Wednesday, September 13, 2006

LaGI, TenTAng IbUKu

Bismillah..

Hari ini baru terasa banget bagaimana capeknya ibu selama bertahun-tahun bekerja. Seharian tadi dari jam ½ 7 pagi aku harus ngajar sendiri 31 siswa bandel sampe jam ½ 12 dan diteruskan dengan kelas lain yang tidak kalah memusingkannya hingga jam 5. Seharusnya sampe jam 5, but I cant handle it anymore. Aku harus ngajar sendiri karena pak Putu yang seharusnya jadi partner ngajar hari ini lagi ke Claket, dalam kegiatan LDKS OSIS. Jam 3, saat istirahat pertama, kelas saya bubarkan. Aku gak kuat, aku gak tahan, emosiku terkuras habis. Bukan karena aku sibuk marah-marah, justru karena aku gak boleh dan gak bisa marah pada saat dimana sebenarnya aku berhak untuk marah, itu semua membuat batinku rasanya penuh. Setiap anak menuntut banyak hal yang membuatku pusing.

Belum juga aku seperti dikerjai oleh HP-ku sendiri. Mikroponnya tiba2 saja rusak tak ada angin tak ada hujan. Sementara ada hal yang harus aku bicarakan dengan orag-orang di luar sana. Setiap aku menghubungi mereka, selalu tidak bisa berkomunikasi. They can’t hear me. Aku hanya bisa diam, ya, itu yang sering dan selalu kulakukan when i know i must do something but i don’t know what am i supposed to do. After that, aku pun pulang. Entah apa yang ada di benakku tadi. Aku tidak peduli jika besok aku dipanggil oleh kaprog untuk mempertanyakan alasanku memulangkan siswa lebih awal dari seharusnya. Aku bahkan saat itu tidak peduli jika yang kulakukan tadi akan membuatku kehilangan pekerjaan ini. Tadi, aku muncul sebagai orang yang apatis. I don’t care what will happen after this. I just wanna go home. That’s it

Di bemo pulang, aku tidak bisa membendung air mataku. Wajah ibu terus terbayang. Aku begitu capek hingga tak kuasa menahan beban. Dan ibuku, beliau telah melakukan apa yang aku lakukan selama hampir 30 tahun lamanya. Mengertilah aku sekarang, mengapa setiap ia pulang sekolah, walaupun senyum dan ciuman yang ia bawa, tetap saja ada gurat lelah di wajah indah itu. Paham aku sekarang mengapa ibu bisa marah jika saat ibu pulang, didapatinya rumah masih berantakan sedangkan kami asyik tidur-tiduran. Mengapa pula ia tidak suka ketika sepulang sekolah, ternyata kami mengecewakan beliau dengan masakan yang mungkin kurang asin atau malah keasinan atau malah gak jelas rasanya. Kalo saja ibu tau, gak ada yang bisa masak seenak ibu.

Aku mengerti semuanya sekarang. Ia menahan emosi itu, ia bergelut dengan masalah-masalah di sekolah, dengan murid-murid yang beraneka macam kemauannya, 30 tahun, dan itu semua untuk kami. Belum cukup itu, beliau tetap tampil sebagai wanita luar biasa di rumah. Guru yang begitu ditakuti, disegani dan penuh keanggunan di sekolah, tampil menjadi wanita yang anggun sekaligus tegas dan bersahaja di dalam rumah.

Ibu, ibulah guru abadiku, guru kehidupanku

No comments:

Post a Comment