hari terakhir di 2010.. dan aku masih saja menyeka sisa sisa airmata. masih mengeja irama batin yang sendu, gelap dan terasing.
malam ini adalah malam kesekian aku membangun kekuatanku kembali. mengais remeh remeh semangat. menjajaki senyum yang baru dalam hampa.
duka ini mengikatku sebegitu rupa. menyiksa hingga kosong sudah segala rasa. mendera di ujung hingga pangkal hati. dalam gulita di hutan.
pada titik ini, aku telah menyerah kalah. kupasrahkan apa takdir membimbingku. hatiku kering, terkoyak hingga tak lagi memberi arah.. pada titik ini, aku terjatuh. lesu tak bertenaga dalam kepingan tak berongga. aku menyerah. aku tak lagi sanggup bertahan. aku mundur.
Friday, December 31, 2010
Thursday, December 30, 2010
(56) masih pahit
senda gurau telah usai
pada angkuh diri yang tiba tiba datang
di deretan pahit yang terhampar ramai
dalam jelaga perih terpasung
kau tawarkan sebaris guratan ceria
pada hati yang mulai menyerah
dan guratan itu sempat bahagia
walau akhirnya kalah
bukan pribadi
bukan waktu
hanya keadaan tidak menjadi lebih baik
begini begini saja lalu memburuk
sementara istana pasir yang kubangun dengan tanganku sendiri
belum sempat kubuat bentengnya
air pasang menyapanya
mencumbu dalam sepi
pada angkuh diri yang tiba tiba datang
di deretan pahit yang terhampar ramai
dalam jelaga perih terpasung
kau tawarkan sebaris guratan ceria
pada hati yang mulai menyerah
dan guratan itu sempat bahagia
walau akhirnya kalah
bukan pribadi
bukan waktu
hanya keadaan tidak menjadi lebih baik
begini begini saja lalu memburuk
sementara istana pasir yang kubangun dengan tanganku sendiri
belum sempat kubuat bentengnya
air pasang menyapanya
mencumbu dalam sepi
Wednesday, December 29, 2010
(55) catatan senja
ini tentang keruh yang tengah mendiami rongga batin. membuyarkan kenangan yang sempat dijalin sebagai harap. ini pula tentang buram yang sedang menari dalam kertas kehidupan.
pada pucuk pelangi kutitipkan sekantung tangis. agar hilang saat matahari mulai menyapa. kini biarkan aku dalam sendu. pada hujan yang menambah syahdu. dan sepi yang menggelayut di bahu.
pada dinding senja kusampaikan pesan cinta. pada angsa yang tengah mencumbui laut. dengan tatapan cemburu langit yang terus menangis.
pada satu bintang, ada asa yang terkumpul. menunggu untuk hadir. sampai di bumiku...
pada pucuk pelangi kutitipkan sekantung tangis. agar hilang saat matahari mulai menyapa. kini biarkan aku dalam sendu. pada hujan yang menambah syahdu. dan sepi yang menggelayut di bahu.
pada dinding senja kusampaikan pesan cinta. pada angsa yang tengah mencumbui laut. dengan tatapan cemburu langit yang terus menangis.
pada satu bintang, ada asa yang terkumpul. menunggu untuk hadir. sampai di bumiku...
Tuesday, December 28, 2010
(54) sebelah sayapku terluka
saya ditanya "kenapa eby kayak biasa saja?"
saya jawab "karena memang tak perlu ada resah. ini hanya satu lagi cara Allah menyayangiku"
ya,saat ini aku sedang terluka. hati teriris akan sebuah kenyataan pahit. jangan ditanya tentang air mata. habis sudah. airmata tak mampu lagi melesak keluar. ia masuk, langsung ke titik luka..
tapi aku tak ingin terus menangis. toh tangis ini bukan kesedihan, ini airmata obat yang membasuh perih. lalu kutinggalkan dalam peti kenangan. mimpiku usai. tapi inilah caraku, berhenti mimpi, bangun dan menapak langkah baru meski dengan airmata.
jangan mimpi memiliki mutiara jika tak tahu bagaimana merawatnya. pergilah, kita telah berbeda. namun aku tak meresahkan apapun. takdir Allah sedang bekerja untukku. suatu waktu nanti, aku akan kembali tersenyum bersama takdir Allah yang dikirim untukku, menggenapi dengan sayapnya.
saya jawab "karena memang tak perlu ada resah. ini hanya satu lagi cara Allah menyayangiku"
ya,saat ini aku sedang terluka. hati teriris akan sebuah kenyataan pahit. jangan ditanya tentang air mata. habis sudah. airmata tak mampu lagi melesak keluar. ia masuk, langsung ke titik luka..
tapi aku tak ingin terus menangis. toh tangis ini bukan kesedihan, ini airmata obat yang membasuh perih. lalu kutinggalkan dalam peti kenangan. mimpiku usai. tapi inilah caraku, berhenti mimpi, bangun dan menapak langkah baru meski dengan airmata.
jangan mimpi memiliki mutiara jika tak tahu bagaimana merawatnya. pergilah, kita telah berbeda. namun aku tak meresahkan apapun. takdir Allah sedang bekerja untukku. suatu waktu nanti, aku akan kembali tersenyum bersama takdir Allah yang dikirim untukku, menggenapi dengan sayapnya.
