Bismillah...
Beberapa hari yang lalu saya sedikit "diomeli" lantaran saya bilang mau ke rumahnya seorang kenalan. Dalam sedikit "omelan" itu, barulah saya tau bahwa saya dilarang (baca:dianjurkan tidak alias gak seberapa suka) ke situ karena ada satu sikap dari ortu kenalan saya yang gak disuka sama saudara yang mengomeli saya. Nah, ribet kan?
Itu masalahnya. Keribetan yang gak penting. Siapa yang bermasalah, siapa yang harus ikut kena getah? Masak lantaran ortu kenalan ada sedikit salah sama saudara dari orang yang juga mengenal saya, saya lantas harus ikut-ikutan tidak kontak. Aduh, itu kan gak penting banget,BANGET.
Apalagi, dari cerita yang saya dengar, itu bisa saja hanya salah paham. Ortu kenalan saya pasti punya alasan mengapa bersikap seperti itu dan ternyata selama ini belkum ada komunikasi untuk mencaritahu mengapa ortu kenalan itu bersikap begitu. Trus, atas dasar apa saudara yang mengomeli saya itu merasa anggapannya yang benar dan ortu kenalan saya salah tanpa pernah bertanya mengapa?
Kalaupun memang salah, trus apa juga hubungannya dengan saya?
Apalagi keperluan saya adalah dengan kenalan saya itu. Kalaupun saya perlu sama ortunya pun, saya kira its not a big deal. Toh, ortunya selama ini baik-baik saja ke saya.
Terlepas dari apapun permasalahannya, kenalan saya itu beserta keluarganya sudah sangat saya sayangi. Mereka buat saya orang-orang yang luar biasa. Saya belajar banyak tentang kesederhanaan, kekeluargaan dan yang terpenting dari semua, saya belajar tentang KETULUSAN.
Jujur, mereka-lah orang2 yang membuat saya percaya bahwa masih ada orang yang bersikap baik tanpa pamrih di dunia ini. Saya sudah tau dan berhubungan dengan banyak karakter. Ada tipe penjilat, ada tipe bermuka dua, ada tipe baik tapi pamrih, ada tipe baik tapi selalu mengungkit kebaikannya, dan mereka adalah tipe yang lain. Benar2 tulus. Itu sangat bisa saya rasakan dari setiap tindakan mereka ke saya dan itu pula yang membuat saya begitu nyaman jika berada di keluarga mereka karena saya tahu apa yang mereka lakukan adalah dari hati.
Kalaupun memang pada akhirnya ortu kenalan saya itu yang salah, saya kira tidak akan merubah apapun. Bagaimana mungkin kesalahan itu bisa membuat saya lupa kebaikan-kebaikan yang sudah mereka berikan pada saya. Bahkan jika mereka buat kesalahan pada saya pun, kebaikan mereka tetaplah memiliki timbangan yang lebih berat.
Juga ketika saya dikomentari masalah kedekatan saya dengan seorang sepupu. Selama ini baik2 saja dan kedekatan saya mulai dikomentari karena sepupu saya itu sempat punya sedikit mau yang cara penyampaiannya terkesan tidak sopan pada saudara2 saya yang lain. Oke, memang saya akui tidak sopan. Tapi kalua karena itu saya gak boleh dekat, ya maaf saja. Saya gak mungkin bisa lupa kebaikan dia selama kami sama2 di Surabaya. Dia gak makan sebelum saya makan. Dia gak tidur sebelum saya tidur. Dia juga memmastikan bahwa saya baik2 saja. Dia sudah begitu banyak membantu saya supaya tetap merasa nyaman dan bahagia di rantau. Trus, kalo sekarang dia buat sedikit salah, kenapa gak ada maaf? Lupakah kalian dengan sikapnya yang selalu menuruti apapun yang kalian perintahkan? Masa sih kalian lupa? Toh, dia juga manusia.
Lagi, saya dilarang gak boleh berteman dengan teman saya karena dia sudah berlaku kurang ajar pada orang tuanya. Oke, saya gak tau seperti apa bentuk kekurangajarannya itu. Tapi, seperti apapun bentuknya, saya tetap tidak bisa bilang dia benar kalau namanya sudah kurang ajar pada orang tua.
