Sunday, November 25, 2007

Catatan Usai Muktamar IV

Bismilahirrahmanirrahim...

Sudah empat Muktamar, it means sudah 4 tahun kami, UKMBI, mengeja makna keberadaan kami di bumi ITATS. 4 tahun kami berupaya memberi manfaat dari kehadiran kami, mengumpulkan potensi yang berserakan dari kami, memadukannya dan ramu agar kelak kami tak malu karena tak berpangku tangan.

2 calon ketua sudah diusulkan untuk nanti diputuskan oleh ta'mir (Muktamar UKMBI tidak menghasilkan ketua, hanya usulan untuk diputuskan oleh ta'mir, red). DPO pun sudah ditunjuk. Penunjukan atas dasar analisa kami yang tak seberapa, atas sebuah penilaian manusiawi kami sembari berharap mendapat ridho dariNYA.

Sungguh, tak ada yang bisa saya ucapkan. Ingin rasanya bertahan lebih lama, tetapi begitulah perputarannya. Harus ada darah-darah baru. Harus ada semangat baru, manusia-manusia luar biasa lainnya yang akan mengeja cinta tertinggi pada Allah lewat KMBI. Saya masih saja menyebut KMBI (Komunitas Muda Baitul 'Izzah), padahal sebenarnya sudah diganti dengan UKMBI (Unit Kegiatan Masjid Baitul 'Izzah). Mungkin karena nama itu yang selama ini menjadi teman dalam kehidupan saya 4 tahun terakhir. Nama itu pula yang mencerminkan jiwa muda kami yang ingin bersenang-senang dan memilih jalan ini sebagai wadahnya.

Masih jelas dalam ingatan syuro-syuro perdana 4 tahun lebih yang lalu. Syuro-syuro yang membahas tentang nama yang bisa merepresentasikan semangat kami, logo apa yang menggambarkannya dan hal-hal prinsipil lainnya sebagai awal langkah kami. Dan Komunitas Muda Baitul 'Izzah kemudian dipilih dari sekian banyak pilihan seperti Keluarga Masjid Baitul 'Izzah, Keluarga Mahasiswa Baitul 'Izzah dan nama-nama lainnya.

Syuro-syuro berikutnya bersama orang-orang luar biasa lainnya yang menurut AD/ART kemarin pasal 13, kami adalah alumni. Satu persatu sudah menjalani hidupnya sendiri-sendiri. Di Ambon, Kalimantan, Bandung, Malang, Bekasi, juga Surabaya. Masa-masa itu tak terlupa. Forum-forum yang dipenuhi banyak hal. suka, sedih, sesak, resah, kecewa, marah, tapi kesemuanya telah kami bingkai dalam cinta kepada Allah dan yang tinggal hanyalah ukhuwah.

10 bulan cukup untuk melihat masjid Baitul 'Izzah-ku berbeda. Hijabnya telah diganti, pohon yang dulu bersama-sama kami tanam saat bersih-bersih masjid, sekarang sudah besar. Semoga seperti cinta kami pada UKMBI yang akan terus membesar.
Teduh rasanya kembali di masjid itu. Hingga ketika menunaikan sholat Ashar, dari sekian banyak mukena yang ada, saya memilih satu bawahan. Kain bercorak batik berwarna orange. Kenapa kain itu yang saya pilih di antara mukena berwarna putih bersih itu? Karena itu kain mbak Anis, yang ia tinggalkan di masjid itu. Memakainya serasa ia bersama saya. ia yang sekarang sudah balik ke Kalimantan. Ia, saudara yang mengajakku memasuki dunia indah ini, dan menawanku disana hingga aku tak ingin lagi keluar. Ia yang mengajariku tentang tanggung jawab, tentang kepedulian dan tentang pembuktian ukhuwah yang luar biasa. Kami berdua dulu sering menghabiskan waktu di masjid walaupun sekedar untuk beristirahat melepas penat.