Wednesday, December 22, 2010
(48) Ibu
Di jelang subuh ini, aku merindu seorang wanita yang dari rahimnya aku terlahir. Dari tangannya aku besar. Dan dari senyumnya aku hidup. Seorang wanita yang kini kesehariannya berjarak beberapa mil laut dariku, wanita yang senyumnya baru kujumpai setiap satu atau dua pekan.
Wanita luar biasa yang perkasa. Membesarkan aku dan saudara-saudaraku dengan kepayahan yang amat sangat namun berbalut ketulusan yang lebih dari kepayahan itu. Dengan tangan lembutnya, mengusap dahiku setiap saat, mengecup pipiku setiap bepergian, membanjiri hidupku dengan doa panjang di setiap sujudnya bahkan sesekali bersama linangan air mata saat kulukai.
Ya, aku masih saja tak bisa membalas dengan tepat apa yang sudah Ibu berikan padaku. Terkadang masih ada sungut kalau beliau menyuruh ini itu atau malas ketika harus mengulang ngulang bicara sesuatu. Tapi ibu tetap lembut, ia tetap memaafkan tanpa aku meminta maaf. Ah, ibuku memang berjiwa malaikat.
Ibu, di rantau ini, anakmu merindumu. Seperti rindu seorang petani akan hujan, nelayan akan ikan, seperti rindu seorang pecinta. Ibu, anakmu ini masih butuh pelukan hangatmu yang menenteramkan. Butuh sekali doamu atas hari dan hati yang sedang terluka. Ibu, aku mencintaimu, hingga hati ini berlubang. Maafkan aku bu, atas banyak kesalahan dan rasa sakit yang kutimbulkan. Tetaplah tersenyum di tengah dukamu, bu. Karena senyummu adalah kekuatan kami, anak-anakmu.
Ibu, kehebatanmu mengangkasa dalam langit hidupku. Senyummu meliputi seluruh udara di hidupku. Love you, mom.
Wanita luar biasa yang perkasa. Membesarkan aku dan saudara-saudaraku dengan kepayahan yang amat sangat namun berbalut ketulusan yang lebih dari kepayahan itu. Dengan tangan lembutnya, mengusap dahiku setiap saat, mengecup pipiku setiap bepergian, membanjiri hidupku dengan doa panjang di setiap sujudnya bahkan sesekali bersama linangan air mata saat kulukai.
Ya, aku masih saja tak bisa membalas dengan tepat apa yang sudah Ibu berikan padaku. Terkadang masih ada sungut kalau beliau menyuruh ini itu atau malas ketika harus mengulang ngulang bicara sesuatu. Tapi ibu tetap lembut, ia tetap memaafkan tanpa aku meminta maaf. Ah, ibuku memang berjiwa malaikat.
Ibu, di rantau ini, anakmu merindumu. Seperti rindu seorang petani akan hujan, nelayan akan ikan, seperti rindu seorang pecinta. Ibu, anakmu ini masih butuh pelukan hangatmu yang menenteramkan. Butuh sekali doamu atas hari dan hati yang sedang terluka. Ibu, aku mencintaimu, hingga hati ini berlubang. Maafkan aku bu, atas banyak kesalahan dan rasa sakit yang kutimbulkan. Tetaplah tersenyum di tengah dukamu, bu. Karena senyummu adalah kekuatan kami, anak-anakmu.
Ibu, kehebatanmu mengangkasa dalam langit hidupku. Senyummu meliputi seluruh udara di hidupku. Love you, mom.
Tuesday, December 21, 2010
(47) Yang Tak Akan Pernah Menyakiti
Pagi-pagi, berharap bisa memulai dengan senyuman tapi semua di luar dugaan. Hariku dimulai dengan begitu berat. Air yang pagi pagi sudah menggantung di bola mata, sebisa mungkin kutahan agar tak mengeluarkan isak. Memang terkadang banyak hal yang berjalan tak sesuai dengan harap kita. Tapi siapa yang bisa disalahkan? Memang manusia tempatnya kecewa, tempatnya sakit kan? Satu satunya yang tidak akan pernah mengecewakan kita memang cuma Allah sahaja, hanya Allah saja.
Langkah kakiku berat memulai hari, namun ketika menatap sajadah yang baru saja kucium subuh tadi, aku kembali teringat bahwa tak ada yang perlu kusedihkan dan cemaskan. Karena memang begitulah adanya. Hanya ketika harapan kita gantungkan pada Allah, kita akan bahagia. Jadi, kalau sekarang ada seorang hambaNya yang menyakitiku, sepertinya tidak ada yang perlu dikagetkan.
Airmata dan sesak ini lantas kuserahkan pada Sang Kekasih Sejati. Tanpa sadar, kaki ini tertuntun ke sudut tempat tidur. Aku duduk disana dan menengadah,
"Rabb, Engkau Maha Pencinta. Segala yang terjadi padaku, sesakit apapun itu pada awalnya, adalah salah satu bentuk cintaMU. Kuterima Rabb, dengan hatiku yang sedang tertatih tatih belajar mencintaiMU'
Selepas dialog pagi itu, udara sekitar serasa lega kembali. Aku pun mengumpulkan kepingan semangat yang berantakan, kugenggam dan kualiri dalam darah. Aktivitas hari ini kujalani dengan lapang, begitu mudah dilewati. Hingga tiba waktu dhuhur, aku dikejutkan oleh adzan yang terdengar jelas di telinga. Mengagetkan, mengingat selama ini adzan hanya samar terdengar karena jarak kantor dan masjid cukup jauh. Adzan itu seperti khusus ditujukan untuk memanggilku kembali merendahkan diri di hadapan Kekasihku.