Permasalahannya adalah mengapa saya jadi dilarang berteman dengan dia? Berteman dengan dia insyaAllah tidak akan membuat saya kurang ajar juga kepada orang tua saya.
Dia punya satu kebaikan yang tak pernah bisa saya lupa dalam hidup saya. Semasa saya sekolah di Makassar dulu, saya pernah jatuh sakit dan harus diopname. Dialah yang menemani saya selama di rumah sakit. 24 jam dia menemani saya. Dia tidak meninggalkan kamar selain untuk ambil baju ganti saya dan mengurus askes saya. Dia tidur malam bersama saya di lantai rumah sakit. Dia bahkan tidak kuliah selama saya berada di rumah sakit.
Selain itu, kami juga sama2 menghadapi berbagai masalah selama kami di perantauan makassar. Kami tertawa dan menangis bersama. Dia begitu punya arti buat saya. Dan kalau sekarang dia buat satu kesalahan, itupun bukan pada saya, tidak mungkin saya tidak berteman lagi dengan dia.
Ini satu hal yang tidak saya sukai. Kita begitu cepat lupa akan kebaikan2 orang lain setelah ia buat satu saja kesalahan. Tolong mengertilah. Lihatlah sesuatu secara total. Ketika seseorang berbuat salah, cukup perbaiki di situ, jangan merembet kemana2. Jangan sampai membuat kalian lupa bahwa sebelum satu kesalahan itu, sudah ada banyak kebaikan yang tercipta.
Memang karena nila setitik bisa rusak susu sebelanga. Tapi, tidak semua hal bisa dianggap sebagai nila. dan kalaupun itu nila untuk kalian, jangan jadikan itu nila juga untuk saya. Karena belanga saya masih sangat bersih. Mereka tidak pernah meneteskan nila di belanga kenangan saya bersama mereka.
Monday, February 26, 2007
Saturday, February 17, 2007
Aku merindu
Kemarin pas nunggu Evi dan Kak Deda datang, saya dan Mbak Ratih nunggunya di teras masjid Raya AlFatah. Masjid kebanggaan Masyarakat muslim Maluku.
Dulu masjid ini kayaknya besaaaaaar banget. Liat halaman, saya seperti liat eby kecil yang berlari-lari dengan teman2 ngaji sepulang ikut acara di masjid itu.
Aku kangen masa kecilku, masa-masa aku mulai belajar mengenal Allah
Terlepas dari itu semua, aku lebih merindukan satu hal.
Allah, aku merinduMU..........................
Dulu masjid ini kayaknya besaaaaaar banget. Liat halaman, saya seperti liat eby kecil yang berlari-lari dengan teman2 ngaji sepulang ikut acara di masjid itu.
Aku kangen masa kecilku, masa-masa aku mulai belajar mengenal Allah
Terlepas dari itu semua, aku lebih merindukan satu hal.
Allah, aku merinduMU..........................
Hari Sepupu Sedunia
Beberapa hari ini judulnya HARI SEPUPU SEDUNIA.
Kemarin, sama mbak Ratih janjian ketemuan sama Evie dan Kak Deda makan bakso dan es kacang di warungnya pak Djafar. Pulangnya kita mampir ke rumahnay tante ade ketemu Dek Putri. Abis itu ke rumahnya Ma Onco ketemu Ervin, Dek Ois, sama si kecil Pasha. Pulangnya mampir lagi ke rumahnya Om Uya ketemu sama Kak Ida, Evi dan Toriq.
Hari ini, di rumah pada kumpul semua tanpa janji sebekumnya. Ma Onco, Ervin, Dek Ois dan si kecil Pasha datang siang. Sorenya, tante Sum dan Kak Ida satang dan kak Leli nyusul. Caca datang juga dari piru. Bagaimana gak rame, 4 ibu, 8 saudara, 1 ponakan ketemu.
Keluarga besar saya dari pihak ibu ada 7 tante, 7 om, 24 sepupu, 6 sepupu ipar, 7 ponakan. Total 50 orang minus Bibi yang sudah gak ada. kapan ya bisa kejadian kumpul semua?
