Malam merayap menuju pekat. Pekat yang sebenarnya sedari tadi ada. Mendung bergelayut sepanjang hari, lalu tak henti bumi basah tersirami butiran rahmat. Tiba-tiba saja, sepi menyergap diri. Perasaan sendiri, kesepian, hampa, sunyi bercampur menjadi satu. Tapi ada yang lebih menggelisahkan, mendapati kenyataan bahwa diri ini semakin jauh dari Allah.
Perih sekali rasanya, seperti ditanam di bumi. Aku marah pada diriku sendiri, bagaimana bisa lalai, bagaimana bisa merangkak menjauh, bagaimana bisa?
Ah, tak ada gunanya bertanya. Toh, diri ini pun tak mampu menjawab pertanyaan yang sebenarnya diakibatkan oleh perbuatan lalai memanjakan nafsu duniawi. Untuk apa semua kesenangan yang kurasakan sekarang, untuk apa kemapanan dan gengsi yang sedikit demi sedikit ditiupkan oleh syaitan ke telinga saya lalu menetap di hati? Untuk apa itu semua kalo ternyata kualitas hubunganku denganNYA memburuk?
Sholat, yang fardhu saja. Itupun tidak lagi tepat waktu, kecuali maghrib. Kesibukan melenakan membuat tak beranjak dari empuknya tempat duduk kalau belum merasakan lapar, lalu jadilah makan dan shalat. Lalu kalau suatu saat tidak lapar, bagaimana? Atau kalau laparnya sudah jam ½ 4 bagaimana? Ah, diri, sungguh keterlaluan dirimu.
Cumbu mesra dengan bacaan agung pun tak semesra dulu. Datar, hambar, tidak lagi menggetarkan. Pertanda keringnya hatikah? Diri, sungguh engkau merugi.
Kekosongan yang sekarang kurasakan, semakin membuat lubang di hati semakin besar. Aku merindu. Hatiku berdarah merindukanNYA. Kekasih yang aku tau tak pernah meninggalkanku. Aku yang selalu mengkhianatiNYA. Selalu membuatNYA cemburu dengan kesibukan yang kalau saja kusadari lebih awal, datang karena rahmatNYA. Sungguh tak tahu berterimakasih.
Aku merindu, rindu ini menyiksaku. Rindu kembali akrab denganMU seperti dulu. Rindu untuk hanya berdua denganMU dalam hening malam, rindu membaca surat cintaMU yang indah, rindu dengan kerinduanku padaMU, aku rindu.
Lalu bergetar tangan ini membuka surat cintaMU selepas maghrib tadi. Ah, memandangi hurufnya yang terangkai indah saja sudah membuatku terkesima, terpesona. Lalu kulantunkan suratMU dengan suara hatiku, serasa terserap seluruh beban. Serasa semua kesempitan dan kegelisahan terhisap habis oleh kesucian kata-kataMU.
Bulir hangat menjalari pipi. Betapa kerdil diri ini. Betapa hina diri ini,. Tapi masih saja ENGKAU menyapaku dengan manis. Sungguh, aku merinduMU.
Allah, sampaikan aku pada RamadhanMU, agar kutebus semua kelalaianku, agar aku masih punya kesempatan untuk mendekat padaMU, mencintaiMU dengan cintaku yang sederhana ini, mencintaiMU dengan shaum yang kadang terasa berat, mencintaiMU dengan sahur yang ngantuk, mencintaiMU dengan tarawihku yang bolong, mencintaiMU dengan tadarusku yang singkat. Aku hanya ingin mencintaiMU dengan cara yang aku bisa. Aku tahu aku kalah dengan hamba-hambaMU yang lain yang begitu luar biasa mengejarMU, tapi Allah, aku juga ingin ikut berlari, walaupun langkahku tak cepat, walaupun nafasku tak panjang. Aku hanya ingin mencintaiMU dengan semua energi yang bisa aku persembahkan. Itu karena aku ingin KAU cintai walaupun tak banyak.
Allah, aku tersungkur lagi kali ini. Tapi aku akan berdiri lagi dan kembali dalam barisan yang bersegera kepadaMU.
No comments:
Post a Comment