Telah kuserahkan semuanya pada Kekasihku, yang tak akan pernah mengecewakanku, tak akan pernah menyakitiku, tak akan pernah menjauh dariku meski taku terkadang menjauh dariNya. Duka ini kawan, aku tahu akan berlalu. Bersama Kekasihku, semua akan baik baik saja. Aku akan sembuh dari setiap luka dan nanah.
"Rabb, aku kembali lagi. Dengan segudang keluh kesah dan sebungkus rasa perih. Aku bawa ke hadapanMU Rabb, untuk Kau sembuhkan karena Engkaulah tempatku bergantung menyerahkan hidup matiku. Ini aku, Rabb, hambaMU yang penuh khilaf, hambaMU yang bandel, yang perlu Engkau jewer di dunia, di dunia saja Rabb, jangan Engkau tangguhkan di akhirat karena sungguh, aku tak kan sanggup. Rabb, ini aku, menunduk dan malu di depanMU. Aku yang sedang belajar mencintaiMU dengan seluruh cinta yang Engkau titipkan di dadaku. Bantu aku Rabb, yang sedang terbata mengeja cinta suci tak tertandingi milikMU"
Langkah kakiku berat memulai hari, namun ketika menatap sajadah yang baru saja kucium subuh tadi, aku kembali teringat bahwa tak ada yang perlu kusedihkan dan cemaskan. Karena memang begitulah adanya. Hanya ketika harapan kita gantungkan pada Allah, kita akan bahagia. Jadi, kalau sekarang ada seorang hambaNya yang menyakitiku, sepertinya tidak ada yang perlu dikagetkan.
Airmata dan sesak ini lantas kuserahkan pada Sang Kekasih Sejati. Tanpa sadar, kaki ini tertuntun ke sudut tempat tidur. Aku duduk disana dan menengadah,
"Rabb, Engkau Maha Pencinta. Segala yang terjadi padaku, sesakit apapun itu pada awalnya, adalah salah satu bentuk cintaMU. Kuterima Rabb, dengan hatiku yang sedang tertatih tatih belajar mencintaiMU'
Selepas dialog pagi itu, udara sekitar serasa lega kembali. Aku pun mengumpulkan kepingan semangat yang berantakan, kugenggam dan kualiri dalam darah. Aktivitas hari ini kujalani dengan lapang, begitu mudah dilewati. Hingga tiba waktu dhuhur, aku dikejutkan oleh adzan yang terdengar jelas di telinga. Mengagetkan, mengingat selama ini adzan hanya samar terdengar karena jarak kantor dan masjid cukup jauh. Adzan itu seperti khusus ditujukan untuk memanggilku kembali merendahkan diri di hadapan Kekasihku.
Telah kuserahkan semuanya pada Kekasihku, yang tak akan pernah mengecewakanku, tak akan pernah menyakitiku, tak akan pernah menjauh dariku meski taku terkadang menjauh dariNya. Duka ini kawan, aku tahu akan berlalu. Bersama Kekasihku, semua akan baik baik saja. Aku akan sembuh dari setiap luka dan nanah.
"Rabb, aku kembali lagi. Dengan segudang keluh kesah dan sebungkus rasa perih. Aku bawa ke hadapanMU Rabb, untuk Kau sembuhkan karena Engkaulah tempatku bergantung menyerahkan hidup matiku. Ini aku, Rabb, hambaMU yang penuh khilaf, hambaMU yang bandel, yang perlu Engkau jewer di dunia, di dunia saja Rabb, jangan Engkau tangguhkan di akhirat karena sungguh, aku tak kan sanggup. Rabb, ini aku, menunduk dan malu di depanMU. Aku yang sedang belajar mencintaiMU dengan seluruh cinta yang Engkau titipkan di dadaku. Bantu aku Rabb, yang sedang terbata mengeja cinta suci tak tertandingi milikMU"
Monday, December 20, 2010
(46) subuh ini
di luar sana ada ramai kicau burung
dan dari balik jendela kunikmati semilir angin pagi
ayam pun tak mau kalah
ambil bagian dalam harmoni pagi
subuh ini indah
seindah pelangi yang muncul setelah hujan
menawarkan sebait ketenangan
serta sekotak harapan
tentang harapan,
telah kugantungkan pada Yang Memiliki Hidup
di atas panjang sajadah
dalam balutan putih penghancur keangkuhan
yang membuat kita sempurna
ia bernama cinta
dan cinta sejati itu
ia bernama Allah
dan dari balik jendela kunikmati semilir angin pagi
ayam pun tak mau kalah
ambil bagian dalam harmoni pagi
subuh ini indah
seindah pelangi yang muncul setelah hujan
menawarkan sebait ketenangan
serta sekotak harapan
tentang harapan,
telah kugantungkan pada Yang Memiliki Hidup
di atas panjang sajadah
dalam balutan putih penghancur keangkuhan
yang membuat kita sempurna
ia bernama cinta
dan cinta sejati itu
ia bernama Allah
Label:
#365 day blog project,
Catatan Hati,
Kita,
Puisi,
Sujud
Sunday, December 19, 2010
(45) zam zam
happy weekend temans...