Kemarin, sama mbak Ratih janjian ketemuan sama Evie dan Kak Deda makan bakso dan es kacang di warungnya pak Djafar. Pulangnya kita mampir ke rumahnay tante ade ketemu Dek Putri. Abis itu ke rumahnya Ma Onco ketemu Ervin, Dek Ois, sama si kecil Pasha. Pulangnya mampir lagi ke rumahnya Om Uya ketemu sama Kak Ida, Evi dan Toriq.
Hari ini, di rumah pada kumpul semua tanpa janji sebekumnya. Ma Onco, Ervin, Dek Ois dan si kecil Pasha datang siang. Sorenya, tante Sum dan Kak Ida satang dan kak Leli nyusul. Caca datang juga dari piru. Bagaimana gak rame, 4 ibu, 8 saudara, 1 ponakan ketemu.
Keluarga besar saya dari pihak ibu ada 7 tante, 7 om, 24 sepupu, 6 sepupu ipar, 7 ponakan. Total 50 orang minus Bibi yang sudah gak ada. kapan ya bisa kejadian kumpul semua?
Tuesday, February 13, 2007
LUHU (Nice Adventure)
Bismillah.
Udah diwanti-wanti sama Ibu dari kemarin untuk banyak berdzikir di perjalanan.
Pas berangkat juga Tante dan Om Put kasi pesan yang sama. Belum pernah memang lewat darat Piru-Luhu yang kata orang, perjalanannya itu menanjak, masuk hutan, dekat jurang, gambarannya pokoknya kudu benar2 hati2 dan banyak dzikirnya.
Perjalanan Yang menyenangkan sekaligus mendebarkan.
Lewat gunung, jurang, pantai, trus liat gunung yang Subhanallah seperti permadani yang halus, sudah itu lewat pantai lagi yang dasarnya keliatan begitu bersih dan putih seperti mutiara. Belum pake acara mesin mogok, kehabisan bensin, jatuh di jembatan kayu karena licin, terjebak ujan dan malam di daerah yang penuh pohon tinggi dan kanan kirinya jurang. But, perjalanan ini
sama Papa dan Abang Nyong yang Alhamdulillah sedikit banyak bisa bikin saya merasa lebih aman. Kalo diajak lagi, saya mau ngulang perjalanan ini. Mendebarkan memang dengan tanjakan
yang tajam, jurang yang menganga, badan yang sakit karena jalan yang tidak mulus, tapi tidak sedikit ucapan Subhanallah yang bisa terucap melihat betapa indahnya Karya Allah SWT, sebuah karya yang tak tertandingi.
Sampe rumah sudah jam 8 malam, tapi langsung silaturrahim. FYI, Luhu ini kampung asalnya
kedua orang tua. Jelas, disinilah berkumpul seluruh keluarga besar. Rumah Papa ada di kompleks kampung baru, kalo rumah ibu di kompleks kampung tengah. Capek memang, tapi saya gak bisa nahan keinginan untuk silaturrahim. Ditemani Bukal, saya ke rumah keluarga di kampung tengah. Pulangnya, baru makan duren di rumah kampung baru 4 buah sebelum tidur.
Besok paginya, saya mulai kunjungan lagi kemana-mana dan ditemani Bukal. Waktu sarapan
sebelum berangkat, Tete haji (panggilan untuk kakek dari papa) sudah gak di rumah. kata orang rumah, Tete Haji sudah brgkat dari subuh ke Pohon Duren.
Nah, pas saya lagi di jalan, dari jauh saya liat seseorang dengan kaos oblong putih, celana selutut, ransel, tidak bersandal dan memikul sepotong bambu. Semakin dekat saya semakin kenal sosok itu. Ternyata itu Tete Haji.
Saya kemudian berlari menyongsongnya dan memeluknya ...
A : tete, tete dari mana?
T : Tete dari pohon durian
A : Tete sendiri? Tete ambil duren untuk siapa?
