Saturday, August 26, 2006

Hidup Bersyarat

Berapa seringkah kita berpikir, "Dulu seharusnya saya bisa bahagia seandainya.." atau "Saya tentu akan bahagia kalau.."? Seberapa sering kita pernah merasakan ketenangan, pemenuhan diri dan kepuasan namun ternyata semua perasaan itu berubah menjadi rasa takut, marah atau kecewa hanya karena sesuatu yang kita harapkan terjadi atau tidak terjadi? Atau hanya karena kita mendengar sesuatu yang menimpa orang lain? Seberapa banyakkah persyaratan di luar diri kita yang kita yakini perlu ada demi rasa bahagia di dalam diri kita?

Ada kalanya kita yakin bahwa turunnya berat badan, mendapat pekerjaan atau promosi jabatan, menikah, mendapat momongan anak atau meraih hasil lahiriah lainnya akan membuat kita bahagia. Tetapi ketika tujuan kita terpenuhi, selalu ada tujuan-tujuan lain yang menuntut untuk dipenuhi juga. Rasanya, kebahagiaan menjadi sesuatu yang ada di luar jangkauan kita.

Mungkin sebagian besar dari kita pernah membaca stiker atau poster yang bertuliskan "Apapun yang bisa salah, pasti akan salah". Sekalipun demikian, ketika ada yang menjadi salah, kita masih saja sering heran. Kita menjadi bingung, merasa tidak siap, kehilangan keseimbangan, bahkan marah. Rasa tenang dan rasa bahagia bisa menguap begitu saja. Segala hal yang kita anggap perlu agar segala sesuatunya beres, lenyap, dan kita pun kebingungan.

Yang nyata-nyata terjadi adalah : mobil kadang kala mogok, para pemasar kadang-kadang bersikap kasar, pemesanan tempat bisa tertukar. Orang-orang yang kita anggap pahlawan ternyata lemah dan korup. Orang-orang yang kita cintai mungkin meninggal atau pergi. Kita mungkin kehilangan pekerjaan kita, relasi kita, kesehatan ataupun uang kita. Tubuh kita akan menua. Semua terjadi dan berubah, demikianlah hakikat kehidupan ini.

Mungkinkah hidup kita di dunia ini tidak terpengaruh oleh segala bentuk kebingungan, rasa sakit, dan ketidakadilan itu? Tentu saja terpengaruh. Persoalannya adalah bagaimana kita terpengaruh dan seberapa besar pengaruh itu terhadap kita? Apakh ucapan sambil lalu teman kerja membuat kita tertekan? Apakah berita-berita mengenai kecelakaan, bencana, atau kejahatan membuat kita tidak lagi mempercayai elevator, pesawat udara atau sesama kita? Apakah percakapan telpon selama 5 menit dengan seorang saudara kita membuat kita merasa bersalah atau cemas selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari?

Seberapa banyak kita rela mengorbankan kebahagiaan dan ketentraman kita demi kehidupan lahiriah kita? Jika kita memang tahu bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa dan akan salah, mengapa kita masih mendambakan kesempurnaan? Mengapa kita menunda merasa bahagia, dengan bersikap seolah-olah kelak segala sesuatunya akan lancar sesuai dengan keinginan kita? Mengapa kita membiarkan segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan lahiriah di dunia ini menyebabkan berkecamuknya pikiran, perasaan dan sikap di dalam diri kita?

Bagaimana jika kita dengan damai menerima kenyataan yang seringkali tidak selaras dengan keinginan kita? Bagaimana jika kita sungguh-sungguh percaya, di lubuk apapun yang terjadi dalam kehidupan lahiriah atau kehidupan di dunia ini?
Kalau kita baru bisa merasa bahagia hanya jika tim pertandingan kita menang, kita justru akan jauh lebih sering merasa tidak bahagia. Selama kita senantiasa menetapkan tujuan-tujuan demi kebahagiaan, ketenteraman dan kepuasan di masa depan, kita tidak akan pernah "meraih emas yang tersembunyi di ujung bianglala"

Dunia ini tercipta tidak untuk menuruti kehendak anda atau saya atau orang lain. Kita dapat menghadapi realitas hidup dengan humor, sikap fleksibel dan ketentraman. Dengan kekuatan spiritual kita, bahwa hanya Allah-lah yang punya kekuatan mengubah semuanya, maka Kita akan baik-baik saja, apapun yang terjadi

No comments:

Post a Comment