3 hari lalu,tepatnya kamis 16 desember 2010, saya sekali lagi mengunjungi desa Waesala untuk mendampingi satu kegiatan masyarakat disana. Jelang berakhirnya agenda kami, seorang abang, anak dari Raja Waesala mendatangi saya dan menyampaikan pesan dari abi (sapaan akrab bapa Raja Waesala) yang meminta saya mampir di istana alias rumahnya sebelum kembali ke piru.
Beberapa menit kemudian,saya ke rumah beliau dan ternyata saya diberi oleh oleh dari perjalanan haji beliau berupa sebotol zam zam dan kurma ajwaa, kurma dari kebun sang kekasih, Rasulullah SAW. Beliau ngasih zam zam sambil bilang gini : by,zam zam itu temannya doa (ngomong pake bahasa arab,entah hadits atau apa, saya tidak tahu pasti) artinya zam zam itu mengikuti keinginan peminumnya. jadi sebelum minum tu, eby angka hati bae bae minta apa yang eby mau.
Nah,gara gara pesan itu,saya sampai sekarang belum berani minum zam zam pemberian abi. Saya masih belum berani meminta apa yang benar benar saya inginkan dalam hidup. Saya insyaAllah siap menerima takdir, tapi Allah juga suka kalau kita meminta dan saya benar benar ingin doa yang saya panjatkan sebelum meminum zam zam adalah doa yang benar benar istimewa. Dan pada suatu saat, jika hati ini telah tahu, biarlah hati ini yang menggerakkanku untuk menikmati zam zam itu.
Kalau temans mau minta doa istimewa apa?
Salah satu yang saya inginkan adalah suatu hari nanti saya dapat mengambil zam zam langsung dengan tangan saya sendiri. InsyaAllah...
3 hari lalu,tepatnya kamis 16 desember 2010, saya sekali lagi mengunjungi desa Waesala untuk mendampingi satu kegiatan masyarakat disana. Jelang berakhirnya agenda kami, seorang abang, anak dari Raja Waesala mendatangi saya dan menyampaikan pesan dari abi (sapaan akrab bapa Raja Waesala) yang meminta saya mampir di istana alias rumahnya sebelum kembali ke piru.
Beberapa menit kemudian,saya ke rumah beliau dan ternyata saya diberi oleh oleh dari perjalanan haji beliau berupa sebotol zam zam dan kurma ajwaa, kurma dari kebun sang kekasih, Rasulullah SAW. Beliau ngasih zam zam sambil bilang gini : by,zam zam itu temannya doa (ngomong pake bahasa arab,entah hadits atau apa, saya tidak tahu pasti) artinya zam zam itu mengikuti keinginan peminumnya. jadi sebelum minum tu, eby angka hati bae bae minta apa yang eby mau.
Nah,gara gara pesan itu,saya sampai sekarang belum berani minum zam zam pemberian abi. Saya masih belum berani meminta apa yang benar benar saya inginkan dalam hidup. Saya insyaAllah siap menerima takdir, tapi Allah juga suka kalau kita meminta dan saya benar benar ingin doa yang saya panjatkan sebelum meminum zam zam adalah doa yang benar benar istimewa. Dan pada suatu saat, jika hati ini telah tahu, biarlah hati ini yang menggerakkanku untuk menikmati zam zam itu.
Kalau temans mau minta doa istimewa apa?
Salah satu yang saya inginkan adalah suatu hari nanti saya dapat mengambil zam zam langsung dengan tangan saya sendiri. InsyaAllah...
Friday, December 17, 2010
(43) Mengeja Syukur di Dusun Melati
I am back setelah hiatus 12 hari lamanya. Hiatus ini karena tugas yang harus saya jalankan di daerah yang tidak bersinyal. Ini sedikit ceritanya.
Sabtu, 11 Desember 2010 lalu, saya dan rekan-rekan kantor bertugas di desa Waesala kecamatan Waesala Kabupaten Seram Bagian Barat. Tepatnya pada hari itu, kami mengunjungi dusun Melati, satu diantara 12 dusun yang dimiliki Desa Waesala. Perjalanan dari kota kabupaten, Piru, menuju Desa Waesala sekitar 2 jam atau sekitar 40 km. Perjalanan kali ini boleh dibilang baik-baik saja karena kondisi jalan yang sudah jauh lebih baik. Jalan yang masih sedikit berbatu dan berlubang namun sudah bisa dikatakan baik mengingat di tahun-tahun sebelumnya, jalanan menuju Waesala begitu sulit dilewati apalagi dalam kondisi hujan atau pasca hujan seperti yang pernah saya dan rekan-rekan lain alami disini dan disini.
Sayangnya, baterai kamera digital kosong. Pemotretan perjalanan pun hanya bisa diabadikan melalui kamera telpon genggam dan di kesempatan lain akan di-ekspose gambar-gambar di dusun Melati. Benwit di piru belum memungkinkan mengupload banyak foto.
Sampai di Desa Waesala, Bang Jumra, salah satu fasilitator di Waesala sudah menunggu kami dan mengabari bahwa speedboat yang akan membawa kami ke Dusun Melati sudah siap. Tanpa menaruh barang bawaan di wisma, kami langsung menuju pantai. Perjalanan dari Desa Waesala menuju dusun Melati dengan transportasi laut memakan waktu hampir setengah jam. Sebenarnya bisa lewat darat tapi harus dengan berjalan kaki sekitar 50 menit dan jangan bayangkan jalan yang mudah dilalui. Bagi yang tidak biasa, mungkin harus menyediakan banyak stok tekad baja karena menurut cerita, melewati hutan mendaki dan ada satu tempat yang terputus daratan jadi harus melewati selat atau teluk atau rawa (saya tak tahu namanya), yang tinggi air sampai di atas pinggang. Well, tentu saya tak ingin memilih jalan itu jika masih ada alternative lain.
