Tuesday, November 01, 2011

(363) Ma Em, Satu Episode Cinta

Pagi ini tiba tiba saja teringat pada satu sosok yang begitu berjasa dalam hidupku. Fatma Badaruddin namanya, biasa kami sapa dengan panggilan Mama Em atau Ma Em. Ma Em adalah guru ngajiku semasa kecil juga guru kehidupan. Tempat ngaji "Nurul Huda Walyaqin" bertempat di Ponegoro, dekat dengan domisiliku waktu itu di Air Mata Cina. Awal pertemuan dengan beliau penuh dengan detak ketakutan. saya yang saat itu beruisa 6 tahun, sudah dijejali dengan cerita cerita tentang ketegasan beliau yang di kacamata anak sekecil saya diartikan sebagai orang tua yang jahat. Setiap datang mengaji, yang saya lakukan adalah hanya menangis. Padahal beliau tidak berbuat apa apa, tapi karena sudah takut duluan terhadap sosoknya yang terkenal keras, melihatnya saja, bahkan sejak tiba di lorong menuju rumahnya, saya mulai menangis sampai jam pulang nanti.



Entah berapa lama hal itu berlangsung dari hari ke hari. Sampai tibalah hari dimana saya harus berangkat sendiri ke tempat ngaji. Kakak perempuan saat itu tidak bisa datang, saya lupa kenapa. Parahnya lagi, saya datang paling awal dari teman teman ngaji yang lain. Dalam ruangan hanya ada Ma Em dan saya. Tubuhku berguncang hebat ketakutan. Tangisan yang selalu keras, hari itu itu lebih keras lagi. Entah mengapa, saya begitu takut dengan beliau. Bayangan akan dimarahi atau bahkan mungkin dipukul jika salah mengaji atau salah salah yang lain. Mungkin karena sudah capek dan panas telinga beliau mendengar tangisanku yang jelas tidak merdu itu, beliau pun membaca doa lalu berteriak sekencang kencangnya. Hanya satu kata yang beliau teriakkan usai berdoa itu, yaitu DIAAAAAAAAAAAAAAAM. Dan, tangisanku pun berhenti seketika.

Setelah itu, hari hari berlalu dengan sempurna. Saya menjadi murid kesayangan beliau. Bertemu beliau, memandang wajah beliau adalah kesejukan yang mengaliri hati. Semua ilmu beliau berikan kepada kami tanpa tersisa. Bahkan ketika beliau pindah rumah ke Kaitetu untuk lebih tenang di masa tuanya, pengajian dikelola oleh kami, murid murid beliau yang sudah khatam. Dan di hari minggu siang beliau hadir langsung untuk memberikan bekal agama terapan seperti sholat, puasa, wudhu, zakat, semuanya. Akhlak pun beliau tanamkan dengan penuh kehalusan. Bertahun tahun setelah khatam, saya masih saja menjadi murid yang haus. Datang dan datang lagi sekedar berbagi dengan adek adek juga mendengar ceramah beliau yang rimbun. Bahkan di hari terakhir kami tinggal di air mata cina, paginya saya masih mengikuti pengajian beliau lalu siangnya boyongan ke rumah baru kami di Air Kuning, Kebun Cengkeh.

Jarak yang lumayan jauh itu memaksa saya tak bisa setiap hari lagi mengunjungi Nurul Huda Wal Yaqiin. Hanya di hari minggu saya bisa ke Ponegoro menemui beliau. Hari hari berganti dan saya melanjutkan pendidikan di Makassar. Setiap tahun kepulangan lebaran, selalu kusempatkan menemui beliau. Sampai akhirnya melanjutkan kuliah di Surabaya, jarak semakin teretas.

Dalam satu kunjungan seorang bibiku ke Surabaya, saya menemani beliau belanja ke Pasar Turi. Saat itu, kulihat satu gamis putih dipajang di salah satu toko. Saya membayangkan betapa cantiknya beliau dengan gamis itu. Gamis itu kubeli dan kutitipkan ke bibi untuk diberikan kepada Ma Em setibanya di Ambon. Sayangnya, gamis itu tak pernah sampai di tangannya. Ma Em dipanggil Allah sebelum sempat mengenakan gamis itu. Berita kepergian beliau kudengar di sela sela perkuliahan dan seketika semangatku tak ada. Hilang bersama berita kepergian Ma Em yang disampaikan papa lewat telepon. Ingin rasanya terbang menemui beliau, menatap wajahnya yang tersenyum saat dipanggil Allah. Aku menjadi saksi betapa Ma Em mencintai Sang Khalik semasa hidupnya. Betapa Ma Em menjadi pejuang Islam dengan seluruh apa yang beliau punya. Sungguh tak menyangka pertemuanku di lebaran 2001 adalah pertemuan terakhir. Pertemuan di rumahku sendiri. Terkaget ketika beliau tiba tiba mengetuk pintu rumahku. Aku yang merencanakan besok akan ke rumahnya, ternyata sudah beliau datangi di sore sebelumnya. Beliau datang diantar oleh cucunya yang bercerita bahwa mendengar kedatanganku di Ambon, beliau meminta diantar ke rumah menemuiku. Cucu cucunya sudah melarang dan mengatakan bahwa Eby-lah yang akan ke Ponegoro tapi beliau bersikeras dan mengatakan akan tetap pergi sendiri kalau tidak ada yang mau mengantar. Ma Em, ada haru saat kau tiba. Kakimu yang tertatih melangkah menemuiku di jalanan yang cukup menyusahkan untukmu.

Meski Ma Em telah lama berpulang, aku tau kemana harus menemuimu. Dalam lantunan quran yang kubaca, ada suaramu disana. Dalam sholat yang kutegakkan, ada dirimu. Dalam setiap kebaikan yang kucoba rajut, dirimu hadir. Bersilaturrahim dengan keluargamu, dengan menantu dan cucu cucumu adalah waktuku menemuimu. Karena selalu ada cerita tentang kebaikanmu setiap kami bersua.

Em, Eby rindu. Eby masih sering buka album album lama untuk melihatmu lagi, sekedar menitipkan sedikit rinduku.


2 comments:

  1. Seng tau mau komen apa Caca eby,, just.. thumb up for this touching story... Turut berduka bersama derai helai benang gamis itu...

    ReplyDelete
  2. terharu bhy... Insya Allah..amal jariahnya takkan pernah pupus..selama santrinya melantunkan ayat suci Al-Qur'an.. Subhanallah...

    ReplyDelete