Thursday, August 14, 2008

Renungan Kesyukuran dari Dahan dan Air

Seperti tahun-tahun sebelumnya, suasana mendekati perayaan kemerdekaan penuh hiruk pikuk merah putih. Setiap kantor seperti berlomba mendandani kantornya dengan nuansa merah putih atau bendera hias lainnya. Euforia itu juga terjadi di kantorku. Sebelum nanti ditegur sama yang berhak menegur, tiang bendera harus segera dipasang. Yah,biar kita bisa nyanyi ”Berkibarlah bendera negeriku, berkibarlah di depan kantorku”.

Sebetulnya postingan ini bukan tentang kemerdekaan.
Jadi gini, sejak beberapa hari yang lalu ada orang kantor yang sudah ngurusin pemesanan tiang bendera plus ngecat-ngecat dan nyiapin tempat bakal berdirinya itu tiang. Nah, jadilah tadi siang tiang itu berdiri ditempatnya. Tiang setinggi 6 meter jadi bagian dari kami mulai hari ini. Didepannya tiang bendera itu ada pohon besar yang tingginya mungkin mencapai 9-10 meter. Salah satu dahannya bersentuhan dengan ujung tiang baru itu. It means, bakal mengganggu penglihatan ke bendera nanti dan juga kibaran bendera bakal terganggu karena bersentuhan dengan dahan itu.

Kita memutuskan untuk memotong bagian dahan itu. Nah, si teman kantor ini gak punya keahlian manjat pohon apalagi ditambah keharusan motong dahan. Aku yang merasa gak ada urusannya dengan manjat memanjat pohon plus potong dahan lantas masuk ruangan lagi dan meneruskan pekerjaan. 15 menit kemudian, ada suara berisik di luar sana yang ternyata aktivitas memotong dahan sudah dimulai. Rekan kantor tadi pergi mencari orang yang punya keahlian di bidang panjat memanjat. Dahan-dahan yang besar dipotong agar tidak lagi mengganggu penglihatan. Kerjaan seberat itu, speechless daku.

Singkat cerita, berakhir sudah tugas si bapak ini. Lantas rekan kantor itu mengisyaratkan padaku kalau ia mau memberi upah ke si Bapak. Saya juga membalas isyarat itu dengan mengiyakan. Si teman bertanya ”berapa?”, dan dijawab si bapak ”terserah saja, beta bukan minta-minta”. Teman pun membalas ”bukan begitu, bapak minta berapa?”. lalu sambil menepuk bahu teman saya, bapak itu berkata ”terserah saja, yah, seadanya-lah”.

Lalu temanku pun mengeluarkan dompet dan mengambil duit yang belum bisa kulihat jelas nominalnya. Waktu dikasih ke si Bapak, aku melihat mata si Bapak tersenyum dengan senyum yang tak bisa kujelaskan maknanya. Mata itu menyiratkan bahagia yang tak lengkap. Iya, ada senyum dari bibirnya dan senyum itu terlihat ikhlas. Tapi kenapa hatiku seperti tak enak. Begitu kulihat, besar yang diberi temanku itu 10.000 rupiah. Segera saja aku memberi isyarat dengan mata bahwa yang ia beri itu tak cukup dengan pekerjaan seberat yang sudah dilakukan tadi. Lalu temanku mengeluarkan 5000 rupiah dan kugenapi menjadi 10000 lagi. Bapak dipanggil dan temanku menyodorkan tambahan tadi ke arahnya, aku bisa melihat jelas mata si Bapak menyiratkan sesuatu seperti ingin bertanya ”Betulkah ini?”. Entahlah, tapi aku membaca sebuah ketidakyakinan bahwa beliau diberikan tambahan

Ekspresi kesyukuran itu, membuatku trenyuh. Ada orang yang untuk mendapatkan 20ribu saja harus bekerja seperti itu, itupun sudah sangat ia syukuri. Teringat pula ibu yang setiap hari menimba air untuk memenuhi bak kamar mandi kantor. Ia dibayar 2500 untuk setiap gen 5 liter yang ia angkat. Kadang dalam sebulan ia hanya mendapatkan 300 – 400 ribu rupiah sebagai upah mengangkat air. Kadang ia ditemani anak-anaknya yang kureka sekitar 8-9 tahun yang ikut mengangkat air. Setiap kali ibu dan anak-anak itu bolak balik kantor sambil menenteng gen, aku selalu tak kuasa melihatnya. Yang kulakukan hanya memandang ke arah yang lain agar hati ini tidak tambah teriris. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk mereka. Bagaimanapun, itulah cara mereka mendapatkan uang. Kasihan dan tidak tega melihat lalu melarang ia menimba air justru sebuah kesalahan.