Setelah menikmati pemandangan yang maha indah, sampailah kami di dusun Melati. Dari kejauhan, sudah terlihat bang Ruslan, satu lagi fasilitator kami, bersama dengan bapak Husen, Sekretaris Dusun Melati yang sudah menunggu di bibir pantai.
FYI, Dusun Melati ini berusia 47 tahun. Dinamakan Dusun Melati karena dulu kala, banyak bunga melati di daerah ini. Seperti yang dituturkan Pak Husen, Sekdus Melati, awalnya di tahun 1963 ada 5 orang atau 5 KK yang mendiami pulau ini dan setelah 47 tahun berlalu, kini ada sekitar 150 KK dengan 1050 jumlah jiwa. Yang unik dari dusun ini adalah semua penduduknya berpakaian muslim rapi dan nilai islamnya sangat kental. Yang lelaki dengan tampilan janggut, dan itu hampir seluruh lelaki di Dusun ini berjanggut dan mengenakan peci serta sarung atau celana di atas mata kaki. Wanitanya, berbaju panjang dengan jilbab panjang rapi, hampir semua, bahkan anak-anak usia SD atau SMP pun,bermain di teras rumah dengan menutup aurat. Indah sekali dan sejuk dilihat.
Pun pada saat setelah makan siang, adzan dhuhur terdengar dari mesjid dusun, sontak balai dusun tempat berlangsungnya Pra Musrenbang kosong melompong. Bukan hanya balai dusun, jalanan pun mendadak terlihat sunyi. Ndilalah, seluruh penduduk dusun menuju masjid memenuhi panggilan adzan itu. Bang Jumra sempat bilang pada saya, “by, disini kalo dhuhur, suasananya seperti sholat jumat di desa lain”. Subhanallah… Pulang dari sholat, saya kembali berbincang dengan Pak Husen, menanyakan kondisi ini apakah sudah sejak awal atau baru di tahun berapa, atas kejadian apa sehingga suasananya seperti ini. Kata Pak Husen, sejak tahun 1963 itu, kondisi dusun Melati ini memang sudah islami. Tidak ada musik musik yang mengganggu telinga, jangan ditanya soal mabuk-mabukan atau perkelahian pemuda. Pak Husen juga bercerita, pernah suatu ketika, ada kunjungan Gubernur Prov Maluku, K. A. Ralahalu ke dusun Melati, belum lama dari kedatangan beliau, adzan maghrib berkumandang. Maka semua penduduk pun meninggalkan rombongan provinsi untuk sementara waktu menuju Masjid. Ah, tak bisa saya bayangkan kejadian yang sama di desa lain, bisakah seperti itu? Luar biasa. Salut, saya benar benar salut.
Namun kesalutan saya lalu berubah menjadi diam berkepanjangan ketika pertanyaan saya tentang listrik dijawab Pak Husen dengan jawaban “tak ada listrik disini”. 47 tahun mereka hidup tanpa listrik. Setrika pakai bara. Kalaupun ada beberapa rumah yang lampunya nyala, itu karena memakai genset. Saya tak kuasa berkata. Mengingat bahwa ketika lampu mati sebentar saja di rumah, saya sudah tidak nyaman dan merutuk PLN. Lah, mereka yang 47 tahun tanpa listrik, bagaimanakah hari-hari yang mereka lalui?
Perjalanan ke dusun Melati adalah perjalanan tentang syukur, syukur dan syukur. Betapa ternyata ketidakpuasan saya pada banyak hal di sekitar adalah berlebihan karena di dusun Melati ini, ada 1050 jiwa yang bersabar dengan kondisi mereka, dengan hidup yang mereka jalani dan bahagia dengannya. Ada 1050 jiwa yang akses informasi tidak ada, akses transportasi terbatas, akses komunikasi apalagi. Ah, dan saya hanya satu orang, mengapa tak pandai bersyukur?
Sabtu, 11 Desember 2010 lalu, saya dan rekan-rekan kantor bertugas di desa Waesala kecamatan Waesala Kabupaten Seram Bagian Barat. Tepatnya pada hari itu, kami mengunjungi dusun Melati, satu diantara 12 dusun yang dimiliki Desa Waesala. Perjalanan dari kota kabupaten, Piru, menuju Desa Waesala sekitar 2 jam atau sekitar 40 km. Perjalanan kali ini boleh dibilang baik-baik saja karena kondisi jalan yang sudah jauh lebih baik. Jalan yang masih sedikit berbatu dan berlubang namun sudah bisa dikatakan baik mengingat di tahun-tahun sebelumnya, jalanan menuju Waesala begitu sulit dilewati apalagi dalam kondisi hujan atau pasca hujan seperti yang pernah saya dan rekan-rekan lain alami disini dan disini.
Sayangnya, baterai kamera digital kosong. Pemotretan perjalanan pun hanya bisa diabadikan melalui kamera telpon genggam dan di kesempatan lain akan di-ekspose gambar-gambar di dusun Melati. Benwit di piru belum memungkinkan mengupload banyak foto.
