Surat dari my beloved Vina. Trimakasih sudah mengirim surat ya sayang. Belum sempat kubalas but i will, i promise. Surat diambil dari sini
Assalamu’alaikum
Wr Wb.
Hai
Saudaraku... apa kabarmu di seberang sana?
Kuharapkan
kau selalu dalam pelukan Allah, ya. Oh ya, Bang Lito juga apa kabar? Sepertinya
sedang semangat-semangatnya bekerja ya?? Kangen sekali ingin bertemu dengan
kalian.
Ingat
tidak?? Selama ini aku hanya mengetahui tentang sosok bang Lito hanya dari
suaramu yang merdu. Dari cerita-ceritamu yang selalu membuatku iri. Hahaha, iri
yang baik kok, Bi. Iri ingin memiliki tulang punggung dan belahan jiwa seperti
dia. Apa?? Aku harus menjadi sepertimu?? Hahaha... Mungkin juga ya? Aku memang
ingin belajar sepertimu. Bukan menjadi mirip kamu, tapi bersikap lembut,
dewasa, dan baik sepertimu.
Beberapa
hari kemarin, aku merasakan rindu yang luar biasa padamu, Gerimis. Eh, jangan
bilang kau lupa panggilan itu. Gerimis, kan nama panggilanmu. Senja itu
panggilan nona Acha, sedangkan Pelangi itu punyaku. Hahahaha... siapa coba yang
kasih nama itu, ya?
Aku ingat,
pertama kali satu kelompok denganmu saat AMT. Kita harus mengingat nama-nama
teman satu grup yang jumlahnya 30 orang. Dan kau adalah satu-satunya yang bisa
mengingat semuanya. Lalu aku rindu saat kita senam setiap Rabu dan Sabtu. Harus
bangun pagi-pagi banget. Terus gerak-gerak seksi di sela-sela kabut puncak,
ditemani instruktur cantik yang ga kalah seksi. Terus, sarapan ala orang barat,
pake omelet, roti bakar, jus. Halah, ingat ga, gara-gara itu, perut pribumi
kita tidak bisa menerima dan akhirnya... kau tahu kan, D.I.A.R.E. hahaha. Kau
ingat, tiap ke kelas, beberapa dari teman kita selalu membawa bekal roti bakar
dan memakannya saat perut mendadak keroncongan sebelum jam coffee break.
Aku
rindu saat kita ber-karaoke bersama atau bernyanyi di resto. Sio mama, lagu yang kau nyanyikan. Benar
tidak? Aku rindu bermain UNO di
kamarmu. Berapa nomor kamarmu dulu? Yang kuingat 234, benar tidak? Tiap libur
kelas, aku selalu main ke kamarmu, bareng bang Azhar, Mas Hari, bang Uchin,
Anesh, hm.. siapa lagi ya? Oh ya, ni Ul, ni Yanti, dan beberapa orang lainnya
yang sering main ke tempatmu. Apalagi sepeninggal Nadeth pulang ke Makassar lebih
dulu, aku makin sering main ke tempatmu. Sayang sekali, kita baru dekat saat
pendidikan sudah hampir selesai. Tapi, aku bersyukur sekali, Alhamdulillah pada
Allah, meskipun waktunya hanya sebentar Allah masih memberikan kesempatan
untukku mengenalmu, Saudaraku.
Aku
merindukan momen bersamamu.
Oh
ya, satu lagi yang luar biasa. Bagaimana mungkin tiba-tiba aku bisa mendadak
ikut ke Lembang bersamamu dan bang Azhar. Ya ampun, ga nyangka aku. Itu adalah
hal terbaik dan terhebat buatku. Mengenal mbak Titi yang luar biasa melaluimu,
Ebi. Ah, pokoknya luar biasa deh.
Maaf,
ya, Ebi, aku tidak bisa datang saat pernikahanmu dulu. Tapi seperti janjiku,
bingkisan sederhana dan doa aku kirimkan melewati lautan. Dan Thanks, God, itu
bisa sampai ke tanganmu dengan selamat. Sempat was-was dan tidak percaya pada
pak pos, takut bingkisannya dibuang ke laut, hahaha.
Aku
masih ingat, bagaimana bahagia dan terharunya aku saata khirnya kamu mengatakan ada janin dalam rahimmu. Aku
langsung menelponmu dengan riangnya. Ya Tuhan, aku bakal jadi tante untuk satu
keponakan lagi. Subhanallah. Aku sudah membayangkan, kalaupun tidak bisa datang
ke Ambon pada acaranya nona Acha, aku akan datang saat keponakanku itu lahir.
