Tuesday, December 05, 2006
Anak-anakku....
I like Monday especially this Monday. Sejak tadi malam aku sudah gak sabar ingin segera datangnya pagi. Karena pagi ini adalah hari pertama dari pekan terakhirku bersama kelas favoritku, kelas andalanku. Pak putu, partner ngajar besok, tidak bisa masuk karena masih ikut pelatihan BLPT. Walhasil aku harus ngajar sendirian. Minggu kemarin saat pak putu masih di BLPT, gak enak banget harus berhadapan dengan kelas lain yang badung sendirian. Tapi semalam, hal itu justru kusyukuri. Cause it means, tomorrow (this day, red) will be our day, just between me and them.
Bangun tadi, hari ini kujelang dengan penuh semangat. Mandi lebih awal, berangkat lebih awal dan tiba sekolah pun sebelum bel berbunyi. Rasanya tak ingin melewatkan waktu berlalu begitu saja.
Itulah mereka, anak kelas 2 STM yang masih mencari jati diri, masih labil tapi bersemangat. Menyenangkan bersama mereka hari ini karena kami berbagi cerita bersama. Kenapa kelas ini kubedakan dari 5 kelas yang lain yang kupegang? Karena mereka memang berbeda. Karena aku punya kisah cantik bersama mereka
Teringat kembali hari-hari pertama masuk kelas ini. Mereka tidak kutemukan sebagai anak2 yang manis. 2 hari pertama adalah hari yang penuh emosi. Nakal, badung, rame (ngobrol saat aku lagi menjelaskan, dan suaranya bahkan lebih besar dari suaraku), ndablek, dan entah sebutan apalagi yang bisa menggambarkan polah mereka. Bukan cuma satu atau dua orang yang seperti itu, tapi hampir semua. Praktis kucatat hanya 6 anak yang langsung nyangkut di hati karena sikap mereka yang begitu ideal sebagai murid yang aman, tidak menyeretku ke permainan emosi. Dan terang saja begitu, karena ternyata satu dari 6 anak ini adalah anak SKI (yang belakangan selalu membantuku menjelaskan kepada teman2nya kalau mereka bertanya aku udah punya pacar atau belum) yang bisa mengendalikan 5 temannya yang lain. Selebihnya, jangan ditanya, aku begitu harus menahan emosi hingga dada ini sesak.
Di hari ke-2, aku begitu marah hingga 5 spidol di tangan kulempar dengan begitu keras di atas meja. Aku tak bisa meledak-ledak, aku tak bisa berteriak marah apalagi main tangan. Tapi emosi ini butuh penyaluran atau aku akan patah, maka spidol melayang begitu saja tanpa kusadari untuk kemudian pergi ke ruang guru. Disana, aku kaget sendiri dengan yang telah kulakukan. Apa aku sudah berubah jadi guru yang menyeramkan? Bagaimana kini imageku di depan mereka?
Kusalahkan diriku atas sikap melempar spidol, tapi kubenarkan perasaan marahku. Apapun bisa kutolerir selain kebohongan dan pengkhianatan. Dan hari itu, aku dibohongi. Aku bisa mentolerir ribut mereka, aku bisa mentolerir tidak mencatat mereka, aku bisa mentolerir ijin ke belakang mereka yang kadang gak masuk akal lagi. Tapi kebohongan saat kubertanya, sama sekali tidak kutolerir.
Setelah aku mulai tenang, kembali masuk kelas dan kudapati mereka duduk manis di meja mereka masing-masing. Mencoba bicara dari hati ke hati, mencoba mengatakan apa yang tidak kusuka dan untuk pertama kali (semoga yang terakhir), aku menangis di depan mereka. Dari dulu, Aku benar-benar tidak bisa mentolerir sebuah kebohongan dan pengkhianatan.
Kini semuanya indah. Setelah hari ke-2 itu, kami berproses bersama. Mereka berproses menjadi murid yang baik dan aku berproses menjadi guru yang baik untuk mereka. Aku tidak menuntut mereka untuk duduk manis mendengarkanku, bahkan tidak kuijinkan diriku berlama-lama di depan papan tulis yang bisa membuat mereka bebas melihatku tanpa bisa kularang. Prinsipku, mereka boleh melakukan apa saja saat aku yang ada di kelas, asalkan ketika ada yang ditanyakan, mereka tau. Karena gaya belajar setiap anak berbeda. Ada yang bisa sambil dengerin MP3, ada yang bisa sambil nyanyi-nyanyi sendiri, ada yang duduk menyendiri, ada yang harus diselingi dengan ribut dulu, pukul sana pukul sini, aku gak bisa menuntut mereka melakukan gaya belajar ideal, duduk manis dengan buku dan pulpen di tangan, mulut diam dan telinga mendengarkan. Aku sendiri bukan tipe itu. Apapun boleh, asalkan keluar dari kelas, ada tambahan ilmu yang mereka bawa walaupun sedikit. Itu prinsip.
Aku, berproses menjadi guru yang bisa mengakomodir setiap keinginan, membantu mereka melejit, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau selama itu tidak merugikan diri mereka dan orang lain. Berusaha jadi pendengar yang baik, teman diskusi, dan sahabat bagi mereka.