Sampai di Desa Waesala, Bang Jumra, salah satu fasilitator di Waesala sudah menunggu kami dan mengabari bahwa speedboat yang akan membawa kami ke Dusun Melati sudah siap. Tanpa menaruh barang bawaan di wisma, kami langsung menuju pantai. Perjalanan dari Desa Waesala menuju dusun Melati dengan transportasi laut memakan waktu hampir setengah jam. Sebenarnya bisa lewat darat tapi harus dengan berjalan kaki sekitar 50 menit dan jangan bayangkan jalan yang mudah dilalui. Bagi yang tidak biasa, mungkin harus menyediakan banyak stok tekad baja karena menurut cerita, melewati hutan mendaki dan ada satu tempat yang terputus daratan jadi harus melewati selat atau teluk atau rawa (saya tak tahu namanya), yang tinggi air sampai di atas pinggang. Well, tentu saya tak ingin memilih jalan itu jika masih ada alternative lain.
Setelah menikmati pemandangan yang maha indah, sampailah kami di dusun Melati. Dari kejauhan, sudah terlihat bang Ruslan, satu lagi fasilitator kami, bersama dengan bapak Husen, Sekretaris Dusun Melati yang sudah menunggu di bibir pantai.
FYI, Dusun Melati ini berusia 47 tahun. Dinamakan Dusun Melati karena dulu kala, banyak bunga melati di daerah ini. Seperti yang dituturkan Pak Husen, Sekdus Melati, awalnya di tahun 1963 ada 5 orang atau 5 KK yang mendiami pulau ini dan setelah 47 tahun berlalu, kini ada sekitar 150 KK dengan 1050 jumlah jiwa. Yang unik dari dusun ini adalah semua penduduknya berpakaian muslim rapi dan nilai islamnya sangat kental. Yang lelaki dengan tampilan janggut, dan itu hampir seluruh lelaki di Dusun ini berjanggut dan mengenakan peci serta sarung atau celana di atas mata kaki. Wanitanya, berbaju panjang dengan jilbab panjang rapi, hampir semua, bahkan anak-anak usia SD atau SMP pun,bermain di teras rumah dengan menutup aurat. Indah sekali dan sejuk dilihat.
Pun pada saat setelah makan siang, adzan dhuhur terdengar dari mesjid dusun, sontak balai dusun tempat berlangsungnya Pra Musrenbang kosong melompong. Bukan hanya balai dusun, jalanan pun mendadak terlihat sunyi. Ndilalah, seluruh penduduk dusun menuju masjid memenuhi panggilan adzan itu. Bang Jumra sempat bilang pada saya, “by, disini kalo dhuhur, suasananya seperti sholat jumat di desa lain”. Subhanallah… Pulang dari sholat, saya kembali berbincang dengan Pak Husen, menanyakan kondisi ini apakah sudah sejak awal atau baru di tahun berapa, atas kejadian apa sehingga suasananya seperti ini. Kata Pak Husen, sejak tahun 1963 itu, kondisi dusun Melati ini memang sudah islami. Tidak ada musik musik yang mengganggu telinga, jangan ditanya soal mabuk-mabukan atau perkelahian pemuda. Pak Husen juga bercerita, pernah suatu ketika, ada kunjungan Gubernur Prov Maluku, K. A. Ralahalu ke dusun Melati, belum lama dari kedatangan beliau, adzan maghrib berkumandang. Maka semua penduduk pun meninggalkan rombongan provinsi untuk sementara waktu menuju Masjid. Ah, tak bisa saya bayangkan kejadian yang sama di desa lain, bisakah seperti itu? Luar biasa. Salut, saya benar benar salut.
Namun kesalutan saya lalu berubah menjadi diam berkepanjangan ketika pertanyaan saya tentang listrik dijawab Pak Husen dengan jawaban “tak ada listrik disini”. 47 tahun mereka hidup tanpa listrik. Setrika pakai bara. Kalaupun ada beberapa rumah yang lampunya nyala, itu karena memakai genset. Saya tak kuasa berkata. Mengingat bahwa ketika lampu mati sebentar saja di rumah, saya sudah tidak nyaman dan merutuk PLN. Lah, mereka yang 47 tahun tanpa listrik, bagaimanakah hari-hari yang mereka lalui?
Perjalanan ke dusun Melati adalah perjalanan tentang syukur, syukur dan syukur. Betapa ternyata ketidakpuasan saya pada banyak hal di sekitar adalah berlebihan karena di dusun Melati ini, ada 1050 jiwa yang bersabar dengan kondisi mereka, dengan hidup yang mereka jalani dan bahagia dengannya. Ada 1050 jiwa yang akses informasi tidak ada, akses transportasi terbatas, akses komunikasi apalagi. Ah, dan saya hanya satu orang, mengapa tak pandai bersyukur?
Label:
#365 day blog project,
Ambon,
Catatan Hati,
Jalan-Jalan,
Kerjaan,
Maluku
Sunday, December 05, 2010
(31) Dosa Paling Tua
Seperti biasa, minggu saya tanpa melewatkan tayangan U2 bareng uje dan udin. Dakwahnya bersemangat, santai tapi selalu menjewer. Bikin saya selalu mengucapkan Subhanallah atas indahnya Islam, Alhamdulillah atas semua nikmat dan Astaghfirullah atas segala dosa.
Tayangan hari ini menyisakan satu kalimat yang memaksa otak dan hati ngobrol. Kata Uje tadi, dosa paling pertama, paling tua, adalah sombong. Penyakit hati itu merasa. Merasa paling pintar, paling kaya, paling baik, paling bijak. Tak disadari bahwa saat kita sedang merasa itulah, dosa paling tua masuk ke hati.