T : Ya untuk kamong (kalian, red)
A : Tete kok jalan? Kan jauh. Tete naik ojek ya
T : Seng usah, tete jalan saja biar sehat
A : Tete kenapa sih harus ke pohon duren? Mana jalan kaki lagi
T : Tadi sudah naik ojek, tapi tete minta turun. Jalan saja, kan sehat
A : Trus duriannya mana?
T : Pe satu ni (Nih, satu) * sambil nunjuk satu buah duren yang digantung di bambu yang ia pikul
Terharu banget saya dengan apa yang Tete Haji lakukan pagi ini. Hanya dengan cintalah ia mau melakukan ini, walaupun cuma sebuah duren. Duren ini saya sebut DURIAN CINTA. Setelah itu, saya tuntaskan ciuman sayang dan melanjutkan perjalanan
Setelah itu, kita ke rumah sanak saudara. Sampai di rumah abang Jab, saya makan duren 6 buah. Trus ke rumah abang Nyong, dibawain duren lagi sama Bukal. Waktu lagi istirahat, Abang Jab datang dan ngajak balik ke rumahnya. Disana, saya makan duren lagi 5 buah dan sampe malam karena diajak makan malam disana. Waktu lagi makan malam, Bang Ondi datang dan ikut makan malam. Ternyata, Bang Ondi datang itu untuk ngajak saya ke rumahnya. Disana, sudah ada Mbak Ratih dan Tante Dja yang baru tiba dari Piru. Kita makan duren 13 buah. Total hati itu saya makan duren 29 buah.
Waktu pulang tadi pagi, banyak yang nganterin ke jembatan Luhu. Trus, mereka rame2 kasi duren. Tante Ani, Tete Ma'i, tete Haji, Bukal, Mama Nona, Om Isun, Bibi Ece, Nenek Pama, yang kami (Saya, papa, Tante Dja, Mbak Ratih, dan Kak Ida) bawa sejumlah 2 karung dan 3 karton.
Total 30 buah duren. Musim ini, saya puas banget makan duren.
Tete Haji ikut nganter ke Jembatan. FYI, beliau satu-satunya kakek kandung yang masih ada.
Kakek Nenek dari pihak Ibu dan Nenek dari pihak Papa sudah gak ada. Thats why, entah kenapa, belakangan ini saya sering memikirkan Tete Haji dan ingin lebih berlama-lama dengan beliau. Dan DURIAN CINTA beliau itu saya jadikan pemimpin bagi 30 duren yang saya bawa pulang ke Ambon. Makasih ya Tete Haji. Makasih juga untuk semua keluarga yang sudah begitu hangat menerimaku
ps : Ambon-Luhu 3 jam perjalanan 1 jam darat ke Hitu dan 2 jam perjalanan laut ke Luhu
Udah diwanti-wanti sama Ibu dari kemarin untuk banyak berdzikir di perjalanan.
Pas berangkat juga Tante dan Om Put kasi pesan yang sama. Belum pernah memang lewat darat Piru-Luhu yang kata orang, perjalanannya itu menanjak, masuk hutan, dekat jurang, gambarannya pokoknya kudu benar2 hati2 dan banyak dzikirnya.
Perjalanan Yang menyenangkan sekaligus mendebarkan.
Lewat gunung, jurang, pantai, trus liat gunung yang Subhanallah seperti permadani yang halus, sudah itu lewat pantai lagi yang dasarnya keliatan begitu bersih dan putih seperti mutiara. Belum pake acara mesin mogok, kehabisan bensin, jatuh di jembatan kayu karena licin, terjebak ujan dan malam di daerah yang penuh pohon tinggi dan kanan kirinya jurang. But, perjalanan ini
sama Papa dan Abang Nyong yang Alhamdulillah sedikit banyak bisa bikin saya merasa lebih aman. Kalo diajak lagi, saya mau ngulang perjalanan ini. Mendebarkan memang dengan tanjakan
yang tajam, jurang yang menganga, badan yang sakit karena jalan yang tidak mulus, tapi tidak sedikit ucapan Subhanallah yang bisa terucap melihat betapa indahnya Karya Allah SWT, sebuah karya yang tak tertandingi.
