Wednesday, April 08, 2009

Haruskah kekuasaan menutup mata hati?

Euforia punya rekan kerja baru sejak 24 jam yang lalu sangat melegakan hati. Bahkan semalam kita sudah acara makan bersama. Pagi tadi, terpikir untuk membuat tulisan selamat datang kepada new comer di office, seperti tulisan selamat jalan kepada pendahulu posisi tersebut. Tapi, buum, dalam waktu 10 menit, semua bisa berubah. Betapa kekuasaan begitu memegang peranannya dan mencengkeram serta memporak porandakan sistem yang berlaku dan prosedur yang telah dijalani.

Kekecewaan yang kurasakan sekarang, tentu saja tidak sebesar kekecewaan dia yang menjadi korban. Mengapa harus ada korban atas sebuah kekuasaan yang dimaknai terlalu tinggi. Harus ada korban atas sebuah otoritas yang terlalu berlebihan. Alasan yang terkesan dibuat-buat hanya untuk menutupi alasan yang sebenarnya. Saya mempertanyakan profesionalitas. Saya mempertanyakan kejujuran. Saya mempertanyakan kualitas yang ditawarkan dari proses yang licin ini.

Mencari posisi aman tidaklah harus dengan mengorbankan perasaan orang lain. Bawahan bukanlah robot yang tidak punya hati yang atas nama kekuasaan bisa diperlakukan seenaknya. Atasan juga bukanlah seorang nabi atau malaikat yang suci yang selalu benar. Komunikasi, bagaimana cara kita mempertahankan apa yang kita yakini benar, mempertahankan hal-hal prinsip yang kita anut, semestinya bisa dilakukan sampai titik darah penghabisan.

Berulangkali saya berpikir, apakah ini saat yang tepat untuk membuka aib orang lain demi mempertahankan apa yang diyakini? Jelas sangat tidak bijaksana. Betapa tidak adilnya kenyataan yang terjadi hari ini. Hati kecil rasanya ingin berteriak meneriakkan kebenaran, meneriakkan ketidak adilan, meneriakkan kedzaliman yang secara tidak sadar dilakukan.

Bentuk apresiasi yang salah tempat. Salah kaprah. Eneg..eneg...eneg.
Aku marah sampai rasanya mau muntah.

1 comment:

  1. nurani berbenturan dengan kenyataan argghhhhhh

    ReplyDelete