Tuesday, November 16, 2010

(12) Ikhtiar Berhaji; Ramadhan ke tujuh 2003




Allah, saya tidak tahu kapan akan bersimpuh di depan RumahMu, saya hanya tahu, hari ini saya melangkah ke Bank untuk menabung…maka jika sudah cukup waktu untuk mencerap liku-liku itu, ijinkan saya membasuh wajah yang gelap ini dengan zam-zamMu. Berkatilah saya… (Dhuha, sesaat sebelum ke BNI)

Lama saya melantunkan permintaan untuk ke haji. Lama saya mengamalkan bacaan surah Al-Hajj. Saya juga membaca bermacam buku tentang perjalanan haji. Tetapi terus terang saya sama sekali belum memulai menabung sepeser pun untuk ke sana.
Tiap kali saya membaca surah Hajj, dan beberapa surah tentang haji, mata saya berkaca-kaca. Saya menyimak perintah haji dan ritualnya langsung dari sumbernya. Hati saya berdegup kencang manakala bacaan saya sampai pada ayat yang menceritakan perjalanan Sitti Hajar, ibunda Nabi Ismail, antara shafa dan Marwa. Kelak ayat inilah yang menjadi bacaan wajib ketika kaki mulai menapaki perbukitan shafa dan marwa, begitu saya baca dari buku petunjuk Haji.

Di tengah ketidakpastian kecukupan dana, sungguh mati perjuangan Ibunda Sitti Hajar bolak balik antara shafa dan marwa membayang di mata saya. Ooo…perjuangan yang saya lakukan, pengharapan yang saya panjatkan, sesungguhnya belum apa-apa dibandingkan kerasnya perjuangan yang dihadapi oleh Ibunda Sitti Hajar.
Membayangkan perempuan yang baru beberapa bulan melahirkan bayi laki-laki, harus berlarian dari satu bukit ke bukit lain di tengah kesendirian untuk mencari air bagi anaknya. Membayangkan perempuan hitam yang tengah kepanasan, yang harus menekuk perasaan ditinggal sendirian di padang tandus…Tak ada keterangan terperinci pada Qur’an bagaimana suasana hatinya. Tetapi sebagai perempuan, apakah saya tidak dapat sedikitpun merasakan penderitaan itu? Ooo..adakah kesulitan yang menyamainya? Bahagia melahirkan bayi sehat, tetapi sekaligus juga harus menelan kenyataan ditinggalkan oleh suami untuk berupaya survive..adakah kesakitan pasca melahirkan dihapuskan Allah untuknya? Ataukah sakit itu tetap terasa sambil berlari mencari sumber kehidupan?

Melihat ke diri, membanding apa yang dilakukan oleh ibunda Sitti Hajar, ahai…adakah celah dalam diri untuk berputus asa? Saya menjadi tak berani membanding kesukaran yang saya hadapi dengan apa yang pernah dialami oleh perempuan yang dari rahim mulianya terlahir Nabi Ismail. Inilah bagian yang menyemangati saya untuk terus berharap dan berusaha mencukupi diri dengan bekal materi dan non materi untuk tiba di rumahNya.

Dalam pengharapan itu, saya bertemu dengan seorang guru Taman Kanak-Kanak. Beliau baru pulang dari menjalankan Haji. “Saya menabung selama dua puluh tahun dik”. Biar mi* lantai rumah hanya semen biasa, tetapi saya ingin letakkan wajah saya di Keramik Mesjid Haram” saya menyimak ceritanya di satu pagi saat kami hendak melakukan pertemuan rutin pengurus ‘Aisyiyah Makassar. “Jadi guru TK ‘Aisyiyah itu berapa gajinya? Adik tentunya tahu..” timpalnya pada saya. “tetapi saya tetap tabah saja. Saya tetap menabung, biar sepuluh ribu” wah..saya mulai membanding penghasilnnya dengan penghasilan saya selaku dosen.

Perbedaan penghasilan yang Allah berikan pada saya dengannya berlipat lipat kali. Memang dalam hitungan penghasilan saya berlebih dari Bu Guru TK ‘Aisyiyah. Tetapi dalam hal kegigihan menganyam niat ke tanah suci..saya jauh..jauh sekali di bawahnya. Dua puluh tahun bukan hal yang singkat untuk meneguhkan sebuah niat. Mungkin niat itu telah mengeras menjadi batu.
Kiranya cukup sudah pergolakan batin saya. Ada Guru TK ‘Aisyiyah yang tabah menabung. Ada perjalanan Sitti Hajar yang sangat gigih dan tabah. Ada dorongan Haji Udin Wally, kakak sepengajian saya di Ambon, untuk segera menabung “Tugas Ida menabung, bukan barekeng** cukup atau tar*** cukup. Itu urusan Allah. Nanti Antua yang kasi cukup akang****” begitu nasihatnya untuk saya. Juga amalan-amalan yang saya lakukan, semuanya bercampur menjadi satu. Saya menggigit geraham kuat-kuat. Adakah keraguan saya untuk melangkahkan kaki menabung haji?

