Apa yang akan teman-teman baca ini adalah salah satu tulisan indah dari saudara saya, kakak saya, inspirasi saya, Faidah Azuz Sialana. Ia yang sering saya sapa dengan ca ida, pagi pagi sudah membuat saya terharu dengan tulisan ini. Ada yang mengalir di dinding hati lalu dengan pertanyaan "kapankah saya dipanggil?". Dan jawaban juga saya temui bahwa saya akan dipanggil ke Baitullah, hanya jika saya memantaskan diri untuk dipanggil. Tulisan ini pernah dimuat di Harian Ambon Ekspress di Tahun 2009, sengaja kami, saya dan ca Ida, mengangkatnya kembali untuk berbagi. Buat saya, tulisan ini ada pendidikan, ada renungan, ada inspirasi, komplit seperti nasi goreng, ada telur, ada ayam eh ada dendeng juga. Mantap pokoknya. Selamat menikmati sajian kami.
Allah, Ini Beta…
Oleh: Faidah Azuz Sialana
“Ingatang, orang itang (jama’a haji Afrika) tu suka injak katong pung tampa testa, dong suka sarobot tampa sonder parmisi, dong tar tau atorang**” dan banyak sekali warning yang diberikan pada saya ketika hendak berangkat ke tanah suci beberapa waktu yang lalu. Agaknya pikiran saya mulai terpengaruh. Membuat saya menganggap orang hitam sebagai musuh yang harus saya lawan. Pikiran saya mulai menyusun strategi bagaimana menghadapi orang hitam itu. Lengkap dengan beberapa kata penolakan dalam bahasa Arab dan Inggris yang saya hafal baik-baik dari tanah air. Pokoknya saya harus fight.
Lalu tibalah saya di Madinah. Menjelang pintu masjid Nabawi untuk shalat Ashar pertama saya telah menyiapkan diri kalau-kalau bertemu dengan orang hitam. Bagaimana sikap saya, apa yang harus saya ucapkan, pokoknya saya harus mempertahankan kapling sajadah, kalau perlu sampai titik darah penghabisan dengan semangat empat lima. Demikian tekad saya.
Semakin mendekati pintu pagar masjid Nabawi, saya semakin gugup. Saya terjebak dalam pilihan prioritas antara mengucap shalawat untuk Nabi, terheran-heran menyaksikan hamparan halaman mesjid Nabawi yang sesak, dan menyiapkan strategi menghadapi orang hitam. Semua membuat kacau konsentrasi saya.
Mata saya kemudian tertumbuk pada sekelompok jama’ah dari Ethopia-Afrika. Masya Allah, mereka benar-benar hitam dan berpostur besar. Beberapa di antara mereka melambaikan tangan ke arah Masjid Nabawi sambil berlinang air mata. Beberapa memegang dada sambil menunduk dalam-dalam sambil menggigit ujung kerudung lebarnya yang berwarna-warni. Beberapa berdiri diam sambil menggigit bibir menahan tangis yang mau meluap. Tidak ada ekspresi sangar, tidak ada gerakan hendak menyerobot tempat, apalagi mau menginjak orang lain di sekitar. Mereka dalam formasi teratur sedang mengirimkan rindu lewat shalawat yang juga sampai di telinga saya. Rupanya mereka beberapa saat lagi akan meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Mereka, seperti saya, melakukan haji Tamattu’
Saya terpaku menyaksikan gerombolan ini. Segalam macam warning yang dibawa dari tanah air melayang jauh meninggalkan diri saya. Dalam kejap yang sedetik itu, pikiran saya berlari ke buku “Makna Haji” yang ditulis oleh Ali Syariati. Buku ini memang saya baca beberapa tahun sebelum berangkat ke tanah suci, bahkan saya membawanya ketika berhaji. Buku ini bukan buku fiqhi, buku ini menjelaskan makna filosofi ibadah haji. Disamping itu saya menaruh hormat pada Syariati karena mumpuni dalam ilmunya, betapa dia adalah seorang sosiolog Iran lulusan Sorbonne University, Perancis.
Ketika menjelaskan tentang Ka’bah (hal 41-53; 2002), Syariati menohok saya dengan pertanyaan “Hanya beginikah? Inikah pusat keyakinan, shalat, cinta, dan kematian?. Penjelasan tersebut berlanjut bahwa pada tiang ka’bah yang ketiga, terletak kuburan Hajar, ibunda Nabi Ismail. Di pangkuan Hajarlah Nabi Ismail di besarkan. Di bekas telapak kaki Hajarlah kita melalukan salah satu ritual wajib antara Shafa dan Marwa untuk bersa’i.
Dari buku Makna Haji saya kemudian lebih memahami keberadaan Hajar, seorang budak yang dari rahimnya lahir Nabi Ismail. Hajar ternyata adalah budak milik Sarah dari Ethopia, Hajar adalah perempuan hitam yang Allah muliakan dengan menempatkan kuburannya menyatu dengan Ka’bah (Hijir Ismalil). Thawaf kita menjadi batal jika kita tidak mengelilinginya juga. Thawaf kita menjadi tak berarti jika kita memotong jalan melewati lorong Hijir Islamil. Hajar adalah perempuan yang melahirkan Ismail yang darinya turun Nabi Muhammad. Hajar melambangkan transformasi peradaban. Hajar bermetamorfosa menjadi hijrah, sebuah momentum penting dalam perkembangan peradaban Islam.
Pikiran saya kembali menelisik beberapa literatur yang telah saya baca menjelang keberangkatan ke tanah suci, buku ini juga saya bawa ke haji. Salah satunya adalah Adversity Spiritual Quetient for Hajj yang ditulis oleh C.Ramli Bihar Anwar dan Haidar Bagir (2004). ASQ For Hajj mengajak saya memahami bahwa Tuhan tidak main-main dengan hukumNya. Tuhan tidak sedang bermain dadu dengan ciptaanNya, termasuk aturan yang telah disyariatkan. Buku ini membuka mata saya tentang urutan rukun Islam. Padahal sejak kecil, sejak duduk di Sekolah Muhammadiyah jalan Permi saya telah tahu bahwa Haji adalah rukun Islam yang ke lima. Pemahaman saya tentang makna urutan tersebut menjadi benderang dari buku ASQ for Hajj ini.
Diterangkan kemudian, untuk sampai ke tanah suci jangan pernah berharap banyak jikalau kita belum menegakkan secara benar-benar empat rukun lainnya. Tidak usahlah berangan-angan ke haji, jika syahadat kita masih belum utuh, jika kita masih saja mensyarikatkan Tuhan Allah. Buanglah impian menjadi Haji atau Hajjah jikalau puasa kita masih sekedar menahan lapar dan haus, kalau kita masih meledak jika marah, kalau kita masih suka memanipulasi membuat pencitraan diri. Pupuskan cita-cita ke baitNya, jika kita masih bingung menghitung zakat.
Rupanya, Haji merupakan pendakian terakhir dari rukun Islam. Dalam ibadah Haji, semua rukun yang empat menyatu. Dalam perjalanan haji, bukankah kita senantiasa rindu shalat di mesjid Nabawi dan Haram? Bagaimana mungkin kita berhaji sementara shalat kita masih bolong-bolong?
Memang, menjalankan ibadah haji, tidak ada kewajiban puasa sebagaimana kewajiban shalat. Tetapi larangan yang berlaku di bulan puasa, terasa sekali ketika kita sedang ihram. Di bulan puasa, kita dilarang melakukan hubungan biologis di waktu siang hari, tetapi ketika kita berihram larangan ini berlaku bahkan malampun kita dilarang melakukannya. Puasa pada initinya membuat kita mampu menahan diri, menekuk ego, dan menahan diri terberat adalah saat ihram. Semoga Ihram jugalah diri saya kelak.
Zakat yang saya lakukan selama ini, tampaknya perlu diredefinisi lagi. Saya memahami zakat sebagai ungkapan kedermawanan, sebagai upaya meringankan beban orang lain. Tetapi ternyata, zakat tidak sekedar itu. Zakat adalah kesediaan untuk taat, kesediaan untuk tidak kikir. Terlebih lagi, zakat adalah kehawatiran ketika orang lain enggan menerima apa yang kita sampaikan. Dengan demikian zakat adalah bentuk pengikisan kesombongan diri.
Buku ASQ for Hajj meninggalkan penjelasan yang mengesankan bagi saya ketika penulisnya mendemonstrasikan kata yang dipakai untuk perintah haji. Qur’an menggunakan kata Aqimash Shalat (dirikan shalat), Atuz Zakat (tunaikan/bayarkan zakat), Kutiba ‘alaikumush Shiyam (diwajibkan kepada kalian berpuasa), maka khusus untuk haji Qur’an menggunakan Walillahi ‘alannaasi Hijjul Baita (Hanya karena Allah diwajibkan atas manusia mngerjakan haji).
Ustadz Quraish Shihab menjelaskan bahwa meskipun semua syarat sah ibadah adalah hanya karena Allah, namun yang tersurat dengan jelas adalah perintah haji. Inilah isyarat Qur’an bahwa haji adalah watak yang perlu kita kejar. Tanpa tendensi apa-apa. Saya memaknai perintah haji melalui Walillahi ‘alannaasi hijjul baita.. sebagai peringatan keras dari Allah untuk tidak berpongah setelah pulang melaksanakan ibadah haji. Agaknya Allah tahu bahwa manusia kerap menggunakan label haji-nya untuk menepuk dada, untuk menunjukkan derajat sosial, bahkan kerap sebagai atribut untuk merebut hati masyarakat ketika pemilu tiba. Haji kerap diseret memasuki ranah ekonomi dan juga politik. Peringatan ini hanyalah agar kita sampai pada titik mampu memaknai kata mabrur. Semogalah saya mabrur adanya.
