Saturday, January 19, 2008

Ustadz Cahaya, Penabur Cinta

Teman perjalanan paling setia bagiku adalah buku. Dan perjalanan balik hari ini ke Piru, aku sibuk dengan menentukan buku mana yang dibawa. Sebenarnya pengen ambil buku Risalah Pergerakan tapi berhubung cuaca lagi gak bagus, ombak dan juga angin, aku memutuskan ambil bacaan yang gak terlalu serius supaya perjalananku yang sepertinya nanti bakal dibuat tegang oleh cuaca, tidak perlu ditegangkan lagi dengan beratnya bacaan. Pilihan pun jatuh pada buku yang kubeli pertengahan 2005 lalu. Buku yang ditulis oleh Helvy Tiana Rosa, dkk tentang kenangan bersama KH. Rahmat Abdullah. Buku itu berjudul EPISODE CINTA SANG MURABBI.

Mulailah buku itu saya baca saat feri Samandar di pagi hari bertolak dari Hunimua. Dan efek buku itu ternyata lebih luar biasa dari yang saya kira sebelumnya. Perasaan berkecamuk, merinding, haru, bersyukur pernah tahu ada Ustadz sekaliber almarhum menjalar menjadi satu saat membaca satu persatu rangakain kenangan tentang beliau. Seluruh sisi kehidupan beliau adalah kebaikan yang berkilau. Cerita-cerita kebaikan Almarhum menjelma menjadi satu kumpulan jutaan burung yang beterbangan ke langit ketrujuh sebagai saksi. Nyaris tak ada langkahnya yang bukan dakwah

Kalau saat ini, saya posting tulisan tentang beliau, itu sama sekali tidak bermaksud mengingatkan kesedihan yang sama-sama kita rasakan Juni 2005 lalu. Saya hanya ingin mengambil hikmah tentang bagaimana kita ingin dikenang nanti saat kita telah tiada.
Ada kalimat yang begitu mengilhamiku, bahwa jika kita ingin merancang bagaimana kehidupan kita mau kita jalani, tetapkan dulu ingin seperti apa kita dikenang. Apa yang kita inginkan orang-orang bicara tentang kita di hari pemakaman kita. Kalau kita sudah tahu jawabannya, barulah kita bisa memilih, hidup seperti apa yang ingin kita jalani.

Almarhum menjadi contoh kenangan yang indah, yang selalu berupa kenangan baik dari setiap orang yang pernah berinteraksi dengannya. Bahkan aku. Aku tak pernah bertemu beliau. Tak pernah mendengar suaranya. Aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisan ajaib di kolom Assasiyat majalah Tarbawi. Di sebuah pengajian di teras masjid kampus, mbak I yang mengisi pengajian kami saat itu pernah bilang "Ustadz Rahmat itu, gak usah dengar suaranya. Liat beliau saja, liat wajahnya saja, hati ini sudah sangat tersejukkan. Itulah karena kedekatan beliau dengan Rabb.".

Sejak dengar mbak I bilang begitu, aku berjanji dalam hati bahwa suatu saat kalau Ustadz datang ke Surabaya, aku wajib menemuinya sekedar melihat teduh wajahnya dan mendengar untaian hikmah dari lisannya. Kesempatan itu pernah datang. Di kontrakan Ruhul Jaddid, aku dan teman2 KAMMI Komsat ITS syuro mempersiapkan berdirinya JARSAT ARH. Di dinding depan, saya lihat sebuah pamflet sebuah acara yang digelar KAMMI Komsat UNAIR dan menghadirkan beliau sebagai salah satu narasumber. Pamflet itu sudah ditempel 2 bulan sebelum hari H dan hari itu sudah kulingkari di agenda.
Namun, manusia hanya bisa berencana. Hari H, aku lupa kenapa, aku justru tak bisa datang. Hingga beliau pergi, aku tak pernah bersua, meski hati rasanya tak berjarak.

Selasa 14 Juni 2005. Sore itu, jadwalku berkumpul rutin dengan kelompok tarbiyahku. Saat itu, setelah materi utama dari mbak, kami sempat menyebut nama beliau. Buku tulisan beliau yang rencananya akan kami bedah. Maghrib berjamaah menjadi jadwal penutup. Sesampai di rumah, belum lama, sms dari mbak mengejutkanku. Bahwa Ustadz sudah berpulang maghrib tadi. Aku merinding, seperti ada yang tercerabut dari akar hati. Seperti ada ruang yang hampa.

teringat beberapa pesan beliau dalam berbagai media :
@ Allah SWT akan senantiasa menguji antum di titik terlemah antum. Maka perbaikilah segala kelemahan-kelemahan kita di jalan dakwah ini.

@ Tidak ada lagi waktu bagi kita untuk beristirahat. Tugas dakwah kita terlalu banyak. Jika engkau ingin istirahat wahai pemuda, nanti...ketika engkau langkahkan kakimu ke surga. (ini kupakai sebagai judul blog, karena kalimat ini begitu dalam mengilhamiku. Banyak kalimat2 bagus, tapi efeknya tak sedahsyat ini sampai tak pernah tergoda mengganti. Seperti ada yang menyetrum dan berteriak "Hei, kenapa kau hanya duduk disini sementara kalimat Allah belum tegak di atas bumi, Palestinamu masih terjajah, kebatilan masih tertawa, dan kau sudah beristirahat?" setiap membacanya )

@ Jadilah orang yang merdeka. Yang bersuara tatkala diinjak-injak. Yang mengatakan sejujurnya bahwa yang salah itu salah. Yang mengatakan kebenaran dengan sesungguhnya,

Mungkin saat ini beliau sedang bercanda bersama Rasulullah, Tolong sampaikan pada baginda Rasul, di bumi ini masih ada dakwah.

nb : Tulisan ini dibuat 3 Jan 2008, dan baru diposting sekarang saat masih tersentak dengan berita duka di milis yang memberi kabar kepergian Akhina Supra.  Semoga jiwa mujahidnya mengalirkan semangat yang sama bagi kami.
Kawan, giliran kita akan tiba. Itu kepastian. Persiapkanlah dengan indah


Tujuh awan bersuka ria, sambut ruh suci menghadap Rabb-nya.
Sahabat, nantikan hadir kami. Kan menyusulmu sebentar lagi (Untukmu Syuhada-IZIS)

3 comments:

  1. weh bisa pinjam ga mba?
    :D

    ReplyDelete
  2. beruntung saya dulu sempat bertemu beliau waktu kami bertamu ke rumah beliau yang amat sederhana seperti teduhnya wajah beliau.

    Sungguh ini manuasia yang luar biasa. semoga ada pengganti setelahnya.

    wassalam

    ReplyDelete
  3. *buat pak arif : Seneng ya sudah ketemu beliau. Ane belum ketemu tapi serasa dekat.

    *to almascatie : pinjem? boleh sih tapi gimana caranya ya? pesan aja online ato baca di eramuslim.com pas tanggal-tanggal dekat2 itu

    ReplyDelete