Allang Asaude, satu desa diantara 89 desa di SBB yang berpenduduk mayoritas Kristen (bukan mayoritas, tapi semuanya). Di Allas, kami tinggal di rumah keluarga Bu Ulis. Bu Ulis beserta istrinya, Usi May dan 3 anaknya (Versi dll), begitu hangat menyambut kami dan memberikan pelayanan terutama kenyamanan serta suasana hati yang enak yang tak bisa ditawarkan oleh hotel bintang
lima manapun. Di sela-sela tugas yang harus kami jalankan di desa Allang Asaude, Kecamatan Waesala Kabupaten Seram Bagian Barat, Kamis yang lalu kami mendaki gunung Kotahalu, sebuah gunung karang yang konon katanya dulu gunung yang tinggi lalu pada zaman penjajahan Belanda, dari arah Laut, Belanda mengira gunung ini adalah bangunan. Belanda kemudian membombardir gunung dengan tembakan-tembakan hingga gunung Kotahalu ini runtuh dan berbentuk seperti sekarang ini. Beruntung rasanya diberi kesempatan oleh Allah berkunjung di satu sisi lain dari bumiNYA yang begitu indah.
Perjalanan kami mulai pukul 05.30 WIB dan setelah berjalan sekitar 10 menit ke kaki gunung, mulailah pendakian yang lumayan sulit itu. Dalam kondisi gelap, berbekal 2 senter, kami berlima memanjat dan mendaki dengan rasa penasaran apa yang akan kami lihat di puncak nanti. Medan yang sulit dalam kondisi gelap membuat perjalanan lebih lama dari yang biasanya, itu kata Aty dan Angki yang menjadi guide kami bertiga. Yah, buat pemula oke-lah. Apalagi ini karang semua, kudu lebih hati-hati kalo gak mau kena tajamnya karang. Pendakian yang luar biasa. Capeknya minta ampun. Tapi semakin dekat ke puncak, dan semakin capek dirasa, semakin bersemangat kami mendaki. Dan ternyata benar. Sampai di puncak, semua kelelahan itu terbayarkan oleh suguhan alam yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Angin puncak yang bertiup menghapus keringat hasil pendakian dan mata benar2 termanjakan oleh alam. Di depan pulau Allang yang terlihat dari puncak gunung Kotahalu ini, ada tiga pulau yang terlihat. Ada pulau hoffman (atau hotman ya?), katanya ada gua yang isinya tengkorak. Sebelahnya ada pulau yang lebih kecil dari pulau Hoffman (atau hotman) bernama pulau Air, dan pulau Tatinai. Ketiga pulau ini tidak berpenghuni. Pulau Hoffman ini akan jadi target kunjungan berikut jika saya ke Allas lagi. Untuk kesana, kita cuma perlu naik ketinting alias dayung sendiri setengah jam. Dari puncak, juga terlihat sebuah danau/telaga yang disebut talaga Halong. Dua tempat ini serta merta masuk dalam daftar daerah berikut yang harus kukunjungi.
Pas lagi pose-pose narsis di atas, dari arah Waesala, muncul pelangi yang melengkapi keindahan pagi itu. Matahari pun mulai muncul malu-malu dari timur menerpa menyegarkan wajah. Di Allang Asaude, tidak ada komunikasi. Masyarakat yang mau berkomunikasi, biasanya naik ke gunung ini lalu mencari sinyal kiriman dari Namlea. Kadang sinyal muncul, namun lebih sering tidak munculnya. Hari kami mendaki itu, sinyal hanya “singgah” di handphone Aty yang digantung di dahan pohon. Gantung di dahan pohon, memang cara mencari sinyal. Di handphone yang lain, sinyal tidak mau “mampir”. But its not a big deal karena kedatangan kami bukan untuk telpon. Lucunya, sudah jauh2 kita mendaki, dua orang yang dihubungi Aty, satunya tidak aktif dan satunya tidak menerima telpon. Kasian amat ya.
Konon pula, kata Aty dan Angki, selama ini orang-orang dari luar Allang Asaude yang naik ke gunung Kotahalu ini tidak bisa mengambil gambar. Sementara kami, semua peralatan narsis mulai dari handycam, kamera digital dan 3 hp kamera, semuanya berfungsi maksimal. Aty bilang “dong bisa foto-foto e. Orang luar kalau kesini to seng bisa foto. Dong pung hp dan kamera seng bisa pake foto. Tapi ini bisa tu. Memang dong nae deng hati bersih jadi bisa”. Senang dengarnya, karena memang tak ada apapun yang kami inginkan selain ingin mengagumi.
Waktu hal ini kuceritakan ke Bapa Raja Allang Asaude, beliau tersenyum dan bilang “Nona eby kan orang Luhu, katong pung Tamaela”. Tamaela, saya tidak tahu apa itu arti jelasnya Tamaela dan bedanya dengan pela. Yang saya tahu, kalau orang Luhu ada kegiatan besar atau ada musim cengkeh, yang datang untuk bantu dan juga naik cengkeh adalah orang Allang, begitu juga sebaliknya. Berasa istimewa setiap kali Bapa Raja bicara dan menyebut saya dengan panggilan “Nona Ela” dan saya pun disuruh untuk tidak memanggilnya Bapa Raja, tapi “Bapa Ela”. Its wonderful…..