Layakkah kita memaknai amanah sebagai sebuah kesenangan, sebuah prestise yang disikapi begitu bahagia. Sampai harus ada perayaan yang wah. Apa ya yang terlintas di benak, di sela-sela jaringan otak ketika mendapat tugas itu? Mengapa adalah kegembiraan? Mengapa pula harus ada pesta? Kenapa bukan ketakutan? Akan begitu banyak beban setelah ini, lantas kenapa berhura-hura? Ah, betapa dunia telah membutakan hati
Ketika Rasulullah wafat, siapa khalifah yang menggantikan beliau?
Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah kemudian datang ke Saqifah. Dengan fasih Abu Bakar menenangkan Anshar yang sedang dibakar ghirah. "Kami (Muhajirin) adalah para Amir, dan kalian (Anshar) adalah para Wazir...maka bai'atlah 'Umar atau orang kepercayaan ummat ini Abu 'Ubaidah!"
Umar mengepalkan tangan dan gemeretak giginya karena malu sedang Abu 'Ubaidah menunduk berkeringat dingin tak mampu mengangkat kepalanya. "Justru engkau yang akan kami bai'at.."kata 'Umar kemudian sambil menggenggam tangan sahabatnya.
Kisah menyejarah akan takutnya memegang sebuah amanah.
Beratus-ratus tahun jaraknya dari kisah menyejarah itu, di sebuah ruangan Muswil DPW Maluku Utara periode 2000-2005. Kisah ini indah tertulis dalam Memoar Cinta di Medan Dakwah-nya Ust Cahyadi Takariawan. Saat pemilihan Dewan Syari'ah Wilayah sesuai tata tertib persidangan yang dipilih adalah Ketua, Wakil, dan seorang anggota. Pemilihan yang berlangsung tertutup itu menghasilkan 5 nama. Satu nama dengan 24 suara dan empat lainnya dengan 3 suara. Sebelum diputuskan mekanisme memilih 2 dari 4 nama yang sama-sama mendapatkan 3 suara tersebut, salah seorang kandidat menyatakan dirinya tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota DSW karena belum mencapai jenjang keanggotaan sebagaimana diatur dalam AD/ART. Ia pun mengundurkan diri. Berarti masih ada 3 nama yang mendapatkan suara sama. Sedangkan yang dipilih hanya 2 di antara mereka.
Dalam kebingungan menentukan mekanisme, dengan polos dan tanpa pretensi apapun,Ketua DPW berbicara dengan suara keras, "Ayo siapa lagi yang mau mengundurkan diri?".
Begitulah keikhlasan hati seorang ikhwah yang melihat permasalahan itu dengan kacamata da'i yang tak layak berebut amanah, yang tak layak berebut jabatan apapun dalam dakwah.
Dan benar, salah satu kandidat mengacungkan tangan dan mengatakan, "Saya mengundurkan diri".
Dan hari ini saya liat bahwa ada sisi lain dari kepemimpinan. Meminta dan setelah diberi, betapa ekspresinya berlebihan bahkan memuakkan. Sadarkah bahwa pertanggungjawaban tak berhenti setelah akhir jabatan tapi berlanjut hingga menemui Sang Pencipta. Ah, dangkal dan piciknya pemikiran yang begitu bangga dengan beban yang justru dilemparkan dengan kasar.
Esensi dari pekerjaan adalah pada ketekunan, keikhlasan kesabaran, kesungguhan dalam menunaikan kegiatan, pada usaha terus menerus menebar kebajikan di setiap ruang-ruang publik. Bukan pada perebutan jabatan, bukan pada adu argumentasi tanpa kejelasan tujuan, bukan pada semangat gugat menggugat interpretasi.
Mari kita tekun bekerja, sebagai apa pun kita!
nb : catatan usai definitifnya para pejabat
No comments:
Post a Comment