Kini, kami lebih dari guru dan murid. Mereka masih rame tapi mereka lebih sopan. Mereka jujur dalam mengatakan apa yang diinginkan. Mereka terbuka dengan kesulitan-kesulitan mereka. Cerita masalah-masalah mereka, ngobrol dari hati ke hati dan kedekatan-kedekatan lainnya. Heri bahkan meminta saran padaku bagaimana potongan rambut yang bagus buat dia karena rambutnya mulai panjang. Tiba-tiba aku teringat di sebuah buku yang pernah kubaca, salah seorang akhwat bertanya pada murobbiyahnya bagaimana model jahitan yang bagus untuk kain yang baru dia beli. Mungkin dari satu sisi kita bilang “model baju aja dibicarain, gak ada yang lebih penting ta?”. Tapi coba lihat dari sisi lain, betapa itu menggambarkan kedekatan dan ketsiqohan akhwat tersebut dengan murobbinya.
Banyak perubahan terjadi di kelas ini.
Hermawan,
Kudapati sebagai murid yang menyendiri. Tidak secara fisik, tapi secara pikiran. Ia kudapati selalu duduk di samping teman-temannya tapi ia tidak pernah ngobrol. Ia seperti memiliki dunia sendiri, bermain dalam pikirannya sendiri. Ia tidak peduli siapapun guru yang ngajar di depan, pandangan matanya hanya pada satu titik di luar ruangan dan ia akan menatap kosong, terus seperti itu hingga pulang. Kalaupun ditanya sama guru, ia akan cuek saja. Pernah karena sikap itu, seorang guru PPL yang juga cowok marah dan membentak bahkan ingin memukulnya. Tapi ia tetap dengan dunianya, bahkan pandangan matanya semakin melecehkan yang semakin membuat marah si guru. Tentu saja, batu memang gak bisa ketemu dengan batu. Setelah itu, ia kudekati. Sering kuajak ia bicara. Lebih mengaktifkan dia dan meyakinkan bahwa ia bisa.
Kini, ia sudah kembali ke dunia nyata. Bahkan ia akan maju sebelum dipanggil dan bertanya “aku ngerjain nomer berapa bu?”. Ia juga akan langsung datang ke meja praktek sebelum dipanggil dan bilang “aku praktek sekarang ya bu”.
Arif,
Ia kutemukan sebagai anak yang sering jadi bahan ejekan teman2nya. Semampunya ejekan itu ia balas tapi tak bisa menutupi sedih dan luka yang terpancar dari matanya. Ia selalu dianggap paling bodoh, gak bisa ngapa-ngapain sama teman2nya hingga akhirnya ia sendiri merasa seperti itu keadaannya. Padahal aku yakin, ia pasti sama dengan yang lainnya, bahkan mungkin lebih. Kudekati, kujadikan ia temanku, satu kata tidak bisa dari bibirnya kuimbangi dengan berkali kali bilang “kamu bisa rif. Kamu belum coba jadi darimana kamu tau gak bisa. Kalo yang lain bisa, kamu pasti juga bisa karena kamu sama aja kayak yang lain”. Ia selalu minder dengan kemampuannya. Ia takut untuk sekedar mecoba. Mungkin karena ia takut jika benar-benar gak bisa, akan jadi pembuktian ejekan teman-temannya yang tak terbantahkan lagi. Kuyakinkan hingga kini ia sudah begitu berbeda. Ia akan pede setiap kali gilirannya mengerjakan tugas. Tidak peduli salah karena ia tau dengan salah, ia jadi tau bagaimana benarnya. Ia sekarang berkumpul dengan teman-temannya untuk belajar. Ia sudah begitu berbeda.
Semuanya,
Mereka rata-rata anak yang gak pede. Takut salah. Mungkin karena selama ini jika tidak bisa mengerjakan soal akan dikatakan bodoh dan dimarahi. Setiap hari, kuyakinkan berulang-ulang bahwa jangan pernah takut salah. Coba saja, berani dan lihat hasilnya. Kutekankan bahwa aku tidak melihat hasilnya benar atau tidak tapi prosesmu untuk bisa menyelesaikan soal yang kuberikan, keberanianmu mengalahkan ketakutan untuk maju yang kunilai.
Ini minggu terakhirku bersama mereka. 3 minggu kedepan, kelas yang lain yang akan masuk kelas dan bengkelku, dan setelah itu, aku yang akan meninggalkan mereka. Sedih, itu yang aku dan mereka rasa. Aku gak geer. Mereka sudah mengungkapkannya. Mereka memintaku lebih lama, paling tidak setahun hingga mereka naik kelas 3 nanti but I cant. Hari ini mereka mengelilingiku. Biasanya mereka akan istirahat sebelum bel istirahat berbunyi dan minta pulang sebelum bel pulang. Tapi hari ini mereka lebih lama denganku. Saat istirahat pun, mereka tidak keluar semuanya. Tetap saja ada murid yang mengelilingiku.
“bu, di ambon nanti ngapain? Ngajar juga?”, “bu, nanti ada perpisahannya gak?”, “bu,rumah ibu mana? Boleh gak maen sebelum ibu pulang nanti?”, pertanyaan model-model begitu yang terlontar. Tapi pertanyaan paling bikin aku bengong tuh pertanyaannya cholid, anak SKI itu, “kenapa pulang bu? Mo nikah ta bu? Nikah ya? nikah kan?”. Aku bengong karena males jawabnya, kok jadi maksa, penting gitu?
Anak-anakku (halah), kalian semua pasti bisa menjadi yang kalian inginkan. Kalian hanya terlalu takut saja untuk maju, cepatlah bermetamorfosis menjadi kalian yang lebih baik. I am proud of you. Indah rasanya bersama kalian untuk beberapa bulan terakhir ini. Aku belajar banyak dari kalian (gak nyadar ya?)
Label:
Cerita
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
hiks.. berat yah .. tetap semangat !! .. semester ini juga semester terakhir mpi >_<
ReplyDelete