Sunday, June 28, 2009

Gadisku, Mengangkasalah..........


Cinta, kau temukan jua

Sayap pendamping yang kau nantikan

Menjemputmu memulai pengembaraan

Yang semoga selamanya


Cinta,

Dalam temaram senja, wajahmu bercahaya

Belum pernah ada senyum semanis ini

Yang kau hadirkan selama hidupku bersamamu


Cinta,

Kau telah dijemput

Siapkah kau meninggalkan kami?

Karena aku tak siap kau tinggalkan


Cinta,

Serupa makna matahari bagi manusia

Serupa itulah kau padaku

Lantas jika kau pergi,

Kemanalagi aku berharap sinar?


Cinta,

Melihatmu bahagia adalah kebahagiaan terbesarku

Melihatmu tersenyum adalah senyuman terindahku

Membelaimu, melihatmu, adalah sejuk mataku


Dia telah datang,

Seorang pangeran yang bersiap menggandeng tanganmu pergi

Mitsaqan ghalidza itu, bahagia dan duka bercampur tak karuan

Dia, kenapa dia datang lalu membawamu pergi?


Cinta,

Tak ada kata yang pantas menyematkan bahagia di hatiku

Melihatmu tersenyum manis..manis sekali

Lalu terkadang tersipu memerah


Cinta,

Aku mencintaimu, dengan seluruh hidup yang aku punya

Aku mencintai keputusanmu dengan seluruh napas yang aku hirup

Aku mencintaimu dengan sepenuh doa seumur hidupku


Selamat sayang,

Barakallah untuk kalian berdua

Aku disini, bersama kalian hingga detik terakhir hidupku


Rumah cinta Wailahan, 28 Juni 2009 : Ditulis untuk seorang gadis berjilbab biru

Nb : Ardi, jaga adekku dengan seluruh hidupmu. Bimbing dia disisimu. Dia bunga terindah yang kau petik dari taman kami.

Monday, June 22, 2009

Salah satu sisi Allang Asaude





Allang Asaude, satu desa diantara 89 desa di SBB yang berpenduduk mayoritas Kristen (bukan mayoritas, tapi semuanya). Di Allas, kami tinggal di rumah keluarga Bu Ulis. Bu Ulis beserta istrinya, Usi May dan 3 anaknya (Versi dll), begitu hangat menyambut kami dan memberikan pelayanan terutama kenyamanan serta suasana hati yang enak yang tak bisa ditawarkan oleh hotel bintang lima manapun. Di sela-sela tugas yang harus kami jalankan di desa Allang Asaude, Kecamatan Waesala Kabupaten Seram Bagian Barat, Kamis yang lalu kami mendaki gunung Kotahalu, sebuah gunung karang yang konon katanya dulu gunung yang tinggi lalu pada zaman penjajahan Belanda, dari arah Laut, Belanda mengira gunung ini adalah bangunan. Belanda kemudian membombardir gunung dengan tembakan-tembakan hingga gunung Kotahalu ini runtuh dan berbentuk seperti sekarang ini. Beruntung rasanya diberi kesempatan oleh Allah berkunjung di satu sisi lain dari bumiNYA yang begitu indah.


Perjalanan kami mulai pukul 05.30 WIB dan setelah berjalan sekitar 10 menit ke kaki gunung, mulailah pendakian yang lumayan sulit itu. Dalam kondisi gelap, berbekal 2 senter, kami berlima memanjat dan mendaki dengan rasa penasaran apa yang akan kami lihat di puncak nanti. Medan yang sulit dalam kondisi gelap membuat perjalanan lebih lama dari yang biasanya, itu kata Aty dan Angki yang menjadi guide kami bertiga. Yah, buat pemula oke-lah. Apalagi ini karang semua, kudu lebih hati-hati kalo gak mau kena tajamnya karang. Pendakian yang luar biasa. Capeknya minta ampun. Tapi semakin dekat ke puncak, dan semakin capek dirasa, semakin bersemangat kami mendaki. Dan ternyata benar. Sampai di puncak, semua kelelahan itu terbayarkan oleh suguhan alam yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Angin puncak yang bertiup menghapus keringat hasil pendakian dan mata benar2 termanjakan oleh alam. Di depan pulau Allang yang terlihat dari puncak gunung Kotahalu ini, ada tiga pulau yang terlihat. Ada pulau hoffman (atau hotman ya?), katanya ada gua yang isinya tengkorak. Sebelahnya ada pulau yang lebih kecil dari pulau Hoffman (atau hotman) bernama pulau Air, dan pulau Tatinai. Ketiga pulau ini tidak berpenghuni. Pulau Hoffman ini akan jadi target kunjungan berikut jika saya ke Allas lagi. Untuk kesana, kita cuma perlu naik ketinting alias dayung sendiri setengah jam. Dari puncak, juga terlihat sebuah danau/telaga yang disebut talaga Halong. Dua tempat ini serta merta masuk dalam daftar daerah berikut yang harus kukunjungi.