Lalu
tanggal 22 Maret 2013 lalu, kau tiba-tiba mengirimkan sebuah pesan singkat
padaku. Janinmu sudah meninggal. Buah hati yang belum sempat kau sentuh, kau
lihat dan kau dengar tangisannya. Kau dan bang Lito memanggilnya ‘abang’, kan?
Boleh aku memanggilnya begitu juga? Aku shock Ebi, mendengar abang kecil
dipanggil Allah lebih dulu. Aku tahu betapa kau sangat mengharapkan
kehadirannya. Jujur, saat itu aku tidak menangis. Aku diam. Tapi, justru itu
membuatku sakit. Lucu ya? Bukan aku yang kehilangan, tapi aku merasakan sedih
yang hebat. Bahkan ketika kau bilang bahwa abang kecil sudah meninggal sebulan
lamanya dan kamu baru mengetahuinya. Sungguh kebesaran Illahi, kau tidak sampai
keracunan, Sayang. Bahkan tanpa dikuret, rahimmu sudah bersih.
Aku mungkin
tak bisa menguatkanmu. Karena aku tahu kau perempuan yang kuat. Dibandingkan dengan
yang menghiburmu, mungkin kau jauh-jauh lebih kuat. Alla mencintaimu, Ebi. Juga
mencintai Bang Lito. Dia Yang Maha Cinta tengah mengujimu. Menyiapkan kalian
untuk naik tingkat. Percayalah, abang kecil tengah menunggu kalian di surga
Allah. Dan seandainya dia punya kesempatan bicara dengan kalian, dia pasti akan
mengatakan ‘aku bangga menjadi putra ummi dan abi’ seperti aku bangga menjadi
sahabatmu, Perempuanku. Ah, tidak... dia lebih bangga lagi.
Kau selalu
mengatakan, sabarlah sayang, Allah pasti punya rencana terbaik. Sekarang,
semoga engkau bisa lebih tenang dan sabar. Lebih meredakan air matamu. Aku tak
bisa bilang ‘sabar, ya’ karena pasti sudah begitu banyak orang yang mengatakan
itu. Aku hanya bisa bilang, ceritalah padaku jika itu mampu meringankanmu. Sms aku
jika kau butuh teman untuk bicara, maka aku akan menelponmu. Kita akan
cerita-cerita, sama dengan saat aku sering bertukar cerita denganmu di kamarmu.
Kau mau
mendengar ceritaku?
Aku punya
sahabat dekat. Dian namanya. Dia sahabat kuliahku, hingga sekarang. Eternal friendship,
hahaha. Dia sama denganmu, Ebi. Kehilangan janinnya sebelum Allah
menghadirkannya dalam pelukan. Kalau kau kehilangan saat usia kandunganmu
menginjak 4 bulan. Dia kehilangan saat janinnya berusia 7 bulan. Tapi, sekarang
dia sudah bisa tersenyum dan bercanda. Dulu, mungkin dia sepertimu. Menangis dan
memendam kerinduan yang luar biasa. Tapi, sama denganmu juga, dia memiliki
keluarga dan suami yang tak kalah luar biasanya. Dia merasa, jika sedih terus,
maka orang-orang yang meyayanginya juga akan ikut sedih. Kalau Ebi ingin nomor
telponnya, aku akan memberikan. Mungkin Ebi bisa berbincang dengannya.
Lalu,
ada juga teman SMA yang pada bulan yang sama kehilangan belahan hatinya. Selama
11 tahun bersama, Allah akhirnya memisahkan mereka. Bukan untuk menjauhkan,
tapi untuk mempertemukan mereka kembali di tanah Surga-Nya.
Jadi,
jangan menangis lagi, Ebi. Air matamu itu, jangan membuat abang kecil sedih. Tersenyumlah.
Karena sungguh cantik saat kau melengkungkan bibirmu. Serupa gerimis yang
menyejukkan.
Kita
belajar bersama, Saudaraku. Bukan hanya tentang kehilanganmu, tapi juga
bagaimana kita menerima semua skenario-Nya yang maha dahsyat. Aku yakin kau
sudah mampu menerima dan mengikhlaskan abang kecil. Hanya saja, gerimismu masih
seperti badai yang mencemaskan.
Aku menunggu
gerimis yang rintik, Ebi.
Aku menunggu
senyum seorang Ebi Waliulu.
Baiklah,
aku akan menulis surat lagi nanti. Dan kuharap saat itu, kau sudah berkata ‘hatiku
sudah membaik.’
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.