Monday, October 20, 2008

Sekali Lagi untuk Santje dan Iwan

Tahukah kau sobat?
Arasy kembali berguncang.
Tempat suci itu bergetar hebat mendengar suara perkasa seorang hamba
Suara teguhnya yang siap mengambil alih dirimu
Ya.. dirimu sobat
Yang telah dijemput dengan gagah oleh seorang pangeran

Tentu itu tak main-main bukan?
Getaran arasy pastilah sampai ke hatimu
Juga hatinya yang menggenggam tangan ayahmu
Siap mengambil alih tanggungjawab menjagamu dari seorang ayah
Seorang yang telah merelakan setiap aliran darah dan nafas untukmu selama ini

Tahukah pula kau sobat?
Sejak hari itu, kau tak lagi sendiri
Genaplah sudah sayapmu
Kau pun siap terbang tinggi, lebih tinggi dari yang selama ini kau arungi

Sobat,
Jika pun kau tak tahu itu,
Dan baru kau sadari saat ini
Aku yakin , ada satu hal yang kau tahu
Bahwa aku, disini, menemanimu dalam doa
Agar ketika kau terbang mengangkasa
Kau tetap tunduk pada Allah
Agar perjalanan yang sudah kau mulai bersamanya ini
Selalu Allah yang kalian jadikan tujuan

Sahabatku,
Doaku terangkai indah
Semoga rumah cinta kalian selalu diselimuti keberkahan


Nb : Buat Santje dan Iwan di bumi Ambon di 18 Oktober 2008. Wan, jaga Santje-ku baik-baik ya

Saturday, October 18, 2008

Persembahan Cintaku untuk Santje dan Iwan


Say, langkahmu kini tak lagi sendiri. Disampingmu telah berdiri seorang pria yang siap melakukan apapun agar kau bahagia. Telah ada seorang pria yang kudengar sendiri dengan lantangnya berakad menganbil tanggungjawab akan dirimu dari papa.

Say,
Melihatmu dengan balutan putih yang elegan dan suci tadi, sulit kujelaskan dengan kata-kata kebahagiaanku. Begitu cepatnya waktu berlalu. Sepertinya baru kemarin kita berlari-lari di sekolah saat jam istirahat tiba. Baru kemarin kau mengibarkan bendera dan aku protokolnya. Baru kemarin kita pergi les bareng hampir tiap hari. Masa-masa SD yang indah.

Persahabatan yang tak bisa dibilang sederhana ini semakin lengkap karena kehadiran suamimu sekarang. Dia yang sejak awal telah begitu mengerti arti setiap kita bagi yang lainnya. Semoga kehadirannya membuat warna persaudaraan kita semakin indah.

Sayangku,
Aku tak punya khutbah pernikahan, tak punya pula pesan untuk kalian bagaimana supaya tetap bahagia. Aku hanya punya doa. Aku hanya punya harap yang begitu besar bahwa selamanya akan selalu kulihat senyum di wajahmu. Selamanya hanya bahasa bahagia yang terangkai dari bicaramu. Selamanya hanya pancaran kilat penuh cinta yang kulihat dari indah sinar matamu.

San dan Iwan,
Pernikahan tidak cuma sampai di sini, sobat. Ada banyak pekerjaan dan tugas yang menanti. Bukan sekedar merapihkan rumah kembali dari sampah-sampah pesta pernikahan, karena itu mungkin sudah dikerjakan oleh panitia. Bukan menata letak perabotan rumah tangga, bukan juga kembali ke kantor atau beraktifitas rutin karena masa cuti habis.

Tapi ada hal yang lebih penting, menyadari sepenuhnya hakikat dan makna pernikahan. Bahwa pernikahan bukan seperti 'rumah kost' atau 'hotel'. Di mana penghuninya datang dan pergi tanpa jelas kapan kembali. Tapi lebih dari itu, pernikahan merupakan tempat dua jiwa yang menyelaraskan warna-warni dalam diri dua insan untuk menciptakan warna yang satu: warna keluarga.

Say,
Harapanku yang terbesar adalah tetaplah menjadi sahabat yang baik bagiku dan Lia. Karena itu sangat berharga. Melangkahlah sayang, tapaki jalan yang terbentang di hadapanmu sekarang. Jalan yang bukan hanya ditaburi mawar merah dan ditemani kicauan burung. Tapi adalah sebuah jalan yang juga banyak ditaburi kerikil kecil yang seringkali menjadi penyebab tersandung. Jalan yang sejuta rasa bercampur di dalamnya. Bahagia, senang, tawa, senyum, tapi juga ada sedih, air mata, kecewa, marah, gelisah. Bingkai ia dengan ketaatan pada Rabb. Kau akan semakin kuat dan cinta akan menjadi obatnya.


