Perjalanan balik ke Piru hari itu seperti biasa. Rute Mardika - liang, Feri, Waipirit - Piru. Semua seperti biasanya. Sampai di Feri, ketemu sama Abang yang kebetulan aktif di sebuah LSM di Ambon. Maka berdiskusilah kami sepanjang perjalanan Waipirit - Piru. Pak Sopir yang duduk di samping saya (ato saya yang duduk disampingnya ya?) diam saja. Aku dan abang terus saja berdiskusi tanpa ada selaan dari Pak Supir. Sampe di suatu belokan di gunung parang, ada sebuah bus jurusan Ambon - Waesala yang parkir dan kondisinya mengisyaratkan terjadi sesuatu tadi. Tanya-tanya serupa bisikan seolah bertanya pada diri sendiri itu ternyata didengar juga oleh Pak Supir. Dan mengalirlah rangkaian kata dari Bapak yang dari tadi diam saja. ia berucap begini :
"Mobil itu abis jato. Liat itu body-nya, sudah seng bisa bilang lai. Padahal itu punya BUMN. kalo swasta la iyo jua. Ini BUMN tapi oto su bobrok, su seng layak pakai lai. Bagaimana kalo supir musti kasi jatah par disini, disini jatah par disana, disana kasi par disitu lalu disitu kasih jatah par di atas lai. Lalu kalo 100 akang sampai di atas cuma 10, la iyo jua, mo dapa biaya perbaikan dari mana. Susah memang seng tau pemimpin bagaimana yang betul. Mar Rakyat Indonesia ni memang paling sanang sudah. Tinggal dong datang kasi permen, la sudah, katong pilih jua. Asal datang sa bilang kalo terpilih nanti KTP gratis. Abis nae, urus KTP 3 bulan seng jadi-jadi. Jadi wajar kalo rakyat sakarang su apatis. Seng bisa kasih salah rakyat. Dong su bosan deng janji-janji, tau sama sa. Padahal rakyat tu seng mau apa-apa. Katong ni seng manuntut banyak. Yang penting jalan bagus, pendidikan bagus, kesehatan bagus, air bagus, la sudah. Jalan bagus, katong pi mancari bagini enak, katong pung anak-anak bisa sekolah. Kalo dong sakit, katong bisa pi bawa rumah sakit. Jang kong katong bawa rumah sakit, lalu kalo dong seng bisa, la rujuk ke Ambon mo pake ambulans katong musti bayar lai. Macam bagitu katong tunggu waktu sa. Kalo orang muslim, tinggal tunggu baca yasin sa. Beta kamareng kamareng ada pi antar orang BAWASDA liat polindes di desa balakang-balakang. Beta sampe tanya par dong, Polindes ni biking par kambing tinggal ka par perawat tinggal. Polindes kosong baru kambing su pono di muka akang. Kalo memang seng bisa orang luar yang praktek di situ, musti pemerintah pikir akang pung cara. Kalo orang luar datang jauh-jauh baru sampe situ kesejahteraan seng ada, dong makan susah, jelas jua dong seng betah. Maknya kas sekolah orang asli situ supaya biar bagaimana dong akan betah karena dong pikir itu dong pung daerah. Baru pemerintah ni seng bisa kerjasama baik. Kalo memang su rencana bikin bangunan kayak begitu, harusnya su siapkan siapa nanti yang mo masuk akang. Daripada kayak begini, tinggal par kambing jaga akang"
Aku ngapain?
Gak ngapa-ngapain. Hanya mendengarkan semua yang terpikirkan oleh Pak Supir. Bisa jadi itu juga dipikirkan oleh berjuta rakyat yang lain. Jujur, saya gak bisa berkata-kata. Saya yang setiap hari berinteraksi dengan pihak-pihak yang bisa saja mengambil kebijakan, toh juga masih belum memberi kontribusi apa-apa. Idealisme saya belum bisa disalurkan dengan maksimal. Jadi saya tak bisa menimpali apa-apa karena memang seperti itu realitanya.
Lalu apa yang sedang atau bisa saya lakukan? Saya ingin sekali mengajak semua pihak untuk bekerja dengan jujur, dengan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai motivasi utama. Terlalu berlebihankah? Terlalu sok-kah? Entahlah, hanya saja saya berusaha untuk jujur dalam pekerjaan saya. At least saya berusaha merancang sesuatu yang tepat guna untuk rakyat.
Kadang hati ini begitu gelisah melihat realita di depan mata. Gemas dan sedih tak bisa berbuat apa-apa. Sistem telah mendukung, semua terpola dengan baik untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Dan tak ada yang bisa bicara karena semua terjebak di dalamnya. Pernah terpikirkan untuk berhenti ketika dada ini semakin sesak. Tapi teringat diskusi di salah satu rumah makan di Jl A.Y. Patty bersama sahabat-sahabat sekolah dulu, saat awal memilih di tempat ini. Dia bilang "By, kalo semua orang seperti kamu memilih mundur, lantas siapa dan kapan semua bisa diubah?. Kalo semua orang yang melihat ketidakberesan memilih pergi ketimbang membenarkan ketidakberesan itu, lantas kapan ketidakberesan itu bisa jadi beres?"
Lantas teringat pula kata-kata saya sendiri pada salah seorang teman yang dulu saat tertatih-tatih di dakwah kampus dan memilih mundur. Saat itu saya bilang "Akhi, kalo antum naik kapal bersama teman-teman dan dalam kapal ada kerusakan, mana yang lebih baik? Tinggal dan bersama-sama memperbaiki kerusakan itu atau terjun menyelamatkan diri sendiri ke laut? Kalo pilihan ke dua yang antum ambil, berapa lama antum pikir bisa bertahan dengan dinginnya air laut? Bisakah antum menjamin tidak ada hiu yang akan datang. Lalu berapa lama antum bisa bertahan berenang hingga menemukan pulau lain?".
Kata-kata itu sekarang tertuju pada saya.
nb : soal analogi kapal, pernah baca di Al-Izzah entah edisi berapa. Salah satu motivation word-ku. Makasih ya Pak Supir atas celoteh indahnya. Sebelum tulisan ini diposting, sempat diskusi dengan rekan kerja, Mr K tentang pilihan untuk PNS. Sudah bahas panjang lebar, Eh, kemarin ditanya lagi sama rekan yang lain, Mr. J, tapi tak terjawab karena sudah gak tahu harus bilang apa.