I am back setelah hiatus 12 hari lamanya. Hiatus ini karena tugas yang harus saya jalankan di daerah yang tidak bersinyal. Ini sedikit ceritanya.
Sabtu, 11 Desember 2010 lalu, saya dan rekan-rekan kantor bertugas di desa Waesala kecamatan Waesala Kabupaten Seram Bagian Barat. Tepatnya pada hari itu, kami mengunjungi dusun Melati, satu diantara 12 dusun yang dimiliki Desa Waesala. Perjalanan dari kota kabupaten, Piru, menuju Desa Waesala sekitar 2 jam atau sekitar 40 km. Perjalanan kali ini boleh dibilang baik-baik saja karena kondisi jalan yang sudah jauh lebih baik. Jalan yang masih sedikit berbatu dan berlubang namun sudah bisa dikatakan baik mengingat di tahun-tahun sebelumnya, jalanan menuju Waesala begitu sulit dilewati apalagi dalam kondisi hujan atau pasca hujan seperti yang pernah saya dan rekan-rekan lain alami disini dan disini.
Sayangnya, baterai kamera digital kosong. Pemotretan perjalanan pun hanya bisa diabadikan melalui kamera telpon genggam dan di kesempatan lain akan di-ekspose gambar-gambar di dusun Melati. Benwit di piru belum memungkinkan mengupload banyak foto.
Sampai di Desa Waesala, Bang Jumra, salah satu fasilitator di Waesala sudah menunggu kami dan mengabari bahwa speedboat yang akan membawa kami ke Dusun Melati sudah siap. Tanpa menaruh barang bawaan di wisma, kami langsung menuju pantai. Perjalanan dari Desa Waesala menuju dusun Melati dengan transportasi laut memakan waktu hampir setengah jam. Sebenarnya bisa lewat darat tapi harus dengan berjalan kaki sekitar 50 menit dan jangan bayangkan jalan yang mudah dilalui. Bagi yang tidak biasa, mungkin harus menyediakan banyak stok tekad baja karena menurut cerita, melewati hutan mendaki dan ada satu tempat yang terputus daratan jadi harus melewati selat atau teluk atau rawa (saya tak tahu namanya), yang tinggi air sampai di atas pinggang. Well, tentu saya tak ingin memilih jalan itu jika masih ada alternative lain.
Setelah menikmati pemandangan yang maha indah, sampailah kami di dusun Melati. Dari kejauhan, sudah terlihat bang Ruslan, satu lagi fasilitator kami, bersama dengan bapak Husen, Sekretaris Dusun Melati yang sudah menunggu di bibir pantai.
FYI, Dusun Melati ini berusia 47 tahun. Dinamakan Dusun Melati karena dulu kala, banyak bunga melati di daerah ini. Seperti yang dituturkan Pak Husen, Sekdus Melati, awalnya di tahun 1963 ada 5 orang atau 5 KK yang mendiami pulau ini dan setelah 47 tahun berlalu, kini ada sekitar 150 KK dengan 1050 jumlah jiwa. Yang unik dari dusun ini adalah semua penduduknya berpakaian muslim rapi dan nilai islamnya sangat kental. Yang lelaki dengan tampilan janggut, dan itu hampir seluruh lelaki di Dusun ini berjanggut dan mengenakan peci serta sarung atau celana di atas mata kaki. Wanitanya, berbaju panjang dengan jilbab panjang rapi, hampir semua, bahkan anak-anak usia SD atau SMP pun,bermain di teras rumah dengan menutup aurat. Indah sekali dan sejuk dilihat.
Pun pada saat setelah makan siang, adzan dhuhur terdengar dari mesjid dusun, sontak balai dusun tempat berlangsungnya Pra Musrenbang kosong melompong. Bukan hanya balai dusun, jalanan pun mendadak terlihat sunyi. Ndilalah, seluruh penduduk dusun menuju masjid memenuhi panggilan adzan itu. Bang Jumra sempat bilang pada saya, “by, disini kalo dhuhur, suasananya seperti sholat jumat di desa lain”. Subhanallah… Pulang dari sholat, saya kembali berbincang dengan Pak Husen, menanyakan kondisi ini apakah sudah sejak awal atau baru di tahun berapa, atas kejadian apa sehingga suasananya seperti ini. Kata Pak Husen, sejak tahun 1963 itu, kondisi dusun Melati ini memang sudah islami. Tidak ada musik musik yang mengganggu telinga, jangan ditanya soal mabuk-mabukan atau perkelahian pemuda. Pak Husen juga bercerita, pernah suatu ketika, ada kunjungan Gubernur Prov Maluku, K. A. Ralahalu ke dusun Melati, belum lama dari kedatangan beliau, adzan maghrib berkumandang. Maka semua penduduk pun meninggalkan rombongan provinsi untuk sementara waktu menuju Masjid. Ah, tak bisa saya bayangkan kejadian yang sama di desa lain, bisakah seperti itu? Luar biasa. Salut, saya benar benar salut.
Namun kesalutan saya lalu berubah menjadi diam berkepanjangan ketika pertanyaan saya tentang listrik dijawab Pak Husen dengan jawaban “tak ada listrik disini”. 47 tahun mereka hidup tanpa listrik. Setrika pakai bara. Kalaupun ada beberapa rumah yang lampunya nyala, itu karena memakai genset. Saya tak kuasa berkata. Mengingat bahwa ketika lampu mati sebentar saja di rumah, saya sudah tidak nyaman dan merutuk PLN. Lah, mereka yang 47 tahun tanpa listrik, bagaimanakah hari-hari yang mereka lalui?
Perjalanan ke dusun Melati adalah perjalanan tentang syukur, syukur dan syukur. Betapa ternyata ketidakpuasan saya pada banyak hal di sekitar adalah berlebihan karena di dusun Melati ini, ada 1050 jiwa yang bersabar dengan kondisi mereka, dengan hidup yang mereka jalani dan bahagia dengannya. Ada 1050 jiwa yang akses informasi tidak ada, akses transportasi terbatas, akses komunikasi apalagi. Ah, dan saya hanya satu orang, mengapa tak pandai bersyukur?
Denuzz jadi pengen maen ke sana. Pengen rasakan suasana islam seperti yg mbak gambarkan. Pasti menenangkan jiwa. :D
ReplyDeleteTapi... Perjalanan ke sana lumayan berliku ya... :(
Salam BURUNG HANTU... Cuit... Cuit... Cuit...
berliku tapi indah. kalau dinikmati gak akan berasa likunya kok...
ReplyDeletewah kayaknya kita perlu bekpekeran lagi ke sana bay..
ReplyDeleteserius nih..
akhir taun yuk..
saya ayuk aja. siyap. bila perlu,kita lewat darat. jalan kaki,boi. pasti banyak hikmah.
ReplyDeleteKunjungan perdana nih. Salam hangat dari kota kecil jember..
ReplyDeletehangatnya terasa sampai di kota ambon yg juga kecil tapi manis ini. makasih sudah menyempatkan berkunjung,masbro....
ReplyDelete