Satu lagi hari yang berat tapi indah. Rangkaian kata yang paling tidak ingin saya dengar saat-saat ini adalah “Mbak, gak usah pulang ya. Disini saja”. Parahnya, justru kalimat seperti itu yang paling sering saya dengar. Setiap hari, ada saja yang mengatakan itu. Semakin berat jika yang mengatakan itu adalah adik-adik binaanku seperti sore tadi. Melihat wajah mereka ketika mengatakannya membuat saya tak bisa menjwab. Bukan tak ingin, tapi tak tahu harus menjawab apa agar tidak melukai mereka. Belum lagi ditambah kalimat “Nanti yang ganti, gak seperti Mbak Eby gimana?”.
Allah, aku tak tersanjung dengan kalimat itu. Aku justru takut dengan kalimat itu. Kalimat itu sudah saya dengar dalam 2 pertemuan terakhir. Bahkan ketika mereka bertandang ke rumah pun, itu lagi yang mereka bahas.
Di satu sisi, saya merasa lega karena saya punya arti. At least, kebersamaan kami selama ini punya tempat di hati mereka. Paling tidak juga, ketika saya tidak ada, itu ada bedanya bagi mereka karena saya pernah diberitau bahwa alangkah ruginya orang yang ada dan tiadanya dia, itu sama saja bagi orang lain. Dan saya tak mau jadi orang yang merugi itu.
Tapi di sisi lain saya takut, cemas kalo ternyata kebersamaan dan kedekatan kami selama ini membuat mereka takut dengan dunia setelah itu tak ada. Kecemasan mereka akan pengganti saya membuat saya merenung “Figuritas seperti apa yang sudah saya bentuk di depan mereka selama ini?”. Saya takut, nantinya mereka akan membandingkan antara saya dengan pengganti saya nantinya dan jika itu tak sesuai bayangan mereka, akan mudah bagi mereka untuk membuat alasan agar tidak hadir. Bukan saya merasa sempurna, tapi jika itu terjadi, maka saya ikut bertanggungjawab akan itu. Saya kemudian mempertanyakan niat mereka, jangan sampai kedatangan mereka selama ini ke lingkaran itu adalah karena saya, bukan karena Allah.
Dalam Buku Pintar Mengelola Halaqoh, Ust Satria Hadi Lubis menjelaskan dampak negatif dari sikap pengidolaan tersebut, antara lain :
1. Hilangnya sikap kritis dan tumbuhnya taqlid buta
2. Hilangnya suasana saling menasehati antara murobbi dan peserta
3. Hanya mau menerima pendapat dan nasehat dari murobbi saja
4. Wawasan peserta menjadi sempit
5. Hilangnya sikap toleran terhadap perbedaan pendapat
6. Terlalu tergantung pada murobbi
7. Hilangnya inisiatif dan kreativitas peserta
8. Sulit diajak beramal jama’I di luar halaqoh
9. Sulit dipindahkan, jika tiba saatnya pindah murobbi
Murobbi secara tidak sadar bisa membuat peserta mengidolakannya. Misalnya, dengan sikap yang terlalu memanjakan peserta, persis seperti sikap orang tua yang memanjakan anaknya, sehingga anak menjadi tidak mandiri dan kehilangan percaya diri.
Saya pribadi tidak begitu mengkhawatirkan poin satu hingga delapan. Karena mereka kritis, saling menasehati, mereka kreatif, punya aktivitas amal jama’I di luar halaqoh dll. Yang saya khawatirkan adalah poin terakhir. Mau tidak mau, setelah ini mereka harus pindah, dan kalau mereka masih dengan pemikiran “Nanti kalo gak seperti mbak, gimana?”, maka selama itu pula mereka tak bisa enjoy dalam lingkaran cinta itu. PR besar juga untuk pengganti saya nantinya, sementara dia harus tetap menjadi dirinya.
Dengan semua kegelisahan ini, saya mensyukuri saya masih punya waktu sekali lagi, terakhir bersama mereka untuk menjelaskan dan meluruskan kekhawatiran ini. Ada yang bisa bantu saya?, jazakumullah khoiron sebelumnya.
Nb : Tak kusangka, salah seorang adik memberiku hadiah coklat. Katanya “saya kan tau mbak Eby sukanya apa”. Dan yang lainnya ada yang bilang “Kalo gitu nanti ta’ masakin sayur terong ah buat mbak Eby”. Subhanallah, ternyata mereka masih mengingat kesukaan2 saya padahal itu hanya diberitau sekali saat pertemuan perdana sesi ta’arruf. I am excited they still remember that. Saya kalah lagi membuktikan ukhuwah indah ini, kenapa saya tidak mendahului memberi mereka hadiah, padahal catatan saya lengkap tentang diri mereka termasuk kesukaan mereka? Merekalah murobbi saya, murobbi ukhuwah saya
No comments:
Post a Comment