Tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang 18 tahun di bangku sekolah resmi sejak TK hingga kuliah. Masuk TK di usia 4 tahun hanya karena ingin berpakaian putih biru seperti kakak, yang karena itu pula ditolak oleh salah satu SD favorit di Ambon pasca lulus TK karena katanya tidak menerima siswa berusia 5 tahun. Sampailah saya pada sebuah SD yang sederhana, yang saat itu hanya karena kekecewaan ditolak oleh SD yang sebenarnya saya dambakan. SD Negeri 5 Tawiri Ambon, sebuah sekolah di Bilangan Tawiri yang sunyi dari lalu lalang kendaraan. Sekolah yang tampak sangat sederhana tapi disitulah saya menemukan pendidikan yang sebenarnya. Guru-guru yang luar biasa yang percaya akan setiap anak didiknya, yang menganggap setiap muridnya adalah emas yang layak untuk disepuh.
Persahabatan yang muncul di sekolah sederhana nan bersahaja ini bukan hanya persahabatan antara para siswa tapi juga persahabatan antara saya dan beberapa guru bahkan hingga detik ini. Diawali dari Ibu Kariuw di kelas 1, lalu seterusnya Ibu Mina Waliulu, (alm) Pak Sabban, Ibu Sahertian, Ibu Sapulette, Ibu Mien Berhitu, Ibu Rat, Ibu Nun Keliobas, dan Pak Dadiara. Mereka inilah yang sangat yakin akan kami, para muridnya. Mereka yang selalu memompa semangat kami agar yakin akan kemampuan kami. Dan hingga kini, setiap tahun kami selalu menyempatkan diri ke SD tercinta itu menjenguk mereka dan setiap tahun pula mereka selalu bilang bahwa mereka bangga akan kami. Sesungguhnya kami-lah yang bangga akan mereka. Karena mereka-lah, kami bisa sampai di titik ini.
Di SMP (SMP Negeri 2 Ambon), tak banyak sosok guru yang bisa saya ceritakan. Tapi ada satu guru yang melekat di hati yaitu Pak Umar (Guru PPKN). Di satu kesempatan, beliau pernah menjaga kami saat tak diijinkan keluar sekolah sementara kami belum shalat maghrib. Beliau lalu meminjam lab Biologi,dan menyuruh kami shalat di atas meja lab, sementara beliau di luar lab menunggui. Sungguh luar biasa. Entah dimana beliau sekarang. Terakhir ketika beliau bertemu dengan Ayah, beliau sempat menanyakan keadaan saya, dan katanya beliau sudah ngajar di Ternate, pindah karena konflik 1999 itu. Di SMA (STM Telkom Makassar), banyak guru yang kocak, yang santai. Tapi ada juga yang killer. Disini tak banyak yang bisa saya ceritakan karena semua gurunya luar biasa. Ada kenangan dari setiap pendidiknya.
Semua pendidik yang saya temui selama 18 tahun ini adalah pribadi-pribadi yang luar biasa. Mereka berkorban banyak untuk anak-anak didiknya. Hal itu baru saya sadari 3 tahun yang lalu. Saat kuliah sudah berakhir, LAB yang saya kelola sedang tak ada praktikum, dan belum ada keinginan untuk pulang kampung ke Ambon, ada tawaran dari Dosen untuk mengajar di salah satu STM Listrik di Surabaya. Saya mengajar di kelas 1 dan 2 dengan total 6 kelas yang per kelasnya 36 orang. Bisa dibayangkan, menghadapi 216 anak usia SMA yang kesemuanya laki-laki. 216 keinginan, 216 karakter, 216 kemauan, 216 tingkah aneh-aneh, dan beberapa yang kurang ajar.
Memang, masih ada jenis murid yang menyenangkan. Yang sering berdiskusi, yang kemauan belajarnya tinggi. Beberapa yang setiap harinya curhat masalah pribadi. Kita juga sering makan bersama sambil berdiskusi di ruang kelas. Banyak hal yang menyenangkan. Namun ada satu peristiwa yang begitu menyesakkan dada. Saat itu, entah bagaimana, kelakuan semuanya begitu menjengkelkan. Mungkin juga karena pembawaan yang memang sedang capek, semua hal jadi begitu menyebalkan. Kelakuan mereka di dalam kelas yang kelewat batas dan saya yang tak bisa mengeluarkan emosi di depan mereka hanya memilih diam. Dan sebelum jam mengajar berakhir, mereka saya pulangkan karena batin saya yang capek.
Saya pun pulang. Dan dalam perjalanan pulang itulah, tangis tak bisa dibendung. Tangis capek dan tangis mengingat jasa para guru dan terutama ibu saya yang juga seorang guru. Betapa susahnya menjadi seorang guru. Di sekolah, dihadapkan dengan berbagai macam masalah dan sampai di rumah, bisa saja ada masalah-masalah baru dalam keluarganya. Atau sebaliknya, di rumah sedang bermasalah dengan keluarga, namun harus tetap ke sekolah dan mengajar tanpa melibatkan emosi, mengabaikan suasana batin yang sedang tidak enak.
Itu pula mungkin penyebabnya, kenapa kita sering melihat guru-guru yang melakukan tindak kekerasan. Tekanan pekerjaan dan suasana yang batin yang tidak mendukung bisa menjadi alasan seseorang tak bisa mengendalikan emosinya. Karena itulah, melalui tulisan ini, saya ingin memberikan apresiasi yang luar biasa kepada guru-guru yang masih bisa tersenyum di sekolah. Bahkan kadang senyuman itu yang bikin murid-muridnya tersenyum lebih ceria. Apresiasi yang tinggi kepada para pendidik yang mampu melejitkan setiap anak didiknya menjadi orang yang lebih hebat darinya dan tersenyum bangga tak menuntut balas.
Terimakasih tak terhinggaku kepada seluruh guruku di SD Negeri 5 Tawiri Ambon (Ibu Kariuw, (alm) Pak Sabban, Ibu Sahertian, Ibu Sapulette, Ibu Mien Berhitu, Ibu Mina Waliulu, Ibu Rat, Ibu Nun dan Pak Dadiara). Mereka-lah peletak kedua batu semangat belajarku (setelah orang tuaku, tentu saja). Mereka yang hingga detik ini, setiap kali bertemu dengan saya, selalu mengatakan kebanggaannya, meski saya tak tahu apa yang mereka banggakan. Saya-lah yang bangga dan beruntung dididik oleh mereka. Love you all.
*ditulis dalam rangka Hardiknas*
*ditulis dalam rangka apresiasi MBC (Maluku Blogger Community) pada guru lewat tulisan*
Yap, pengalaman yang sama pernah saya rasakan.
ReplyDeleteTernyata menjadi guru tidaklah mudah, padahal waktu itu saya hanya kerja sambilan sbg guru disela waktu kosong. Apalagi kalo jadi guru beneran, bisa stress
Saya salut pada Bu Ola-pendidik PAUD Laskar Semut-(http://tk-paud-laskarsemut.blogspot.com/), karena beliau mampu menangani anak-anak kecil yang notabene belum memiliki kestabilan mental dan jauh dari kata dewasa. Tapi kesabarannya hebat bukan main..