Tiba-tiba saja diri ini ingin pulang ke rumah di Ambon. Kembali ke hangatnya kasur dan belaian bacaan menjelang tidur. Tadinya sih pengen gak ke kantor, tapi berhubung laporan yang saya buat kemarin belum diberi ke si Bapak, jadi ya harus ke kantor dulu. Tunggu menunggu, kok si Bapak belum datang-datang juga. Kalo gak datang, nyesel dong ke kantor. Pas lagi seru-serunya bahas bukunya Dan Brown sama rekan, si Bapak muncul. Laporan saya beri dan berharap cemas tak ada perubahan (mau kabur nih).
"Ya sudah" *alhamdulillah, ijin pulang ah*
"Tapi.... *o..ow, apaan*, ini laporan kecamatan apa?"
"Dua-duanya pak, Kairatu dan Huamual Belakang"
"Seng buat sendiri-sendiri?"
"Seng pak, itu sudah digabung. Kemarin saya tanya, kata Bapak jadi satu saja"
"Harusnya dipisah *ugh, selesai jam berapa ya? dapat feri jam berapa nanti?*
Si Bapak meneliti lagi laporan itu. Dan saya masih berharap ada kalimat yang melegakan.
Dan...
"Ya sudah, begini saja juga seng apa-apa. Cuma nanti buat kecamatan sendiri-sendiri secara umum ya. Ini kan masih gambarkan desa-nya saja"
"Iya pak" *tapi senin aja pak, pengen pulang nih*
Maka,Sebelum jam kantor berakhir, saya sudah ada di jalan menuju Waipirit. Perjalanan yang menyenangkan, benar2 menyenangkan. saya selalu menikmati perjalanan Piru-ambon. Mata saya benar-benar termanjakan.
Gelap yang tadinya saya pikir hujan di gunung sana, ternyata setelah saya lewat, bukan hujan tapi kabut. Serasa berkendara dibalik awan (kayak Denias yang bersenandung). Dinginnya tuh enak, segar. Dinginnya beda. Dia gak masuk ke pori menusuk kulit, tapi justru membelai. Asyik menikmati awan yang membelai, tiba-tiba "byar", langit menangis hingga kulit ini serasa sakit ditusuk tetesannya yang besar. Tapi perjalanan tetap berlanjut. Tak peduli hujan, toh juga di gunung, tak ada tempat berteduh. Hujan adalah rahmat, maka biarkan rahmat ini menemani kepulanganku.
Piru, tunggu saya 2 hari lagi ya. Mau reses dulu nih.
No comments:
Post a Comment