5 cm...
Judul buku Donny Dhirgantoro yang baru saja saya baca setelah harus menunggu selama 4 bulan untuk sampai di genggaman. Penantian yang tidak sia-sia karena buku ini membuatku menyadari kembali satu hal tentang mimpi dan jembatan untuk meraihnya. Nyesal ketemu buku itu sekarang, setelahempat tahun buku itu terbit, setelah cetakan ke 15-nya (atau lebih) beredar, tapi daripada enggak kan?
Ada sebuah quote yang menarik,
Taruh mimpimu mengambang depan kening (agar selalu kau lihat), dan yang diperlukan sekarang Cuma....
Kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya
Tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya
Mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya
Leher yang akan lebih sering melihat ke atas
Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari biasanya
Hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya
Serta mulut yang akan selalu berdoa.
Buku ini juga membuatku bangga akan Indonesiaku. Bumi dimana mahameru berpijak, pecel madiun ada, tempe penyet terhidang, papeda dan colo-colo menggoda. Indonesia yang kaya, yang sejak lahir, kita minum dari airnya.
Tapi tulisan ini bisa hadir bukan tentang itu, teman. Buku itu memang mengembalikan tekadku untuk memindahkan daftar mimpi dari buku coklat ke depan keningku. Mengembalikan kebanggaan akan Indonesia meski di tengah carut marut terseok memperbaiki diri. Tapi ini bukan tentang itu. Ini adalah tentang saya dan kalian, sobat. Adakah saya berarti ataukah hanya kesia-siaan yang kalian dapat dari pertemanan ini.
Almarhum Adrian menginspirasi teman-temannya dengan selalu mengulang kalimat “sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain”. Almarhum Adrian pasti dan sangat pasti terinspirasi dari pesan baginda Rasul sejak berabad-abad tahun sebelumnya “Khairunnaas anfa’uhum linnaas...sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”.
Lalu melintaslah pikiran itu.
Bagaimana dengan saya?
Sudahkah saya memberi sesuatu yang bikin orang lain bahagia?
Sudahkah saya memberi makna di setiap kehadiran saya?
Sudahkah saya toreh jejak kebaikan di setiap perjumpaan?
Ataukah saya hanya seonggok daging yang bernama???
Teman,
Saya hanya ingin meminta maaf atas setiap kesia-siaan yang saya timbulkan. Atas berlalunya waktu tanpa makna dalam kehadiran saya di kehidupan kalian. Mungkin juga justru rasa sakit yang saya tingglkan, omongan tak penting yang bisa saja menoreh luka yang tak disadari.
Seorang bijak pernah menyuruh anaknya menempelkan paku di pagar setiap kali ia menyakiti orang lain. Dan ketika pagar itu mulai penuh, anak itu ingin memperbaikinya. Si ayah lantas menyuruh anaknya untuk mencabut paku itu satu persatu setiap kali ia berhasil meminta maaf dari setiap yang ia sakiti. Sampailah pada cabutan paku terakhir, namun si anak melihat pagar itu tak lagi sama dan tak akan pernah sama seperti sebelum dipaku.
Inilah usaha saya mencabuti paku-paku yang saya torehkan di hati kalian. Mungkin tak akan pernah sama, tapi yang saya butuhkan sekarang adalah kesempatan.
Kesempatan untuk menjadi berarti dalam tiap perjumpaan.
Kesempatan untuk bermmakna dalam setiap pembicaraan.
Kesempatan menjadi terindah dalam setiap terkenang.
Dan yang terpenting adalah kesempatan agara aku bisa belajar menjadi pribadi yang membuat orang lain bisa bernapas lebih lega karena keberadaanku disitu,
Hingga suatu ketika, saat kita tak lagi mampu berjumpa dan namaku terdengar, kalian bisa tersenyum dan bilang “itu temanku, sahabatku, saudaraku”
Maafkan segala perilaku bodohku. Dan sejak hari ini, aku akan berusaha memberi jejak kebaikan, bermanfaat bagi orang-orang di sekitarku. Maafkanku, sobat jika belum membanggakan kalian.
p.s : Menjadi sempurna adalah ketika menatap mata orang tua dan orang-orang yang menyayangi kita dan tahu bahwa kita tak akan mengecewakan mereka.
Sincerely,
Eby (dengan harap tak akan mengecewakan kalian)
No comments:
Post a Comment