Setelah ini, aku akan kembali ke kehidupanku sekarang yang sedang kujalani. Tapi kali ini aku pergi dengan satu kelegaan. Bahwa KMBI-ku eh UKMBI-ku ada di tangan hamba-hamba yang luar biasa. Yang semangatnya mereka tularkan padaku muktamar tadi. Semangat dakwah yang menjalar hebat dan aku tahu, insyaAllah, UKMBI-ku akan baik-baik saja.

Do you know the relation between your two eyes?
They blink together, move together, cry together, and sleep together.
Eventhough they never see each other.
Ukhuwah should be just like that.

Bukan suatu masalah besar jika ku tak punya harta/pangkat di dunia. Tapi akan jadi masalah besar bagiku jika tak memiliki kalian sebagai saudara seiman tercinta apalagi ketika keberadaanku tak membawa manfaat sama sekali bagi kalian, UKMBI-ku

Catatan Jelang Muktamar IV KMBI

KMBI-ku hari ini ber-Muktamar. Sudah tiga muktamar kami lalui, dan ini bakal jadi Muktamar terakhir saya disini sebagai pengurus.
Terakhir tadi pagi, ada sms mampir di phone saya dari nomor sekretariat, intinya meminta doa dan dukungan agar tetap istiqomah.
Doaku selalu mengiringi KMBI-ku, agar pejuang-pejuangnya tetap istiqomah, ikhlas dan ihsan dalam berdakwah. Dan kali ini, aku juga ingin menghadirkan fisikku.
Ada banyak kesalahan yang kuperbuat selama bersama barisan ini. Kata yang menyakiti, sikap yang melukai, dzon yang tak boleh dan banyak lagi. Ingin kulelehkan semuanya hari ini.

Saudaraku, persiapkan jiwa kita dengan bersih ikut Muktamar ini. Berikan yang terbaik demi dakwah di masa depan. Luruhkan semua angkuh dan egois. Tak ada lagi saya, kau atau dia, yang ada adalah kita.
Ini Forum kita. Tak ada alasan untuk diam, bersuaralah, nyatakan mimpimu untuk KMBI, untuk dakwah dan mari bersama mewujudkannya.

Komunitas Muda Baitul 'Izzah ITATS, ini komunitas kita. Kumpulan hamba-hamba yang melebur, mengurai kelemahan, menggabungkan kekuatan sembari tetap berharap kembali menjadi komunitas, bertetangga di surga-Nya, Aaamiiin

Saturday, November 24, 2007

Surabaya, here i come

Perjalanan pertamaku ke Waipirit setelah subuh. Biasanya kalo mau ke Ambon, jamnya siang atau sore skalian. Tapi tadi, for the first time aku ke Waipirit selepas subuh, jam 5 tet. Dingin banget. Apalagi pas sampe di daerah gunung kawasan Prola sana, kabutnya tebal. Saat melintas di antara kabut-kabut itu yang serasa di dalam awan, dinginnya beda. Tidak menggigil tapi lembut mengusap kulit. Subhanallah, pemandangan gunung di subuh hari juga Subhanallah.

Ya, Feri pertama berangkatnya jam 7 jadi mau tidak mau saya berangkatnya dari Piru harus jam segitu biar gak telat feri dan gak telat ke Surabaya. Yup, Surabaya, nantikan aku ya....
Sampe di Ambon sudah jam 10 pagi, langsung sama papa ke Travel ambil tiket yang baru dipesan sejam yang lalu. Alhamdulillah, dapat harga yang miring, memuaskan kantong 3 jam sebelum jam check in.
Perjalanan tadi terus terang benar-benar gak nyaman. Iya sih dapat seat di depan, tapi armada ini seatnya kecil tak ada space buat merenggangkan kaki. Trus udaranya juga gak enak. Saya benar2 tidak menikmati perjalanannya. Hanya dengan ingat bahwa semuanya InsyaAllah akan terbalas dengan keceriaan dan sapaan teman-teman, i feel okay.

