Bagai petir di malam hari saat kudengar berita ini. Berita yang membuatku ingin tak percaya tapi aku harus percaya setelah sekian panjang seorang abang yang menelponku di tengah malam itu menjelaskan kenyataan yang harus aku terima. Sebuah takdir Allah atas seorang perempuan, seorang sahabat, seorang saudara terbaikku.
“Dia punya gejala leukemia” kata seorang abang itu kuolah berulang-ulang di otakku, kucerna baik2 sebelum kuyakinkan bahwa itu bukan ilusi pendengaranku saja.
Kupastikan itu bukan sebuah candaan garing. Hingga setelah kuyakin berita itu nyata, tubuhku rasanya melayang, air terjun dengan derasnya mengalir dari sudut mataku dan aku tidak bisa berkata-kata lagi.
Untuk 3 menit aku terdiam hingga suara di telpon yang memanggilku berulang-ulang kudengar dengan jelas. Pantes saja, belakangan ini sikapnya untukku lain dari
biasanya. Dia menjelma menjadi sosok yang penuh perhatian. Sosok yang selalu ingin tampil menjadi penolongku, penyedia yang kubutuhkan tanpa tawar menawar apa yang kuminta itu, menelponku 3 kali sehari tanpa mikir pulsa mahal hanya untuk membicarakan sesuatu yang tidak urgen, just say hello apa kabar.
Bukan cuma aku, tapi kuperhatikan sikapnya kepada setiap orang yang dekat dengannya juga berubah. Bukan berubah dari buruk menjadi baik, tapi kebaikan yang memang dari dulu ia punya terlihat bertambah dan bertambah.
1 jam aku dan abang membahas masalah ini, apa yang harus kami lakukan, apa yang bisa kami bantu. Abang yang sedang di Jakarta memutuskan untuk tidak meneruskan S2-nya dulu tapi membantunya melewati ujian ini. Aku pun tak tau harus berbuat apa. Aku tidak mau hanya menghitung hari bersamanya. Aku masih ingin lebih lama dengannya, bersamanya melakukan banyak hal, bersamanya membahagiakan orang-orang di sekitar kami.
Terakhir aku bertemu dengannya adalah 3 bulan lalu. Bersamanya saat-saat itu adalah hari-hari yang indah. hari-hariku bertaburan coklat dan kasih sayang. Ia selalu memastikan aku baik-baik saja dan nyaman karena saat itu aku sedang sakit. Dan saat ini, kusesali kenapa saat itu aku sempat mengecewakan dia, sempat berprasangka buruk sama dia, sempat punya rasa marah yang sangat ke dia. Maafkan aku, saudariku.
Tidak, aku tidak ingin membayangkan yang macam-macam karena itu adalah wilayahnya Allah yang tiada seorang pun mengetahuinya. Aku hanya ingin memberi yang terbaik untuknya juga menemaninya melewati hari-harinya di jalan Allah. memang tidak ada yang bisa menjamin ia yang pergi duluan. Karena bisa saja, justru aku yang akan meninggalkan dunia ini duluan, ini hanya masalah bahwa ia akan melewati hari-harinya
dengan berat menghitung mundur, tidak seperti kita yang walaupun tidak tahu kapan akan “dijemput”, tapi masih bisa menjalani hari-hari dengan normal.
Ya Allah, semua adalah kehendakMU dan kami yakin kami bisa melewatinya karena Engkau tidak akan menguji kami di luar kesanggupan kami.
Untuku, satu hal lagi bertambah untuk kupikirkan, tapi ini adalah kenyataan yang harus kuhadapi. Salah satu orang terdekatku mendapat ujian seperti ini. Hanya
ihtiar yang harus kita lakukan sekarang. Dan teruntuk saudariku, jarak fisik kita tidak pernah bisa memisahkan jarak hati kita. Doaku selalu bersamamu.
Aku akan menemanimu dengan caraku. Dan semoga kau diberi ketabahan melewati ini semua. Apapun keputusan Allah, itulah yang terbaik untuk kita, itulah rahmat
dan sayangNYA untuk kita.
Aku bahagia banget ketika abang menelponku lagi setelah menelpon saudariku itu. kata abang, dia terdengar optimis. Bahkan ketika abang menanyakan kondisinya, dia dengan santai bilang “Sudahlah, anggap aja gak ada apa-apa”. Aku tahu, kau gadis yang tegar, kau gadis yang hebat. Tangguh, dan selamanya seperti itu. I love you, sist
No comments:
Post a Comment