Dia teman apamu?
Si jelita bungkam mendengar pertanyaan itu, tak ia temukan kata yang tepat untuk menjawab. Meski di hadapannya telah tersodor kamus besar di atas meja berkaki empat yang kian lapuk untuk ia bebas memilih satu saja kata. Tapi tatapannya membatu di atas kamus lusuh itu.
Pria di hadapannya menuntut jawaban. Dia teman apamu? Tiga kata yang sulit untuk terjawab, karena jelita pun tak tahu, dia teman apa. Apakah teman itu bisa terkotak di dimensi ruang dan waktu? Teman SMP, teman SMA, teman kuliah atau teman kerja? Begitukah opsi jawabannya?
Jelita tetap diam.
Karena yang jelita tahu, dia adalah teman dengan segala definisinya. Dia pernah ada dan sekarang pun masih ada. Hanya telah menjalani kehidupan berbeda. Hanya sedang merangkai cerita berbeda, tak lagi sejalan dengan jelita.
Dan si pria ikut mematung. Diam jelita memberinya jawaban. Bahwa seorang dia adalah teman, setidaknya buat jelita. Dan pria tak peduli meski di luar sana jelita punya banyak teman. Karena pria tahu, jelita hanya punya satu cinta.
Satu saja,
Untuknya………
Dan itu lebih dari cukup.
Monday, January 18, 2010
Sunday, January 17, 2010
Pistol, kursi dan kesatria.....
Waktu rasanya berjalan begitu cepat. Seolah ada yang menarik paksa tanganku dan berkata "ayo pulang,jangan melawan". Padahal kaki masih ingin kujejakkan lebih lama. Padahal masih banyak bahasa yang belum tersampaikan.
Lamunan menyampaikanku pada satu pertanyaan. Mungkinkah ada dua waktu. Satu waktu yang menarik tanganku dengan paksa dan sepucuk pistol tertodong di kepalaku. Namun ada waktu yang lain yang dengan tangkas meraih tali temali dan mengikat kaki serta tanganku di atas kursi listrik, dan aku akan terus disitu jika tak ingin disengat berkilo watt listrik.
Sekarang kebingungan kembali melanda. Tertembak peluru atau kesetrum?
Tak ada yang lebih baik. Tak ada yang ingin kupilih. Karena ada satu pengharapan lagi.
Bahwa somehow, ksatria datang dan melumpuhkan pemegang pistol itu lalu mematikan aliran listrik.
Dan dengan sekali kedipan mata, tali temali meleleh hingga menjadi abu dan aku tetap bersama sang ksatria.
Disini atau disana,
Sudah tak penting lagi.
Lamunan menyampaikanku pada satu pertanyaan. Mungkinkah ada dua waktu. Satu waktu yang menarik tanganku dengan paksa dan sepucuk pistol tertodong di kepalaku. Namun ada waktu yang lain yang dengan tangkas meraih tali temali dan mengikat kaki serta tanganku di atas kursi listrik, dan aku akan terus disitu jika tak ingin disengat berkilo watt listrik.
Sekarang kebingungan kembali melanda. Tertembak peluru atau kesetrum?
Tak ada yang lebih baik. Tak ada yang ingin kupilih. Karena ada satu pengharapan lagi.
Bahwa somehow, ksatria datang dan melumpuhkan pemegang pistol itu lalu mematikan aliran listrik.
Dan dengan sekali kedipan mata, tali temali meleleh hingga menjadi abu dan aku tetap bersama sang ksatria.
Disini atau disana,
Sudah tak penting lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)