Kasihan sekali hidupmu nak. Kau harus dikendalikan oleh yang secara hirarki harusnya kau kendalikan. Entah kemana perginya nurani. Ia harus kalah karena kepentingan pribadi. Tunduk pada keangkuhan dan keinginan duniawi semata. Jengkel yang terasa berganti jadi kasihan, iba karena kau tak lagi bisa menjadi dirimu sendiri. Kau tak lagi bebas menentukan pilihan-pilihan sikapmu, tak lagi mampu melihat dan berkarya sebagaimana mestinya hati menuntun.
Pun ketika ada kesempatan kedua (everybody deserve to be) memperbaiki kesalahan, tak juga kau ambil. Kau tetap bergumang dalam kesalahan yang seharusnya tak terjadi. Lalu kau masih menyebut dirimu punya kuasa? Kuasa itu sudah dirampas, nak. Mungkin kau tak sadar, tapi apa yang kau punya sekarang tidaklah sebanyak yang kau pikirkan. Karena mereka punya lebih banyak, hingga penampilanmu adalah yang berkuasa, tapi hatimu mereka belenggu.
Buka matamu, nak. Lihat sekelilingmu. Banyak yang mesti kau lakukan selain dari mendengar satu demi satu rengekan penuh darah nafsu. Banyak yang lebih butuh perhatianmu tapi mereka hanya diam. Jangankan bicara, mendekatimu saja begitu susah. Tapi harusnya kau sadar, bahwa mereka diam karena mereka memang tak perlu bicara. Kaulah yang berkewajiban memenuhi hak-hak mereka dan mereka tak perlu merengek.
Masih ada waktu.
No comments:
Post a Comment