Sampe di Bandara Juanda menjelang maghrib dijemput sama bu Titik (dosen jaman kul dulu), abisnya Jeng Sri yang janji mau jemput gak bisa karena terlanjur gak minta cuti hari itu, kudu ngantor.
Setelah 10 bulan, akhirnya saya kembali menjejakkan kaki di kota ini. Melintasi Rungkut, Surabaya masih sama, macet. Kata BU Titiek, sekarang macetnya tambah parah. Tadi pas dalam perjalanan ke Bandara, beliau terjebak macet juga. Abisnya jalanan Rungkut yang segede itu, kalo dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang lewat, itungannya masih kecil.

Jalanan pinggiran Surabaya kalo malam dipenuhi dengan tenda-tenda makanan. Apa aja ada. Trus bau-nya itu menggoda iman banget. Bau bebek goreng, agak sanaan dikit, sate, trus pecel lele, trus macam-macam deh. Rameee banget orang-orang di jalanan penuhin tenda-tenda itu. Bandingkan sama di Piru, kita gak punya banyak pilihan buat makan. Wisata kulinernya payah.

Sepanjang jalan, bibir tuh kayak gak mau berenti tersenyum. Subuh tadi saya masih di Piru dan skarang sudah di Surabaya dengan keputusan yang begitu tiba-tiba. Baru jam 11 malam kemarin saya memutuskan untuk ke Surabaya. Sebuah keinginan yang dengan sadar saya ambil. Bulan purnama seperti menemaniku tersenyum di balik meronanya.
Sampe di daerah semolowaru situ, mataku puas banget. Banyak memori berkelebat, tentang daerah-daerah yang dulu jadi tempatku melangkah hampir setiap hari. Hampir sampai kampus, sudah kayak apa ya.

Waktu melintasi kampus ITATS, bu titiek nanya "masih ingat by, ini tempat apa?". Saya jawab aja "ini kampus apa ya bu?", dengan lagak culun gitu yang disambut "endel" sama bu titiek. Parkiran di halaman masjid seperti biasa selalu penuh apalagi kalo malam gini. Sekretariat KMBI-ku berdiri anggun. Lewat depan cak wie, tempatnya kita (anak2 elektro kelas C-2001) nongkrong tiap hari soalnya di cak wie, anak2 bisa makan kenyang dengan harga anak kos. Saya sih gak pernah makan nasi bungkusnya, tapi terkesan sama Cak Wie yang menerima dan membiarkan saja anak2 model teman2ku itu nongkrong berjam-jam nunggu jam kuliah atau malah bolos kuliah.

Sampe juga di kost, dek Eya lagi pergi beli mouse. Kita baru benar2 reunian jam 10-an. Soalnya Tri sudah pulang dari nge-les-i, dan Lina baru juga nyampe. Lina khusus datang dari Nganjuk siang tadi supaya bisa ketemu. Reuni lagi berempat. Kamarku sekarang jadi gimana ya. Dekor-nya sudah diganti sama dek eya. Berasa lebih luasan sih, tapi gimana ya. Yasud-lah.

Ada banyak rencana disini, dan seminggu ini insyaAllah akan jadi seminggu penuh kisah. Tak sabar rasanya memulai hari-hari di sini dan menemukan hal-hal ajaib.

Saturday, November 17, 2007

Otakku Buntu

Buntu, kepala ini rasanya seperti berhenti berpikir. Capek dan lelah bertambah-tambah. Kerjaan di kantor yang gak selesai-selesai meski udah lembur 3 malam. Begitu selesai datang lagi setumpuk yang harus dikerjakan.

Bukan, ini bukan keluhan. Ini tugas yang harus dijalani. KOnsekuensi ketika mencemplungkan diri ke sini. Ini hanya sekedar coretan ketika otak meminta rehat. Tak sanggup lagi berpikir.