Bacaan dari dua buku itu kemudian mengantarkan saya duduk menunggu Ashar di halaman mesjid Nabawi. Saya hanya kebagian tempat di halaman, karena Nabawi telah penuh. Ketika mata saya kembali memandang rombongan jamaah Ethopia-Afrika yang hitam legam dari jauh, pikiran saya kembali menyusun argumen. Hajar adalah budak hitam dari Ethopia, tidak berbeda dengan mereka ini. Dari rahim Hajarlah lahir Nabi Ismail, yang kemudian menurunkan Nabi Muhammad yang sangat saya rindukan dan kalau boleh saya junjung di atas kepala.
Mungkin hitamnya Hajar persis dengan hitamnya orang-orang ini. Mungkin ketidakrelaan saya berbagi tempat dengan mereka lantaran saya merasa lebih baik dan lebih layak dari mereka. Di manakah pemaknaan zakat saya? Padahal, tidak tertutup kemungkinan perjuangan mereka untuk sampai di Nabawi jauh lebih berat dari saya. Mungkin shalawat yang mereka sampaikan jauh lebih banyak dan lebih ikhlas dari saya. Ohoi..di mana saya letakkan muka untuk merasa hebat? Bagaimana mungkin saya menganggap remeh mereka ini?
Maka, sambil memegang dada, saya mengangkat wajah lurus-lurus ke depan, ke arah kiblat. Saya berbisik, “Allah, ampong (ampuni) beta jua yang beberapa waktu lalu pandang enteng (meremehkan) orang hitam, padahal justru dari rahim seperti itulah lahir Nabi Ismail leluhur Nabi Muhammad yang beta cinta dan beta junjung tinggi-tinggi. Ilahi.. tolong beta karja haji supaya akang seng salah***), Rabbi....ini beta, perempuan dari negeri yang tengah berkonflik…
sebuah catatan harian
1. beta = saya (bahasa Ambon)
2. Ingatang, orang itang (jama’a haji Afrika) tu suka injak katong pung tampa testa, dong suka sarobot tampa sonder parmisi, dong tar tau atorang = Ingat, orang hitam itu sukanya nginjak tempat sujud (sajadah) kita, suka serobot tanpa ijin, mereka nggak tau adat”
3. Karja haji= melaksanakan semua rukun haji.
4. Seng = tidak
Madinah, 28 Desember 2004.
Faidah Azuz Sialana = Alumnus Faperta UNPATTI Ambon. Saat ini sedang sekolah pada program S3 Jurusan Sosiologi UGM Yogyakarta.
Catatan :
Tulisan ini pernah dimuat di AMEKS tahun 2009.
Memang benar, tak sepatutnya kita memandang rendah dan remeh kepada sesama saudara muslim kita. Meski ia dari suku ini, suku itu, daerah ini, daerah itu, dan lainnya. Karena ar Rahman tidak melihat yang seperti itu sebagai pembeda.
ReplyDeleteNice post sist... ^^,
yang membedakan hanya tingkat ketakwaan. dan u/ urusan ibadah, lihatlah ke atas agar kita selalu merasa kurang
ReplyDeletetulisan yang sangat bermakna
ReplyDeletemengajarkan kita untuk tak selalu menilai orang lain dari kulit luar saja
Ebby, terima kasih berkenan memuat catatan harian saya di blog ini.. jika diijinkan, saya masih ingin mengirim beberapa catatan harian lagi.. itu jika diijinkan oleh yang punya blog..
ReplyDeleteSangat bermakna dan dalam dengan arti, slam kenal dari Bali
ReplyDelete@julie : karena kulit luar bisa menipu
ReplyDelete@ca ida : with my pleasure. proud of it....
@budi : salam slamat berkunjung,bli.
semoga selalu menjalankan ibadah penuh khidmat.
ReplyDeleteSALAM kenal dari Kendari...
yah mudah-mudahan bisa naik haji.. dan memperoleh makna haji yang hakiki..
ReplyDeleteoya, ca ida kalo pas di ambon ajak dong ketemu kite2 bay..
@TuSuda : trimakasih, semoga jg demikian. Ambon mengirim salam
ReplyDelete@Mamung : insyaAllah. lebaran kemarin beliau mengagendakan plg k ambon tp gak jadi.