Sampe rumah sudah jam 8 malam, tapi langsung silaturrahim. FYI, Luhu ini kampung asalnya
kedua orang tua. Jelas, disinilah berkumpul seluruh keluarga besar. Rumah Papa ada di kompleks kampung baru, kalo rumah ibu di kompleks kampung tengah. Capek memang, tapi saya gak bisa nahan keinginan untuk silaturrahim. Ditemani Bukal, saya ke rumah keluarga di kampung tengah. Pulangnya, baru makan duren di rumah kampung baru 4 buah sebelum tidur.
Besok paginya, saya mulai kunjungan lagi kemana-mana dan ditemani Bukal. Waktu sarapan
sebelum berangkat, Tete haji (panggilan untuk kakek dari papa) sudah gak di rumah. kata orang rumah, Tete Haji sudah brgkat dari subuh ke Pohon Duren.
Nah, pas saya lagi di jalan, dari jauh saya liat seseorang dengan kaos oblong putih, celana selutut, ransel, tidak bersandal dan memikul sepotong bambu. Semakin dekat saya semakin kenal sosok itu. Ternyata itu Tete Haji.
Saya kemudian berlari menyongsongnya dan memeluknya ...
A : tete, tete dari mana?
T : Tete dari pohon durian
A : Tete sendiri? Tete ambil duren untuk siapa?
T : Ya untuk kamong (kalian, red)
A : Tete kok jalan? Kan jauh. Tete naik ojek ya
T : Seng usah, tete jalan saja biar sehat
A : Tete kenapa sih harus ke pohon duren? Mana jalan kaki lagi
T : Tadi sudah naik ojek, tapi tete minta turun. Jalan saja, kan sehat
A : Trus duriannya mana?
T : Pe satu ni (Nih, satu) * sambil nunjuk satu buah duren yang digantung di bambu yang ia pikul
Terharu banget saya dengan apa yang Tete Haji lakukan pagi ini. Hanya dengan cintalah ia mau melakukan ini, walaupun cuma sebuah duren. Duren ini saya sebut DURIAN CINTA. Setelah itu, saya tuntaskan ciuman sayang dan melanjutkan perjalanan
Setelah itu, kita ke rumah sanak saudara. Sampai di rumah abang Jab, saya makan duren 6 buah. Trus ke rumah abang Nyong, dibawain duren lagi sama Bukal. Waktu lagi istirahat, Abang Jab datang dan ngajak balik ke rumahnya. Disana, saya makan duren lagi 5 buah dan sampe malam karena diajak makan malam disana. Waktu lagi makan malam, Bang Ondi datang dan ikut makan malam. Ternyata, Bang Ondi datang itu untuk ngajak saya ke rumahnya. Disana, sudah ada Mbak Ratih dan Tante Dja yang baru tiba dari Piru. Kita makan duren 13 buah. Total hati itu saya makan duren 29 buah.
Waktu pulang tadi pagi, banyak yang nganterin ke jembatan Luhu. Trus, mereka rame2 kasi duren. Tante Ani, Tete Ma'i, tete Haji, Bukal, Mama Nona, Om Isun, Bibi Ece, Nenek Pama, yang kami (Saya, papa, Tante Dja, Mbak Ratih, dan Kak Ida) bawa sejumlah 2 karung dan 3 karton.
Total 30 buah duren. Musim ini, saya puas banget makan duren.
Tete Haji ikut nganter ke Jembatan. FYI, beliau satu-satunya kakek kandung yang masih ada.
Kakek Nenek dari pihak Ibu dan Nenek dari pihak Papa sudah gak ada. Thats why, entah kenapa, belakangan ini saya sering memikirkan Tete Haji dan ingin lebih berlama-lama dengan beliau. Dan DURIAN CINTA beliau itu saya jadikan pemimpin bagi 30 duren yang saya bawa pulang ke Ambon. Makasih ya Tete Haji. Makasih juga untuk semua keluarga yang sudah begitu hangat menerimaku
ps : Ambon-Luhu 3 jam perjalanan 1 jam darat ke Hitu dan 2 jam perjalanan laut ke Luhu
Tuesday, February 06, 2007
Meninggalkan Kenangan, Menjemput Masa Depan
Bismillah.
