanpa dakwah, maka aku tidak akan menjadi apa-apa. Aku tidak akan pernah merasakan sebuah kesuksesan. Aku sangat membutuhkan dakwah. Untuk apa? Untuk ridho Allah. Untuk sebuah keridhaanNYA. Karena aku sadar, bahwa surgaNYA tidaklah mudah, tidaklah murah. Aku tidak ingin mengalami kesenangan di dunia, tapi derita di akhirat. Aku ingin merasakan ujian dakwah itu, karena aku tahu ujian itulah yang akan membuatku bertambah kuat. Satu yang aku yakini, bahwa jika aku tidak sukses dalam berdakwah, maka aku harus segera mengubur semua harapan bisa sukses di bidang yang lain. Karena, aku adalah seorang da’i sebelum aku menjadi yang lain.
Kelelahan adalah sebuah efek yang wajar dari aktivitas yang berulang ulang, kontinu bahkan terkadang membosankankan. Keletihan adalah kenikmatan yang diberikan-Nya di sela-sela aktivitas kita karena kedatangannya membuat kita merasakan nikmatnya beristirahat, kedatangannya membuat kita memperoleh kesempatan untuk menarik nafas panjang sebelum kita kembali berlaga, namun adalah keletihan yang meraja yang akan membekap bara semangat, azam dan harapan, meredupkannya dan diam-diam memadamkannya. Oleh karenanya ketika kita bermain-main dengan keletihan, maka seyogyanya kita menjaga agar keletihan itu tidak menjadi penjara untuk perjalanan kita selanjutnya dan pada saat yang sama hendaknya kita selalu sadar akan keberadaann cawan-cawan yang berisi cairan energi yang senantiasa dihidangkan untuk kita. Sumber kekuatan yang akan membuat kita untuk tidak betah berkubang dalam lembah kefuturan, energi itu yakni keikhlasan dan indahnya ukhuwah.
Ketika kekecewaan dan keletihan bersemayam di dada maka menyadari kembali bahwa apa yang kita lakukan adalah sebuah usaha dan pengharapan besar kita untuk menggapai rahmat dan ridho Alloh SWT, akan mengembalikan kekuatan untuk bangkit. Keikhlasan adalah tidak berbesar kepala saat pujian mengguyur , begitu pun tidak berputus asa bilamana cercaan menghujam dan menghimpit, adalah keikhlasan tidak bergantung pada makhluk yang biasanya menjadi sumber kefuturan. Sebuah keikhlasan tidak mengenal kata lelah karena segala keluh kesah senantiasa dititipkan pada angin yang membumbungkan doa dalam sujud-sujud panjang kita.dan DIA senantiasa menyediakan “telinga-Nya” untuk kita.
Saat tubuh tidak lagi tegak, saat kaki mulai lemah, saat lisan mulai keluh untuk menyuarakan kebenaran, maka pada saat yang sama ada saudara kita yang memapah, saudara yang akan menopang kaki yang telah rapuh, dan menggantikan kita untuk bersuara lebih lantang. Senyumnya bagai oase dalam kegersangan jiwa kita, perhatiannya adalah penentram kegundahan kita, tausyiahnya adalah semangat baru yang disematkan pada diri ini. Karena dialah kita yakin bahwa kita tidak sendirian.
Andaikan saja kita layaknya sekuntum bunga edelweis yang terus mekar dalam kegersangan, terus mempersembahkan senyum dalam kesederhanaan dan kebersahajaannya, semangat abadi hidupnya dalam keterhimpitan. Ya... seperti halnya edelweis, tekad untuk memberikan sesuatu bagi kemaslahatan umat adalah ruh hidup itu sendiri sehingga ketika kita ingin keluar dari aktivitas yang menjadi media untuk tumbuh dan hidupnya ruh itu maka kita telah menyiapkan prosesi HARAKIRI untuk jiwa ini.
Sby, 23 Syawal 1425 H / 6 des 04
Hidup adalah pilihan. Setiap pilihan ada prioritas. Ambillah yang terbaik untukmu
No comments:
Post a Comment