Usai shalat, biasanya adekku ega mengambil tanganku dan menciumnya. Siang itu, setelah shalat dhuhur, tanganku diambilnya tapi matanya merah dan ada air disana. Kupeluk ia. Kucoba pahami apa yang ia rasa. Ia hanya menangis tanpa bicara.
Aku tahu, aku pernah ada di posisinya, bahkan lebih sulit. Untuk pertama kalinya, dek ega merasa homesick, kangen dengan segala yang ada di rumah. Maklum saja, baru kali ini ia pergi jauh dari rumah, baru sebulan lamanya.
Dulu, 9 tahun lalu, aku pernah merasakan kerinduan yang sama. Aku sendiri, tanpa seorang kakak yang menemaniku, serasa seperti sendirian di dunia ini. Wajah orang-orang yang kucintai terus bergantian muncul di benakku. Masa-masa saat bersama mereka diputar kembali dengan otomatis. 9 tahun lalu. Ketika kubulatkan tekad untuk jauh.
Sampe saat ini, rindu itu sering datang, bahkan sering menyiksaku. Tapi justru karena kerinduan-kerinduan itulah aku bisa bertahan, melawan apapun di belahan bumi Allah yang lain ini. Karena aku yakin, dengan kerinduan itu, akan kutaklukkan semuanya, hingga aku bisa kembali berkumpul bersama orang-orang yang kucintai, yang tak pernah berhenti mencintaiku, yang tak pernah kering mata air kasihnya, yang selalu mengalirkan air mengisi dahaga hatiku.
Ega menatapku, dan hanya satu kata yang ia ucapkan : “rumah”
No comments:
Post a Comment