Beberapa hari ini, aku bete banget dengan salah seorang ikhwah. Karakterku gak cocok banget sama dia. Aku yang tipe koleris terang aja agak aneh dan males kalo ketemu orang yang sentimentil. BUkannya aku gak punya perasaan. gini=gini, aku juga sentimentil dan kadang melankolis. Tapi kayak gitu kan ada tempatnya. Kita bolehlah terbawa perasaan sentimentil atau sensitif kita pada hal2 tertentu. Tapi kalo sudah menyangkut dakwah, dimana kita semua ada pada satu wadah (jamaah, red), seharusnya harus lebih dewasa menyikapi perbedaan pendapat, harus lebih legowo jika pendapatnya belum diterima. bukannya menyimpulkan bahwa orang2 yang tidak menerima pendapat adalah orang yang marah, gak suka atau egois. Gak kayak gitu kan?
Aneh banget. Beberapa kali aku sudah coba untuk mengerti keadaan ihwah ini. aku memilih kata-kata yang baik, yang kira-kira tidak menyinggung perasaannya yang "halus", tapi kayaknya gak ada perubahan deh. justru, aku merasa tyersiksa karena aku jadinya tidak bisa jujur mengemukakan pendapatku.
Okelah, aku bisa melakukan itu (berbicara menyesuaikan dengan siapa yang kuajak berbicara, yang telmi dan lemot sekalipun), tapi untuk ikhwah yang satu ini, aku memposisikan berbeda. menurutku, beliau yang sudah lama berkecimpung di dakwah, harusnya bisa menerima apapun keputusan syuro, harus bisa menerima tanpa ada kesimpulan sendiri yang lahir dari pemikiran yang menurutku kekanak-kanakan.
Akhirnya, kini aku bersikap sebagai konfrontir. Kini, reaksiku sudah negatif duluan jika beliau yang berpendapat. aku selalu menempatkan dirikku di sudut yang berbeda dengan beliau. okelah, sampai disini aku sadar aku salah. tidak semestinya aku bersikap begitu. Tapi, alhamdulillah aku bisa mengendalikannya dengan tidak menunjukkan bahwa aku di sudut yang berbeda. aku hanya diam dan tidak menanggapi. Dan aku pikir itu lebih baik ketimbang aku berbicara dengan 2 kemungkinan,
1. Jujur tapi itu berarti membuat dia tersinggung lagi dan masalah akan muncul lagi.
2. Mengatakan sepakat, yang itu berarti aku membohingi kata hatiku sendiri
Aku memilih diam. karena biarlah yang lain yang akan berbicara dan ketika sudah menjadi keputusan syuro, maka aku akan siap melaksanakan apapun keputusan itu. Itu lebih baik untukku.
Ini adalah akumulasi dari ke-bete-anku atas sensitifitasnya beliau yang menurutku tidak pada tempatnya. Padahal, dia seorang ikhwan.
Tapi, hari ini aku disadarkan oleh saudaraku se-kajian pekanan. Aku sharing dengannya untuk meminta nasehat darinya,
"......................., gimana dong ukh? aku tau aku salah" kataku
"Ukhti, karakter ikhwan itu macam-macam. akhwat juga gitu kan? banyak macamnya" katanya
Tapi yang ini lain, terlalu sensitif, over banget sensitifnya. kelebihan dosis"kataku membela diri
"perasaan anti aja kali..." dia mencoba membuatku tenang
"ikhwan kok sensitif, kayak perempuan aja" sungutku dengan kesal
"Bukannya malah anti yang kelaki-lakian?" katanya membuatku tersadar
Astaghfirullahul 'adzhim. Ya, aku yang terlalu kelaki-lakian. maksudnya, sifat kholerisku terlalu menonjol dalam syuro sehingga memang berbenturan dengan sifatnya.
"Ukh, rubah sudut pandang anti terhadapnya. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan. anti pun begitu. Terimalah saudaramu, seperti apapun dia. Ubah cara anti menilainya dan ubah cara anti menanggapi prilaku2nya" ucapanya menyadarkanku dari lamunan.
Ya, aku harus merubah sudut pandangku.
Ikhwati,
kadang kita menilai orang lain dengan kacamata kita sendiri.
Sekali waktu, cobalah pake kacamatanya,
dan lihatlah seperti apa dia menilai dirinya sendiri
Maka engkau akan sadar, kenapa dia berbuat hal2 yang menurutmu tidak boleh ia lakukan
12 Maret 2006,
Kepada saudaraku, maafkan saudarimu ini
No comments:
Post a Comment