Pas lagi pose-pose narsis di atas, dari arah Waesala, muncul pelangi yang melengkapi keindahan pagi itu. Matahari pun mulai muncul malu-malu dari timur menerpa menyegarkan wajah. Di Allang Asaude, tidak ada komunikasi. Masyarakat yang mau berkomunikasi, biasanya naik ke gunung ini lalu mencari sinyal kiriman dari Namlea. Kadang sinyal muncul, namun lebih sering tidak munculnya. Hari kami mendaki itu, sinyal hanya “singgah” di handphone Aty yang digantung di dahan pohon. Gantung di dahan pohon, memang cara mencari sinyal. Di handphone yang lain, sinyal tidak mau “mampir”. But its not a big deal karena kedatangan kami bukan untuk telpon. Lucunya, sudah jauh2 kita mendaki, dua orang yang dihubungi Aty, satunya tidak aktif dan satunya tidak menerima telpon. Kasian amat ya.


Konon pula, kata Aty dan Angki, selama ini orang-orang dari luar Allang Asaude yang naik ke gunung Kotahalu ini tidak bisa mengambil gambar. Sementara kami, semua peralatan narsis mulai dari handycam, kamera digital dan 3 hp kamera, semuanya berfungsi maksimal. Aty bilang “dong bisa foto-foto e. Orang luar kalau kesini to seng bisa foto. Dong pung hp dan kamera seng bisa pake foto. Tapi ini bisa tu. Memang dong nae deng hati bersih jadi bisa”. Senang dengarnya, karena memang tak ada apapun yang kami inginkan selain ingin mengagumi.

Waktu hal ini kuceritakan ke Bapa Raja Allang Asaude, beliau tersenyum dan bilang “Nona eby kan orang Luhu, katong pung Tamaela”. Tamaela, saya tidak tahu apa itu arti jelasnya Tamaela dan bedanya dengan pela. Yang saya tahu, kalau orang Luhu ada kegiatan besar atau ada musim cengkeh, yang datang untuk bantu dan juga naik cengkeh adalah orang Allang, begitu juga sebaliknya. Berasa istimewa setiap kali Bapa Raja bicara dan menyebut saya dengan panggilan “Nona Ela” dan saya pun disuruh untuk tidak memanggilnya Bapa Raja, tapi “Bapa Ela”. Its wonderful…..

Monday, June 15, 2009

tak berjudul

sedu menyapa hati
pada makna hujan ia bertanya
dinginkah kau rasa
atau memang begitulah adamu

tak menemukan tempat untuk berlabuh
tapak kaki masih harus tertatih
merengkuh asa berselimut mimpi
menjelma kesunyian dan bisikan takbir
betapa kesyukuran menggelembungi naif diri
tak bisa begini jika tak ada kasih sayangNYA

makna apalagi yang masih dicari
ketika harap tak kunjung tiba
padahal telah banyak tetes-tetes penantian
lalu bertanya ia pada angin
tak lelahkah kau mengembara
atau memang begitulah adamu
menyinggahi tempat tak terjamah sebelumnya
penuh yakin makna nyata kehadiranmu
diiringi salam tasbih, salam selamat datang

lalu matahari kembali tersenyum
seringainya lebar hingga menusuk pori
maka bertanyalah ia pada matahari
tak bosankah kau menyinari
atau memang begitulah adamu