Seminggu yang lalu, saya pulang ke rumah. Rasanya campur-campur. Ada senang bisa kumpul lagi sama keluarga, ada sedih juga karena meningalkan kenangan. Tiba-tiba saja seperti memutar kaset seminggu sebelum kepulangan. Betapa orang-orang yang selama ini memberi warna dalam hidup saya selama di Surabaya, silih berganti menemui. Ada yang bawa surat, ada yang bawa hadiah, ada yang bawa surat dan hadiah, tapi yang pasti, semua membawa tangis.
Saat harus menatap mereka di bandara, rasanya seperti ada yang tertinggal. Momen ketika harus melihat mereka for the last dan gak tau kapan bisa ketemu lagi. Bahkan ketika saya sudah di pintu masuk, tasku ditarik oleh seseorang yang memelukku erat dan seorang adik lagi yang minta memeluk sambil bilang "Mbak, sebentar ya mbak. Aku cuma pengen meluk mbak erat-erat. Kasi kesempatan ya Mbak"
Di pesawat, Mbak Ratih bilang "Ini judulnya MENINGGALKAN KENANGAN, MENJEMPUT MASA DEPAN".
Ya, ini perjalanan pulang menyambut masa depan. Tanpa menafikkan masa lalu, tapi masa depan adalah sesuatu yang harus diusahakan sebaik-baiknya. Masa lalu, kenangan adalah modal, adalah pijakan untuk melayang lebih tinggi.
Dan setelah seminggu disini, belum ada yang kuperbuat. Aku terlalu sibuk menikmati ada di dekat orang tua. Setiap hari, membaca surat-surat cinta dari saudara-saudaraku disana, mencoba mengunjungi mereka satu persatu di ruang hatiku. Dan cukup, seminggu sudah cukup.
Besok, aku akan memulaisebuah pengembaraan, mengusahakan sebuah masa depan, mengusahakan sebuah awal menuju proses pembuktian, pembaktian serta pengabdian kepada Allah dan kepada kedua orang tuaku.
May GOD bless me in every step of mine.
Seminggu yang lalu, saya pulang ke rumah. Rasanya campur-campur. Ada senang bisa kumpul lagi sama keluarga, ada sedih juga karena meningalkan kenangan. Tiba-tiba saja seperti memutar kaset seminggu sebelum kepulangan. Betapa orang-orang yang selama ini memberi warna dalam hidup saya selama di Surabaya, silih berganti menemui. Ada yang bawa surat, ada yang bawa hadiah, ada yang bawa surat dan hadiah, tapi yang pasti, semua membawa tangis.
Saat harus menatap mereka di bandara, rasanya seperti ada yang tertinggal. Momen ketika harus melihat mereka for the last dan gak tau kapan bisa ketemu lagi. Bahkan ketika saya sudah di pintu masuk, tasku ditarik oleh seseorang yang memelukku erat dan seorang adik lagi yang minta memeluk sambil bilang "Mbak, sebentar ya mbak. Aku cuma pengen meluk mbak erat-erat. Kasi kesempatan ya Mbak"
Di pesawat, Mbak Ratih bilang "Ini judulnya MENINGGALKAN KENANGAN, MENJEMPUT MASA DEPAN".
Ya, ini perjalanan pulang menyambut masa depan. Tanpa menafikkan masa lalu, tapi masa depan adalah sesuatu yang harus diusahakan sebaik-baiknya. Masa lalu, kenangan adalah modal, adalah pijakan untuk melayang lebih tinggi.
Dan setelah seminggu disini, belum ada yang kuperbuat. Aku terlalu sibuk menikmati ada di dekat orang tua. Setiap hari, membaca surat-surat cinta dari saudara-saudaraku disana, mencoba mengunjungi mereka satu persatu di ruang hatiku. Dan cukup, seminggu sudah cukup.
Besok, aku akan memulaisebuah pengembaraan, mengusahakan sebuah masa depan, mengusahakan sebuah awal menuju proses pembuktian, pembaktian serta pengabdian kepada Allah dan kepada kedua orang tuaku.
May GOD bless me in every step of mine.
Subscribe to:
Posts (Atom)