Sementara aku, nominal sebesar itu bisa aku dapatkan dengan mudah. Tapi kesyukuranku tak juga melimpah. Padahal aku ingat, ketika hatiku begitu gelisah, aku pernah meminta taujih dari seorang sahabat. Dan ia bilang ”eby, apapun yang sedang kau rasakan sekarang, jangan gelisah. Seorang muslim akan baik-baik saja selama ia bersyukur dan bersabar”.

Bersyukur saat mendapatkan rezeki, dan bersabar sat mendapat musibah. Dua hal yang teramat mudah untuk dibaca dan diketahui, tapi begitu sulit untuk melakukan. Bersyukur dan bersabar, dua hal yang teramat berat dilakukan jika tanpa kelapangan hati dan kebesaran jiwa. Terimakasih pak, bu, adik-adik atas pelajaran hari ini.

Wednesday, August 13, 2008

Aku merindu-MU

Malam merayap menuju pekat. Pekat yang sebenarnya sedari tadi ada. Mendung bergelayut sepanjang hari, lalu tak henti bumi basah tersirami butiran rahmat. Tiba-tiba saja, sepi menyergap diri. Perasaan sendiri, kesepian, hampa, sunyi bercampur menjadi satu. Tapi ada yang lebih menggelisahkan, mendapati kenyataan bahwa diri ini semakin jauh dari Allah.

Perih sekali rasanya, seperti ditanam di bumi. Aku marah pada diriku sendiri, bagaimana bisa lalai, bagaimana bisa merangkak menjauh, bagaimana bisa?
Ah, tak ada gunanya bertanya. Toh, diri ini pun tak mampu menjawab pertanyaan yang sebenarnya diakibatkan oleh perbuatan lalai memanjakan nafsu duniawi. Untuk apa semua kesenangan yang kurasakan sekarang, untuk apa kemapanan dan gengsi yang sedikit demi sedikit ditiupkan oleh syaitan ke telinga saya lalu menetap di hati? Untuk apa itu semua kalo ternyata kualitas hubunganku denganNYA memburuk?

Sholat, yang fardhu saja. Itupun tidak lagi tepat waktu, kecuali maghrib. Kesibukan melenakan membuat tak beranjak dari empuknya tempat duduk kalau belum merasakan lapar, lalu jadilah makan dan shalat. Lalu kalau suatu saat tidak lapar, bagaimana? Atau kalau laparnya sudah jam ½ 4 bagaimana? Ah, diri, sungguh keterlaluan dirimu.
Cumbu mesra dengan bacaan agung pun tak semesra dulu. Datar, hambar, tidak lagi menggetarkan. Pertanda keringnya hatikah? Diri, sungguh engkau merugi.

Kekosongan yang sekarang kurasakan, semakin membuat lubang di hati semakin besar. Aku merindu. Hatiku berdarah merindukanNYA. Kekasih yang aku tau tak pernah meninggalkanku. Aku yang selalu mengkhianatiNYA. Selalu membuatNYA cemburu dengan kesibukan yang kalau saja kusadari lebih awal, datang karena rahmatNYA. Sungguh tak tahu berterimakasih.

Aku merindu, rindu ini menyiksaku. Rindu kembali akrab denganMU seperti dulu. Rindu untuk hanya berdua denganMU dalam hening malam, rindu membaca surat cintaMU yang indah, rindu dengan kerinduanku padaMU, aku rindu.

Lalu bergetar tangan ini membuka surat cintaMU selepas maghrib tadi. Ah, memandangi hurufnya yang terangkai indah saja sudah membuatku terkesima, terpesona. Lalu kulantunkan suratMU dengan suara hatiku, serasa terserap seluruh beban. Serasa semua kesempitan dan kegelisahan terhisap habis oleh kesucian kata-kataMU.

