Banyak yang bisa diberikan oleh seorang guru, banyak pula sebenarnya yang bisa mereka minta. Tapi tak pernah sedikit pun mereka menuntut balasan atas setiap kesuksesan yang mereka toreh, setiap kesuksesan yang mereka siapkan sejak awal mereka mendidik. Namun terkadang mereka malah lupa, bahwa mereka pernah menitipkan segores asa dan meletakkan satu bata kesuksesan kepada anak muridnya.
Kesan di atas adalah kesan saya terhadap pendidikan dan para guru di masa lalu. Dulu, ya dulu. Sekarang ini, sulit mencari guru yang menjadikan kata “mendidik” sebagai semangat hidupnya. Sekarang, guru hanya profesi yang mudah dilakoni siapa saja, bahkan jika ia tidak memiliki basic keguruan sekalipun. Aktivitas mengajar hanya sebagai rutinitas, tak lagi menyertakan hati.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para guru senior yang masih sangat berdedikasi terhadap tugasnya tapi tak diperhatikan haknya oleh Pemerintah, saya ingin mengatakan bahwa saat ini sepertinya siapa pun bisa menjadi guru. Mereka yang setelah selesai kuliah lalu tak kunjung mendapatkan pekerjaan, berbondong-bondong mengajukan lamaran sebagai guru dan dengan mudah diterima. Modal Akta 4 yang hanya 2 tahun cukup bisa disejajarkan dengan lulusan keguruan yang memang sejak awal berniat menjadi pendidik. Karena itu, langkah menutup Akta 4 adalah langkah yang sangat tepat dan sangat bertanggungjawab, karena itulah yang tanpa disadari akan menghancurkan sistem dan kualitas pendidikan kita.
Saya ambil contoh di sebuah desa yang tak perlu disebut namanya, mutu dan kualitas guru perlu dipertanyakan. Para guru yang terhitung masih sangat muda itu di siang hari mengajarkan pelajaran di sekolah dan di malam hari, masih bisa kita lihat joget di saat pesta kampung atau berkata tidak sopan dalam pergaulannya. Bukankah seorang guru yang diikuti bukan hanya pelajarannya tetapi juga bagaimana dia ber-akhlak. Apa jadinya jika akhlah dan mental pendidik bobrok? Apa yang bisa ditiru oleh muridnya? Tak ada lagi pendidikan berkualitas yang bisa dihasilkan. Tak ada lagi pola mengajar dan komunikasi yang mampu membuat siswa rindu akan sekolah. Beberapa guru muda pernah datang bertamu ke rumah saya, dan masuk sampai dapur tanpa mengucapkan salam. Dan setelah yang dicari tak ada, mereka pergi tanpa mengucapkan salam pula. Kemana larinya sopan santun seorang guru? Bagaimana ia bisa mengajarkan sopan santun kepada siswanya jika ia sendiri tak punya itu? Padahal, Pendidikan adalah instrumen rekonsiliasi sosial. Jika tak direkayasa pola pikir siswa secara baik dari sekarang, hal ini bisamengancam eksistensi integral sosial dalam sebuah masyarakat di masa yang akan datang.
Sungguh, saya berduka atas mental-mental pendidik seperti ini. Namun, saya percaya masih ada para pendidik yang luar biasa. Masih ada pendidik yang menjadikan pendidikan sebagai nafasnya, sebagai hidupnya. Sungguh, saya percaya mereka masih ada.
Dan sungguh, saya masih berharap akan sebuah perbaikan .......
* Ditulis untuk postingan MBC meramaikan Hardiknas*