Saya tertampar. Masih saja menyimpan bibit bibit dosa itu. Padahal, siapa saya? Apa yang patut saya sombongkan? Betapa iman ini masih jauh dari sempurna. Betapa hari hari saya ada saja tambahan dosanya. Lalu mengapa masih merasa paling?
Kuedarkan ingatan ke banyak orang di sekitar saya. Ada banyak yang lebih. Mereka lebih baik, lebih sabar, lebih pintar, lebih pemurah, lebih penolong, lebih lapang dada, lebih dan lebih....
Banyak yang harus saya perbaiki, tata hati jelang Muharram ini.
Tayangan hari ini menyisakan satu kalimat yang memaksa otak dan hati ngobrol. Kata Uje tadi, dosa paling pertama, paling tua, adalah sombong. Penyakit hati itu merasa. Merasa paling pintar, paling kaya, paling baik, paling bijak. Tak disadari bahwa saat kita sedang merasa itulah, dosa paling tua masuk ke hati.
Saya tertampar. Masih saja menyimpan bibit bibit dosa itu. Padahal, siapa saya? Apa yang patut saya sombongkan? Betapa iman ini masih jauh dari sempurna. Betapa hari hari saya ada saja tambahan dosanya. Lalu mengapa masih merasa paling?
Kuedarkan ingatan ke banyak orang di sekitar saya. Ada banyak yang lebih. Mereka lebih baik, lebih sabar, lebih pintar, lebih pemurah, lebih penolong, lebih lapang dada, lebih dan lebih....
Banyak yang harus saya perbaiki, tata hati jelang Muharram ini.
Saturday, December 04, 2010
(30) aku dan malam
Bisikkan aku satu kata
Tentang rasa yang memborgol diri
Juga kecemasan di dinding hati
Agar aku tahu cara membebaskan
Pada setiap bulirnya
Ada nyawamu disana
Menukik tajam pada selipan benak
Meruntuhkan ego batin
Jika begitu dalam dirasa
Tak ada niat yang jelas tercetak
Semoga masih ada sempat
Tentang rasa yang memborgol diri
Juga kecemasan di dinding hati
Agar aku tahu cara membebaskan
Pada setiap bulirnya
Ada nyawamu disana
Menukik tajam pada selipan benak
Meruntuhkan ego batin
Jika begitu dalam dirasa
Tak ada niat yang jelas tercetak
Semoga masih ada sempat
Thursday, December 02, 2010
(28) Memori kawan Aceh.
Hello world…
Lama saya menghilang di blog ini. Baru beberapa hari sih, tapi karena project 365 day blog, beberapa hari kosong ini terasa lama. Menghilang ini bukan tanpa alasan. Menjadi panitia pelatihan Fasilitator Musrenbang Desa selama 3 hari ini benar benar menguras tenaga tapi juga menyisakan kenangan yang sangat manis, manis sekali menjelang masa masa terakhir saya di lahan manfaat ini.
3 hari ini saya disibukkan mulai dari persiapan mengundang peserta, mengatur penginapan peserta juga fasilitator dan mengatur jadwal penjemputan driver kantor yang harus bolak balik ke Waipirit demi menjemput para fasilitator dari kota kembang. Satu hari sebelum kegiatan, sebelum peserta dari 6 Desa di Kabupaten Seram Bagian Barat datang, saya menemani 5 peserta dari Aceh yang memang sudah hadir dua hari sebelum acara. Kami mengunjungi Dusun Kotania dan Dusun Wael. Dusun Kotania yang berjarak 20 km dari kota Piru adalah salah satu dusun penghasil minyak Kayu Putih. Rombongan kami menuju salah satu ketel minyak kayu putih dan berdiskusi dengan pemilik ketel dan membandingkan dengan proses penyulingan minyak NIlam di Aceh sana. Perjalanan dilanjutkan ke Dusun Wael yang berjarak sekitar 3 km dari Dusun Kotania, disana kami belajar tentang rumput laut. Ternyata di Aceh sana, rumput laut atau yang mereka sebut bunga laut tidak dibudidayakan. Tumbuh di batu karang begitu saja dan tidak diolah.
Sepanjang perjalanan mulai dari berangkat hingga pulang,, kesan bersahabat begitu akrab melekat bersama orang-orang dari Sabang itu. Mereka sangat hangat dan bersahaja. Tak ada kesan sebagai tamu, menyatu dan melebur.
Begitupun saat bertemu dengan 20 peserta dari SBB yang telah hadir. Tidak ada jarak antara peserta dengan peserta, juga dengan kami. Banyak kesan yang muncul dari para peserta dan semua adalah kesan manis. 3 hari penutupan ditutup dengan menyanyikan lagu Gandong bersama-sama sambil berpegangan tangan dan banyak airmata disana. Ah, Indonesiaku kaya sekali, Ambonku manis sekali.
Ketika memastikan semua peserta telah pulang ke desa masing-masing, saya mengantar rombongan Aceh ke Waimital. Awalnya biasa, ada masalah kecil dengan penginapan disana, tapi sungguh, mereka adalah pemuda-pemuda Aceh yang berjiwa besar. Namun setelah memastikan mereka telah mendapatkan penginapan, saya pun kembali ke Piru. Dalam perjalanan pulang itulah, hati rasanya kosong. 5 hari bersama mereka membuat mereka begitu saja tercetak di hatiku. Indah sekali persahabatan yang dimulai dengan singkat ini, semoga selamanya.