Bulir hangat menjalari pipi. Betapa kerdil diri ini. Betapa hina diri ini,. Tapi masih saja ENGKAU menyapaku dengan manis. Sungguh, aku merinduMU.
Allah, sampaikan aku pada RamadhanMU, agar kutebus semua kelalaianku, agar aku masih punya kesempatan untuk mendekat padaMU, mencintaiMU dengan cintaku yang sederhana ini, mencintaiMU dengan shaum yang kadang terasa berat, mencintaiMU dengan sahur yang ngantuk, mencintaiMU dengan tarawihku yang bolong, mencintaiMU dengan tadarusku yang singkat. Aku hanya ingin mencintaiMU dengan cara yang aku bisa. Aku tahu aku kalah dengan hamba-hambaMU yang lain yang begitu luar biasa mengejarMU, tapi Allah, aku juga ingin ikut berlari, walaupun langkahku tak cepat, walaupun nafasku tak panjang. Aku hanya ingin mencintaiMU dengan semua energi yang bisa aku persembahkan. Itu karena aku ingin KAU cintai walaupun tak banyak.

Allah, aku tersungkur lagi kali ini. Tapi aku akan berdiri lagi dan kembali dalam barisan yang bersegera kepadaMU.

Thursday, August 07, 2008

Undangan Lagi, Lagi-lagi Undangan

Awal bulan yang lalu, dua berita pernikahan kuterima. Keduanya dari teman-teman STM, Iswandi dan Arieswati, tentunya dengan pasangan masing-masing. Siang tadi, di sela-sela kesibukan di kantor, bunyi sms di hp memberitahukan satu lagi. Begitu menginjak kata-kata ”you are all invited to our wedding reception” maka tuing,





lonceng di kepalaku berdentang. Siapa dia?






Siapa kenalanku yang menikah?








Taraaa,




ternyata mas Danang, mantan Ketos.
Seneng...seneng. tapi juga sedih.
Kapan ya giliran aku yang ngundang? (Ngarep...*boleh dong*)

Untuk iswandi dan istri, juga Aries dan Suami, Barakallah ya. Semoga sakinah, mawaddah warahmah, pokoknya semoga bahagia deh.

Buat mas Danang, kayaknya gak bisa dateng tuh (ya iya lah, di Bandung gitu lho), tapi doaku menembus batas waktu dan jarak. Semoga bahagia hingga menua.
Buat stelkers yang belum, kapan pada nyusul mereka yang sudah berlayar duluan. Kok kita di tepi-tepi gini aja nge-dadah mereka yang sudah berlayar?

Slank, cepat ma ko. Atau belum pi ada calonmu? Cari ko…

Amha, apa ji. Danang, Jyo, Cobho sudah mi. Kau iya? Perasaan, calonmu ada mi sejak kita sekolah dulu. Kenapa beng kau yang paling tertinggal?

Armand, hey ayo segera maju

Baya, tinggal kita berdua nih. Gimana dong?

Budi, apa masih berlaku ”Yang tersisa adalah yang terbaik?”. masa lomba-lombaan jadi yang tersisa?

Jadi,
Buat yang sudah duluan menemukan pelayaran, berlayarlah menuju pulau bahagia.
Buat yang belum juga berani berlayar, bersegeralah.
Buat yang mau tapi belum ada yang mengajak atau diajak berlayar, hunting terus yak. Chayo....

Jiwa, Aku Bicara Padamu

Jiwa,
Coba kau renungkan kembali
Dimanakah kau berada saat ini?
Di dunia mana kau sedang berpijak

Wahai diri,
Tak malukah kau pada dirimu
Bahwa ketika di luar sana, semuanya berlomba mendekat
Kau malah menjauh

Jiwa,
Lalu sampai kapan kau biarkan dirimu berlari
Apa kau pikir kulitmu itu sanggup menahan panasnya neraka?
Setebal apa sih kulitmu itu?

Lupa ya jiwa, bahwa kulit itu buatan Allah
Dan lupakah pula kalau api neraka itu juga punya Allah?
Sombong sekali kau bah...
Tak tahu diri

Hai manusia hina,
Beraninya engkau mengulur-ulur waktu
Seakan matimu masih lama.
Tak sadarkah bahwa ia tengah mengintaimu
Dan mampu menyergapmu kapan saja

Sudahlah,
Berhentilah bermain-main dengan dosa
Karena kau tak akan sanggup menahan siksaNYA
Balasan yang kau sendiri cari

PS : Tulisan pada diri sendiri yang semakin sombong. Astaghfirullah........