Jam 3 dini hari, aku dibangunin untuk siap2 mandi. Jam ½ 5, aku diantar papa dan salah satu omku ke bandara. Berat banget melangkahkan kaki keluar dari rumah ini. Karena aku tak tahu kapan aku bisa kembali.
Ibu, aku sayang ibu. Terimakasih atas begitu banyak cinta yang tulus dari ibu. Ananda minta maaf karena belum menjadi seperti yang ibu inginkan. Ibu, aku sangat menyayangi ibu, jangan pernah ragukan itu. adek-adekku, ca sangat sayang sama kalian berdua. Ca titip ibu dan papa ya. sayangi mereka dan buat mereka bahagia. Sampe di bandara laha, aku sangat berharap ada sebuah keajaiban yang menuntunku kembali ke rumah. Tapi, hidup harus berjalan, kaki harus diayun maju.
Saat pesawat lepas landas, pikiranku kosong, hatiku serasa tertinggal. Ini pertama kali aku merasa begitu berat meninggalkan kota ini. Mungkin karena aku begitu lama di ambon, sehingga aku sudah menyatu dengan hidup keseharian keluargaku. Kalo selama ini kepulanganku untuk lebaran hanya 2 minggu, dan yang kudapat adalah suasana lebaran yang memang selalu indah, tapi kali ini lain. Aku tinggal begitu lama, sehingga setelah lebaran, aku juga melihat pola hidup keseharian mereka, jam tidur, jam bangun, jam ke sekolah, pulang dari sekolah ngapain aja, bagaimana mengisi malam, siapa yang masak, yang nyuci, yang bersih2, yang nyuci piring, semuanya hingga aku sudah menyatu dengan itu. Di dalam pesawat, aku hanya bisa mengenang wajah2 indah itu. Seluruh keluargaku di ambon sudah mengambil hatiku dan tidak menyisakannya untukku.
Ketika pesawat mendarat di bandara djuanda pukul 10 pagi, aku hanya bisa menghela napas panjang. Huh, sampelah aku ke dunia nyata yang penuh kekerasan yang harus kuhadapi. Berat banget kaki ini melangkah turun dari pesawat. Tidak ada kebahagiaan sedikit pun ketika menginjak kota ini. Kota ini memang telah mengajarkan banyak hal positif tapi kota ini juga telah banyak menorehkan luka, walaupun semua selalu ada hikmahnya. Kota ini memang tempat aku bertemu dengan orang2 yang juga aku sayang tapi kota ambon lebih memberiku kenyamanan dan ketenangan. Yang bisa membuatku senang hanyalah bahwa dalam satu jam lagi, aku bisa bertemu adekku eya.
Saat taksi meluncur di jalanan surabaya menuju kostku, dimana kemacetan, hiruk pikuk kota besar ada di depan mata, saat itu pula kerinduan kota ambon membuncah kembali. Di ambon, tidak akan ada kutemui hal ini. Di ambon, kemacetan hanya terjadi di pasar mardika tapi itupun kemacetan yang menyenangkan. Tidak ada keluh kesah. Di taksi, aku hanya menutup mata sembari berharap ketika mata dibuka, kota ambonlah yang kulihat. Konyol, melankolis, tapi aku ingin walaupun impossible. Saat taksi sudah sampe depan kampusku, keruwetan sudah terbayang di kepala. Dan ketika taksi akhirnya benar2 berhenti di depan kos, maka sirnalah sudah. Aku harus kembali ke dunia nyata. Bismillahirrahmanirrahim……………………………………….
“Surabaya, kan kutaklukkan engkau dengan airmata kedua orang tuaku”
12 Des 05,
sampai juga aku disini
No comments:
Post a Comment