Tulisan-tulisan di kertas seperti bermain-main di mataku, berlompatan riang kesana kemari semakin memicingkan mata. Belum lagi angka-angka yang tersenyum mengejek meminta segera diselesaikan. Sampai akhirnya diri seperti ngadat. Angka-angka ruwet melilit di kepala, tak tahu harus memulai dari mana. Seperti masuk ke maze yang tak tahu berakhir dimana.

Aku butuh sekedar istirahat. Sebentar membasuh jiwa yang terlalu sibuk dengan duniawi, hingga hanya wajib yang terlaksana. Mushaf beberapa hari ini hanya sekedar mendapat lirikan. Menyentuh dan membacanya pun terhenti jika urusan duniawi memanggil. Astaghfirullah, bagaimana dunia bisa berjalan dengan lancar jika terlalu melena.

Otakku benar-benar buntu.
Aku capek, fisik dan pikiranku terkuras.
Izinkan aku rehat, mencharge energi dari Dzat yang KekuatanNYA tak pernah habis. Aku ingin tunduk sejenak, mengurai tali kusut di pikiranku ini. Agar dia terurai sempurna kembali dan aku bisa kembali menyelesaikan yang tertunda ini.
(Pamit 1/2 hari ya,ngecharge dulu, insyaAllah malam nanti baru lembur lagi).

Tulisan di atas aku buat tadi siang saat otak ini rasanya seperti berhenti berpikir. Dan saat ini aku kembali lagi berkutat dengan semua yang kutinggalkan tadi siang. Bedanya semuanya berbeda. Siang tadi, ketika diri ini memasrahkan penat , melepaskan lelah pikiran kepada Yang Maha Mendengar, Yang Mencintaiku tiada habis, beban itu meluruh, leleh seperti lilin yang terbakar.
Malam ini buktinya. Pekerjaanku memang belum selesai tapi jauh lebih enteng dari tadi siang. Bahkan otak ini seperti tak mengambil jeda untuk berpikir. Lancar semua kerjaan.

Subhanallah, Engkau memang Luar Biasa, Ya Allah....
Tempat menggantungkan segala suka, duka juga asa. Terimakasih Ya Allah

Monday, November 12, 2007

Jangan Terlalu Jauh Berlari

Harus diakui, mau tidak mau, di Maluku ini trauma akibat peristiwa 1999 itu masih ada. Memang sekarang masyarakatnya sudah lebih bijak. Mereka tidak lagi menerima informasi mentah-mentah. Ada proses mencari tahu dulu kebenarannya dan bagaimana menindaklanjutinya. Emosi tidak lagi mudah terpancing. Perkelahian antar dua kubu, berhentinya ya di dua kubu itu saja, tidak menjalar kemana-mana.

Di satu sisi, korban yang banyak berjatuhan dari dua belah pihak menyadarkan bahwa jangan lagi ada korban. Di sisi yang lain, tetap saja ketakutan itu ada. Panik jika mendengar ada ketidakberesan.

Seperti hari ini. Ketika Desa Ariate dan Dusun laala berseteru persoalan tanah, kami yang di Piru ikut panik. Ada keyakinan yang bilang bahwa tak ada apa-apa. Ini masalah lokal di dua tempat itu. Tapi seperti yang saya bilang di awal, trauma itu tetap ada, bagaimanapun penyangkalannya.

Tapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini. Ada hal lain yang lebih memprihatinkan. Hal lain yang lebih memalukan dan lebih mengoyak batin. Sebuah keraguan akan pertolongan Allah.
Kaget saya melihat seorang wanita yang tadi siang baru saja terlihat memakai kerudungnya. Dan kenapa malam ini ia tidak berkerudung? Apa saya salah lihat ya tadi?
Sampai akhirnya ia sendiri yang bilang, bahwa dalam kepanikan tadi, suaminya bilang "buka jilbab dulu". Tersirat ketakutan dari suara itu yang membenarkan dirinya melepaskan kerudung yang dikenakan.