Pak Ubay, Kak Lina, Bang Masrul, Bang Nasrul, dan Susi, terimakasih telah sudi mengunjungi kami di Seram Bagian Barat. Terimakasih telah menularkan semangat untuk terus belajar dan terus bersama masyarakat.
Buat semua peserta fasilitator, terimakasih telah bersama kami selama 3 hari ini. Mari bersama bergandengan tangan mendampingi masyarakat. Mari kita contohkan kepada pihak-pihak yang seharusnya berdiri bersama masyarakat, kita contohkan bagaimana sebenarnya, bagaimana seharusnya berdiri bersama mesyarakat itu, menggandeng tangan masyarakat itu yang seperti apa. Kita tunjukkan bahwa kata-kata manis tak pernah membawa hasil sampai kata kata itu menjadi tindakan positif.
Love you all. Salut untuk kita semua
ps. saat catatan ini dibuat, baru saja dikabarai bahwa mereka sudah berkeliling Ambon berfoto di depan kantor Gubernur, membeli oleh oleh khas Ambon dan saat ini bersiap menaiki burung besi yang akan membawa mereka pulang
Lama saya menghilang di blog ini. Baru beberapa hari sih, tapi karena project 365 day blog, beberapa hari kosong ini terasa lama. Menghilang ini bukan tanpa alasan. Menjadi panitia pelatihan Fasilitator Musrenbang Desa selama 3 hari ini benar benar menguras tenaga tapi juga menyisakan kenangan yang sangat manis, manis sekali menjelang masa masa terakhir saya di lahan manfaat ini.
3 hari ini saya disibukkan mulai dari persiapan mengundang peserta, mengatur penginapan peserta juga fasilitator dan mengatur jadwal penjemputan driver kantor yang harus bolak balik ke Waipirit demi menjemput para fasilitator dari kota kembang. Satu hari sebelum kegiatan, sebelum peserta dari 6 Desa di Kabupaten Seram Bagian Barat datang, saya menemani 5 peserta dari Aceh yang memang sudah hadir dua hari sebelum acara. Kami mengunjungi Dusun Kotania dan Dusun Wael. Dusun Kotania yang berjarak 20 km dari kota Piru adalah salah satu dusun penghasil minyak Kayu Putih. Rombongan kami menuju salah satu ketel minyak kayu putih dan berdiskusi dengan pemilik ketel dan membandingkan dengan proses penyulingan minyak NIlam di Aceh sana. Perjalanan dilanjutkan ke Dusun Wael yang berjarak sekitar 3 km dari Dusun Kotania, disana kami belajar tentang rumput laut. Ternyata di Aceh sana, rumput laut atau yang mereka sebut bunga laut tidak dibudidayakan. Tumbuh di batu karang begitu saja dan tidak diolah.
Sepanjang perjalanan mulai dari berangkat hingga pulang,, kesan bersahabat begitu akrab melekat bersama orang-orang dari Sabang itu. Mereka sangat hangat dan bersahaja. Tak ada kesan sebagai tamu, menyatu dan melebur.
Begitupun saat bertemu dengan 20 peserta dari SBB yang telah hadir. Tidak ada jarak antara peserta dengan peserta, juga dengan kami. Banyak kesan yang muncul dari para peserta dan semua adalah kesan manis. 3 hari penutupan ditutup dengan menyanyikan lagu Gandong bersama-sama sambil berpegangan tangan dan banyak airmata disana. Ah, Indonesiaku kaya sekali, Ambonku manis sekali.
Ketika memastikan semua peserta telah pulang ke desa masing-masing, saya mengantar rombongan Aceh ke Waimital. Awalnya biasa, ada masalah kecil dengan penginapan disana, tapi sungguh, mereka adalah pemuda-pemuda Aceh yang berjiwa besar. Namun setelah memastikan mereka telah mendapatkan penginapan, saya pun kembali ke Piru. Dalam perjalanan pulang itulah, hati rasanya kosong. 5 hari bersama mereka membuat mereka begitu saja tercetak di hatiku. Indah sekali persahabatan yang dimulai dengan singkat ini, semoga selamanya.
Pak Ubay, Kak Lina, Bang Masrul, Bang Nasrul, dan Susi, terimakasih telah sudi mengunjungi kami di Seram Bagian Barat. Terimakasih telah menularkan semangat untuk terus belajar dan terus bersama masyarakat.
Buat semua peserta fasilitator, terimakasih telah bersama kami selama 3 hari ini. Mari bersama bergandengan tangan mendampingi masyarakat. Mari kita contohkan kepada pihak-pihak yang seharusnya berdiri bersama masyarakat, kita contohkan bagaimana sebenarnya, bagaimana seharusnya berdiri bersama mesyarakat itu, menggandeng tangan masyarakat itu yang seperti apa. Kita tunjukkan bahwa kata-kata manis tak pernah membawa hasil sampai kata kata itu menjadi tindakan positif.
Love you all. Salut untuk kita semua
ps. saat catatan ini dibuat, baru saja dikabarai bahwa mereka sudah berkeliling Ambon berfoto di depan kantor Gubernur, membeli oleh oleh khas Ambon dan saat ini bersiap menaiki burung besi yang akan membawa mereka pulang
Subscribe to:
Posts (Atom)