Tak ada yang bisa kuberikan. Hanya sejumput doa agar kau bahagia selamanya. Impian yang besar dari seorang sahabat yang memiliki cinta sederhana ini. Dan kepada Iwan, aku ingin meminta kembali satu hal yang sudah kusampaikan di pelaminan tadi, titip san ya, buat dia bahagia. Entah bagaimana caranya, buat dia bahagia. Terimakasih telah memilih sahabatku sebagai pendampingmu. Dia yang terbaik.

San, bersabarlah saat kurang, bersyukurlah saat berlebih. Suamimu bukan malaikat. Ia hanyalah lelaki biasa yang mencoba menjadi malaikat setidaknya untukmu. Berbaktilah dengan bakti terbaik yang bisa kau berikan.
Iwan, istrimu bukan malaikat. Ia hanyalah wanita biasa yang mencoba menjadi malaikat setidaknya untukmu. Luruskan kala bengkok, tapi jangan kau patahkan.

Ambon, 18 Oktober 2008
Sebuah harap bagi Santje dan Iwan yang telah mengambil sebuah langkah besar. Wish you happy ever after.

gambar dari : http://3.bp.blogspot.com/_QebQAAxDqR0/SMzGaEi4gVI/AAAAAAAAAjU/jeHfrYDZoiw/s320/wedding.jpg (dra, ngikut nih)

Saturday, October 11, 2008

Ketika Takdir Bicara

Kehilangan orang-orang yang kita cintai dalam sekejap pastilah terasa sangat menyakitkan. Ketika beberapa jam sebelumnya, kita masih bisa menikmati tawa riang anak-anak kita.bocah-bocah lucu yang pada dirinya telah tertanam sejuta harapan untuknya dalam benak kita. Putra-putri yang padanyalah hidup kita terarah. Lalu tiba-tiba dalam hitungan menit, ia pergi dan tak akan kembali. Dengan cara yang tak biasa pula.
Lalu, apa pula rasaya ketika kita baru saja menikmati senyuman tulus pasangan kita. Melihat riang di matanya dan terpana kagum melihatya ceria menggendong buah cinta. Masih sempat bercerita tentang mimpi-mimpi yang ingin kita rajut bersama. Lalu selang beberapa saat kemudian, pasangan hidup kita mengalami musibah dan harus terbaring lemah di Rumah Sakit tanpa tahu kapan bisa keluar.

Aku memang belum punya pasangan, apatah lagi punya anak. Tapi kecamuk yang dirasakan oleh senior di kantor kini, jelas ikut menusuk batin terdalamku. Kecelakaan mobil Piru – Ambon seminggu lalu jelas menyisakan kekosongan yang mendalam di runag hati. Kehilangan dua orang anak seketika setelah sejam yang lalu masih bersama di feri sungguh sesuatu yang tak ada seorang pun bisa membayangkan. Dan pikirannya kini tercurah pada kondisi kesehatan sang istri sambil berusaha menyembunyikan kepedihan kehilangan anak di depan istrinya itu.

Anak-anak itu, masih begitu muda. 4 dan 5 tahun. Ada begitu banyak keinginan yang ingin diwujudkan orang tua mereka kelak kalau mereka besar nanti. 4 dan 5 tahun, masih banyak kelucuan-kelucuan yang bisa tercipta mewarnai har-hari indah di rumah. Ah, tak bisa kubayangkan.

Begitulah ketika takdir telah berbicara. Manusia memang tetap harus berhati-hati, berikhtiar mengusahakan yang terbaik. Namun di saat yang sama, manusia juga harus bisa menerima setiap ketentuan yang digariskan kepadaNya. Karena apapun yang terjadi, itu dengann ijinNya. Keihklasan dalam menerima takdir Allah yang berlaku pada kita, insyaAllah bisa membantu kita lebih cepat sembuh dari luka karena kita yakin seperti apapun keras dan sedihnya hidup ini, itu berjalan dengan kasih sayangNya.

Aku mencoba memaknai peristiwa ini sebagai sebuah peringatan dari Allah untuk semakin dekat denganNYa karena kita tidak tahu dalam kondisi apa kita saat kita dipanggil olehNya. Apakah dalam keadaan beriman atau tidak. Sebuah pelajaran juga bahwa kita sebenarnya tidak memiliki apa yang kita pikir kita miliki. Orang-orang yang kita sayang, sahabat-sahabat kita, keluarga kita, anak kita, teman kita, bahkan diri kita adalah kepunyaanNYa. Dan ketika Yang Memiliki mengambil kembali apa yang dititipkan ke kita, bolehkah kita protes? Apa hak kita untuk protes? Bukankah kita hanya dititipi?

Allah, jagalah diriku dan seluruh saudara-saudaraku dengan penjagaanMu yang tiada apa bisa menandingi. Tetapkanlah kami dalam keistiqomahan di jalanMu dan hiasi sayap kami dengan indahnya akhlak karena mencintaiMu.