Mungkin, dalam pikiran si suami, kerudung akan mendekatkan sang istri dengan maut. Si suami yakin bahwa malikat maut akan menjauh jika istrinya tidak memakai kerudung. Sepertinya si suami belum tahu bahwa maut bisa menjemput kamu bahkan kalau kau sembunyi dilubang tikus sekalipun.

Astaghfirullah. Seandainya kita harus kehilangan banyak hari ini, bahkan nyawa sekalipun, setidaknya kita masih punya prinsip, kita mati dengan keyakinan yang masih utuh di dada. Bayangkan, jika memang hari ini terjadi sesuatu dan kita menghadapNYA tanpa berkerudung? Sementara 1 jam yang lalu kita melepasnya karena kita takut kerudung tak cukup bisa menjaga kita, apa yang akan kita katakan pada Allah? Tidak malukah kita kepada Allah yang Maha Menjaga? Tak malukah kita pada Allah yang janjiNYA adalah pasti?

Sahabat yang dekat dengan ibunya, yang tak diragukan sayangnya pada ibunda, menjawab Ibunda dengan kesantunan yang tinggi tapi tanpa melepas keyakinan, "Bu, jikapun Ibu punya seribu nyawa dan satu persatu meninggalkan ibu, tak akan kutinggalkan imanku pada Allah dan Rasul".
Santun, tapi tegas. Sederhana tapi kuat.

Saudaraku, kita boleh kehilangan segalanya. Tapi iman tidak boleh hilang sama sekali. Iman-lah yang membuat kita tetap hidup. Iman-lah yang akan menuntun langkah kita menemukan kembali semuanya. Dengan iman di dada, maka sebenarnya kita tak kehilangan apa-apa.

Saudaraku, Allah tak akan meninggalkan kita. Sayangnya, kita-lah yang terlalu jauh berlari dari-NYA. Tapi saudaraku, masih ada harap untuk kita. Sejauh apapun kita berlari, Allah selalu menerima kita kembali.

Saturday, November 10, 2007

Euforia Berlebihan

Layakkah kita memaknai amanah sebagai sebuah kesenangan, sebuah prestise yang disikapi begitu bahagia. Sampai harus ada perayaan yang wah. Apa ya yang terlintas di benak, di sela-sela jaringan otak ketika mendapat tugas itu? Mengapa adalah kegembiraan? Mengapa pula harus ada pesta? Kenapa bukan ketakutan? Akan begitu banyak beban setelah ini, lantas kenapa berhura-hura? Ah, betapa dunia telah membutakan hati

Ketika Rasulullah wafat, siapa khalifah yang menggantikan beliau?
Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah kemudian datang ke Saqifah. Dengan fasih Abu Bakar menenangkan Anshar yang sedang dibakar ghirah. "Kami (Muhajirin) adalah para Amir, dan kalian (Anshar) adalah para Wazir...maka bai'atlah 'Umar atau orang kepercayaan ummat ini Abu 'Ubaidah!"

Umar mengepalkan tangan dan gemeretak giginya karena malu sedang Abu 'Ubaidah menunduk berkeringat dingin tak mampu mengangkat kepalanya. "Justru engkau yang akan kami bai'at.."kata 'Umar kemudian sambil menggenggam tangan sahabatnya.
Kisah menyejarah akan takutnya memegang sebuah amanah.

Beratus-ratus tahun jaraknya dari kisah menyejarah itu, di sebuah ruangan Muswil DPW Maluku Utara periode 2000-2005. Kisah ini indah tertulis dalam Memoar Cinta di Medan Dakwah-nya Ust Cahyadi Takariawan. Saat pemilihan Dewan Syari'ah Wilayah sesuai tata tertib persidangan yang dipilih adalah Ketua, Wakil, dan seorang anggota. Pemilihan yang berlangsung tertutup itu menghasilkan 5 nama. Satu nama dengan 24 suara dan empat lainnya dengan 3 suara. Sebelum diputuskan mekanisme memilih 2 dari 4 nama yang sama-sama mendapatkan 3 suara tersebut, salah seorang kandidat menyatakan dirinya tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota DSW karena belum mencapai jenjang keanggotaan sebagaimana diatur dalam AD/ART. Ia pun mengundurkan diri. Berarti masih ada 3 nama yang mendapatkan suara sama. Sedangkan yang dipilih hanya 2 di antara mereka.