Maka, ketika saya terseleksi menjadi Fasilitator Panwas Pusat untuk melakukan pelatihan bagi anggota Panwas di tingkat propinsi, kesempatan itu muncul dengan entengnya. Karena saya terseleksi, saya harus mengikuti penataran fasilitator di Jakarta selama seminggu. Saya diberi uang saku sebanyak Rp.1.250.000. Saya bertekad untuk menggunakan sepenuhnyan uang ini untuk membuka tabungan haji. Saya sama sekali tidak membuka amplopnya. Utuh.

Usai penataran, pagi itu, di atas sajadah saya memegang amplop berkop Panwas Pusat Jakarta dengan gemetar. Saya memeluk amplop itu kuat-kuat. Saya meletakkannya di dada saya. Menunduk dalam-dalam, di atas sajadah..”Allah, beta pung modal cuma ini*****”. Saya bergumam. “beta tar tau apa tempo bisa sampai ke RumahMu, tetapi sioo.. ini beta pung ikhtiar******”.

Saya mengangkat tangan ke atas, memandang langit-langit kamar..betapa ingin saya menembus langit-langit itu. Betapa ingin saya melihat gemawan yang putih, betapa rindu saya pada jejak Nabi. Amplop itu masih ada dalam dekapan saya. Dalam sujud yang sederhana, saya mengangkat permohonan dengan segala rasa dan asa..saya membenamkan segala keinginan di situ...lalu bergulirlah harapan dari mulut saya.. “Allah, saya tidak tahu kapan akan bersimpuh di depan RumahMu, saya hanya tahu, hari ini saya melangkah ke Bank untuk menabung…maka jika sudah cukup waktu untuk mencerap liku-liku itu, ijinkan saya membasuh wajah yang gelap ini dengan zam-zamMu. Berkatilah saya…terima kasih Allah atas perasaan ini”

Usai sudah dhuha di ramadhan ke tujuh. Ketika saya mengisi form aplikasi tabungan haji, petugas bank menanyakan kapan mau ke haji. Saya hanya tersenyum. Saya menggeleng kepala padanya. Saya tidak tahu kapan saya bisa ke sana. Saya hanya tahu kalau hari ini saya melengkapi ikhtiar itu.
Form itu tidak rumit, tetapi saya mengisinya dengan lantunan doa dan shalawat. Saya tidak mau kehilangan sedikitpun moment ini. Saya harus selalu terjaga ketika tangan saya mengisi form tabungan haji. Lalu ketika saya harus mengisi nama lengkap dengan nama Aba, ayah saya...duh.. ada yang menggetarkan hati saya. Aba, ayah dan juga guru ngaji saya, yang berangkat ke haji tiga hari setelah saya lahir, nanti tidak sempat melihat saya berangkat ke haji jika masa itu tiba. Meskipun Aba telah berpulang ke rahmatullah jauh melewati saya, hari ini saya masih menggunakan namanya untuk melengkapi nama saya, Faidah Binti Agil Azuz. Duh..entah kapan nama Aba ikut tertulis di koper haji..

Catatan kata-kata :
*Biar mi (logat Makassar) = biarlah
**barekeng (bhs Ambon) = berhitung
***tar (bhs Ambon ) = tidak
****akang = itu
*****Allah, beta pung modal cuma ini (bhs`Ambon) = Allah, modal saya cuma ini.
******beta tar tau apa tempo bisa sampai ke RumahMu, tetapi sioo.. ini beta pung ikhtiar (bhs Ambon) = saya tidak tahu kapan bisa tiba di rumahMU, tetapi duhai.. inilah isktiar saya.

---------------------------------------------------------------------------------

Satu lagi tulisan dari Ca Ida Sialana. Kisah tentangnya berhaji juga sudah pernah kutuangkan di sini.

Kawan, membaca catatan hatinya kali ini sungguhlah membuat diri ini bersimpuh malu. Tulisan ini saya terima di email pada dini hari. Sungguh tahajjud malam itu begitu beda. Banjir akan sebuah pengharapan dan rasa malu kepada Rabb bahwa diri ini hanya meminta tanpa berusaha. Tanpa satu langkah kecil, tanpa ikhtiar apapun.

Jiwa ini lemah di hadapan Rabb, jiwa ini begitu tergugu dengan panggilanNya. Hanya bulir air yang membasahi pipi tertunduk malu, tertunduk penuh nista di hadapan Pencipta. Lalu diri ini berkaca, bagaimana mungkin Allah akan memanggilku ke rumahNya jika aku masih sering menunda panggilan adzanNya. Bagaimana mungkin Allah memanggilku ke rumahNya jika berlama lama di sajadah pun ku tak mampu. Bagaimana mungkin aku dipanggil melantunkan banyak doa langsung di rumahNya jika surat cinta dariNya jarang kubuka. Bagaimana mungkin aku dipanggil ke rumahNya jika aku tak mulai mengumpulkan duit sesen demi sesen untuk kesana. Bagaimana mungkin aku berharap kesana tanpa satu pun ikhtiar. Dan aku pun tergugu...

gambar dari hasil googling, diambil dari sini

1 comment: