Sunday, November 06, 2011

Al-Latif, Sebuah Kerinduan

14 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1997, keluarga kami pindah rumah ke daerah Air Kuning, kawasan Kebun Cengkeh Kota Ambon. Saat itu, daerah air kuning terbilang masih baru, dan penduduknya bisa dihitung dengan jari termasuk jari kaki. Kami termasuk penghuni penghuni awal lorong Wailahan dan Gondal di kompleks ini. Masih ingat dengan jelas, karena penduduk yang masih sedikit itu, kami bergabung dalam jamaah Masjid Al-Burhan yang terletak di loorng Sumatera. Tidak terlalu jauh memang, tetapi daerah itu bukan daerah silaturrahim kami, artinya interaksi kami dengan penduduk lorong sumatera hanyalah saat di masjid saja. Di keseharian, kami tidak pernah berinteraksi.

Tahun berganti tahun, BTN Manusela yang terletak lebih dekat dengan kompleks kami, daripada ke lorong sumatera, membangun masjid Al-Ikhwan. Maka jamaah di lorong Wailahan dan Gondal ini pun terbagi. Pada saat sholat jumat atau sholat hari raya, warga dua lorong ini terpisah. Sebagian ada yang ke Masjid Al-Burhan, sebagian pula ada yang ke Masjid Al-Ikhwan. Bahkan tidak sedikit yang ke Masjid Raya Al-Fatah. Begitulah kehidupan berjamaah dua lorong yang bertetangga ini. Para ibu memang memiliki pengajian rutin dari rumah ke rumah. Tapi para bapak? pemudanya? tidak ada tempat untuk bertemu rutin dalam suasana yang religi.

Hingga tibalah saatnya, bermula dari hibah tanah seorang pemilik tanah di lorong Wailahan, sejak tahun 2010 dimulailah pembangunan masjid kompleks. Pembangunan dilakukan swadaya oleh penduduk laki laki baik tua maupun muda setiap harinya terutama di hari minggu dan ibu ibu mengumpulkan dana lewat berjualan kue dan sesekali ikut membantu kerja bapak bapak dan para pemuda.

Setahun berjalan, tahun inilah, tahun 2011, untuk pertama kalinya, warga Wailahan dan Gondal bisa sholat id bersama sama dalam satu tempat. Saya masih ingat suasana haru setelah sholat id fitri September lalu. Bisa saya rasakan atmosfer senang, bangga dan terharu dari warga bahwa akhirnya bisa sholat di masjid sendiri, mesjid yang dibangun dengan keringat bersama sungguh luar biasa. Meski ada yang hilang juga, suasana berkunjung ke rumah rumah tidak seramai biasanya, mungkin karena sudah bertemu semua di masjid kali ya. Beda dengan tahun tahun sebelumnya yang sholatnya misah misah.


Pun hari ini, suasana sholat id adha juga berbeda. Bagaimana tidak, ritual hadrat keliling kampung dengan membawa hewan kurban yang tahun tahun sebelumnya, warga sini hanya sebagai penonton gelaran hadrat kampung kampung tetangga, kini kami bisa melakukannya sendiri. Para pemuda dan anak anak yang sudah berlatih 2 minggu sebelum id setiap malamnya, siang ini melakukan hadrat keliling kampung membawa kurban menuju Masjid Al-Latif, masjid kecil kebanggaan kami.


Masjid Al-Latif adalah masjid harapan. Harapan untuk kami dapat hidup beragama lebih baik, juga hidup bertetangga dengan lebih baik.

No comments:

Post a Comment