Dalam kebingungan menentukan mekanisme, dengan polos dan tanpa pretensi apapun,Ketua DPW berbicara dengan suara keras, "Ayo siapa lagi yang mau mengundurkan diri?".
Begitulah keikhlasan hati seorang ikhwah yang melihat permasalahan itu dengan kacamata da'i yang tak layak berebut amanah, yang tak layak berebut jabatan apapun dalam dakwah.

Dan benar, salah satu kandidat mengacungkan tangan dan mengatakan, "Saya mengundurkan diri".

Dan hari ini saya liat bahwa ada sisi lain dari kepemimpinan. Meminta dan setelah diberi, betapa ekspresinya berlebihan bahkan memuakkan. Sadarkah bahwa pertanggungjawaban tak berhenti setelah akhir jabatan tapi berlanjut hingga menemui Sang Pencipta. Ah, dangkal dan piciknya pemikiran yang begitu bangga dengan beban yang justru dilemparkan dengan kasar.

Esensi dari pekerjaan adalah pada ketekunan, keikhlasan kesabaran, kesungguhan dalam menunaikan kegiatan, pada usaha terus menerus menebar kebajikan di setiap ruang-ruang publik. Bukan pada perebutan jabatan, bukan pada adu argumentasi tanpa kejelasan tujuan, bukan pada semangat gugat menggugat interpretasi.

Mari kita tekun bekerja, sebagai apa pun kita!

nb : catatan usai definitifnya para pejabat

Masih Ada Waktu, Nak...

Kasihan sekali hidupmu nak. Kau harus dikendalikan oleh yang secara hirarki harusnya kau kendalikan. Entah kemana perginya nurani. Ia harus kalah karena kepentingan pribadi. Tunduk pada keangkuhan dan keinginan duniawi semata. Jengkel yang terasa berganti jadi kasihan, iba karena kau tak lagi bisa menjadi dirimu sendiri. Kau tak lagi bebas menentukan pilihan-pilihan sikapmu, tak lagi mampu melihat dan berkarya sebagaimana mestinya hati menuntun.

Pun ketika ada kesempatan kedua (everybody deserve to be) memperbaiki kesalahan, tak juga kau ambil. Kau tetap bergumang dalam kesalahan yang seharusnya tak terjadi. Lalu kau masih menyebut dirimu punya kuasa? Kuasa itu sudah dirampas, nak. Mungkin kau tak sadar, tapi apa yang kau punya sekarang tidaklah sebanyak yang kau pikirkan. Karena mereka punya lebih banyak, hingga penampilanmu adalah yang berkuasa, tapi hatimu mereka belenggu.

Buka matamu, nak. Lihat sekelilingmu. Banyak yang mesti kau lakukan selain dari mendengar satu demi satu rengekan penuh darah nafsu. Banyak yang lebih butuh perhatianmu tapi mereka hanya diam. Jangankan bicara, mendekatimu saja begitu susah. Tapi harusnya kau sadar, bahwa mereka diam karena mereka memang tak perlu bicara. Kaulah yang berkewajiban memenuhi hak-hak mereka dan mereka tak perlu merengek.

Masih ada waktu.

Sunday, November 04, 2007

GADISKU, TERBANGLAH.....




Hari ini
kampusmu akan menjadi satu tapak
Yang kau tinggalkan tapi kau rindukan


Maen,
Belajar,
Senang,
Pusing,
Semangat,
Kursi taman,
Kantin,
Pohon,
Masjid,
Angin,
Hujan,
dan Kicau burungnya


Dalam lipatan memorimu kini
Ada satu masa dimana kau dan gejolak masa mudamu
menemukan tempatnya dan mengangkasa
Hingga akhirnya kau tahu alasannya
Mengapa Allah menempatkanmu disana beberapa saat

Ukiran bersama sahabat-sahabatmu
Membentuk sebuah kisah thriller, komedi
ataupun drama khas anak muda
Satu persatu merenda jejak di taman hatimu
Berharap kelak ketika semua telah berjalan sesuai masanya
Masa kalian tetaplah terkenang, tak tergantikan

Hari ini,
Kau melangkah pasti
Membentuk kembali tapakmu yang baru
di dunia yang sebenarnya
Bersiaplah karena nanti tak seindah yang kau bayangkan
Tak semulus yang kau duga
Tak semudah yang kau harap

Tapi kau tahu,
Keteguhan hatimu akan menuntun langkah berat itu
Hingga tetap mantap
Saya yakin, maka mengapa kau ragu?
Karena memang tak ada alasan untuk meragu.





Selamat mengepakkan sayapmu yang telah lama belajar terbang
Saatnya membuktikan dirimu
Saatnya orang-orang tahu
Bahwa dunia ini indah karena ada kau di dalamnya
Dengan segala keajaiban yang mampu kau cipta



Teruntuk : Adekku sayang, yang hari ini menambah S.Psi di belakang namanya.
S. Faradilla Waliulu, S.Psi

Saturday, November 03, 2007

Di Balik Awan

Tiba-tiba saja diri ini ingin pulang ke rumah di Ambon. Kembali ke hangatnya kasur dan belaian bacaan menjelang tidur. Tadinya sih pengen gak ke kantor, tapi berhubung laporan yang saya buat kemarin belum diberi ke si Bapak, jadi ya harus ke kantor dulu. Tunggu menunggu, kok si Bapak belum datang-datang juga. Kalo gak datang, nyesel dong ke kantor. Pas lagi seru-serunya bahas bukunya Dan Brown sama rekan, si Bapak muncul. Laporan saya beri dan berharap cemas tak ada perubahan (mau kabur nih).

"Ya sudah" *alhamdulillah, ijin pulang ah*

"Tapi.... *o..ow, apaan*, ini laporan kecamatan apa?"

"Dua-duanya pak, Kairatu dan Huamual Belakang"

"Seng buat sendiri-sendiri?"

"Seng pak, itu sudah digabung. Kemarin saya tanya, kata Bapak jadi satu saja"

"Harusnya dipisah *ugh, selesai jam berapa ya? dapat feri jam berapa nanti?*

Si Bapak meneliti lagi laporan itu. Dan saya masih berharap ada kalimat yang melegakan.
Dan...
"Ya sudah, begini saja juga seng apa-apa. Cuma nanti buat kecamatan sendiri-sendiri secara umum ya. Ini kan masih gambarkan desa-nya saja"

"Iya pak" *tapi senin aja pak, pengen pulang nih*



Maka,Sebelum jam kantor berakhir, saya sudah ada di jalan menuju Waipirit. Perjalanan yang menyenangkan, benar2 menyenangkan. saya selalu menikmati perjalanan Piru-ambon. Mata saya benar-benar termanjakan.


Gelap yang tadinya saya pikir hujan di gunung sana, ternyata setelah saya lewat, bukan hujan tapi kabut. Serasa berkendara dibalik awan (kayak Denias yang bersenandung). Dinginnya tuh enak, segar. Dinginnya beda. Dia gak masuk ke pori menusuk kulit, tapi justru membelai. Asyik menikmati awan yang membelai, tiba-tiba "byar", langit menangis hingga kulit ini serasa sakit ditusuk tetesannya yang besar. Tapi perjalanan tetap berlanjut. Tak peduli hujan, toh juga di gunung, tak ada tempat berteduh. Hujan adalah rahmat, maka biarkan rahmat ini menemani kepulanganku.

Piru, tunggu saya 2 hari lagi ya. Mau reses dulu nih.