Dia datang. Mengetuk pintu dan memberi salam. Tapi tak kuindahkan. Hingga akhirnya dia pergi. Saya memang sangat membutuhkannya sekarang tapi keinginanku memberinya pelajaran jauh lebih kuat dari rasa butuh itu. Bahkan kalau dipikir, dia yang butuh saya untuk melunasi janjinya. Bukannya janji adalah utang dan HUTANG HARUS DIBAYAR?
Selama ini saya tak terlalu peduLi dengan selentingan dan anggapan orang tentang dia, tentang sikapnya yang semena-mena tidak menghargai orang lain. Saya terganggu dengan cerita-cerita itu, kasihan dengan orang-orang yang sudah merasakannya secara langsung. Tidak habis pikir ada orang seperti itu di dunia ini. Payahnya orang itu ada di dekatku.
Tapi sebatas mendengarkan. Tak ingin rasanya masuk terlalu dalam. Toh, saya belum pernah melihat langsung. Toh, saya belum pernah diperlakukan seperti cerita-cerita mereka.
Tapi, oow, kali ini saya korbannya. Berkali-kali saya diperlakukan seperti itu. Masih kuanggap hanya perasaanku saja tapi setelah kejadian beberapa hari lalu, ternyata memang benar. Kedua tangannya mengangkat harga dirinya sedemikian tinggi sementara kedua kakinya menginjak harga diri orang lain. Mereka, ya, mereka, pasangan yang luar biasa berhasil sembunyi dari kemunafikan. Berteriak tentang kebenaran tapi aplikasinya begitu jauh. Jauh hingga saya tercengang sambil penuh tanda tanya “Bagaimana bisa mereka menjalani hidup dengan tenang dengan sikap seperti itu?”
Baiklah, itu urusan mereka sama Allah.
Saya, korban kali ini, merasa perlu memberi pelajaran.
Walaupun toh pada akhirnya saya tahu bahwa yang mengetuk tadi bukan salah satu dari pasangan “luar biasa” tadi, saya tetap menikmati perasaan menang yang sempat saya rasakan tadi walaupun ternyata semu.
Saya tak peduli lagi dengan segala omongan kalian. Karena perkataan orang yang bermuka dua tidak sepantasnya untuk didengarkan. Hanya membuang waktu saja. Segera kita selesaikan urusan kita dan menjauhlah. Karena sudah terlalu banyak hati yang kalian sakiti. Terlalu banyak orang yang kalian anggap rendah hanya karena kalian merasa “lebih”. Sungguh, karena sikap kalian itulah, “lebih” itu terlihat sebagai topeng saja untuk sebuah status sosial. Jika topeng itu sudah kalian lepas, bolehlah masuk kembali. Saya Kasihan sama Kalian...
HENTIKAN OMONG BESAR KALIAN.
AKU BENAR-BENAR MUAK DENGAN ORANG YANG TAK BISA MENGHARGAI ORANG LAIN. ORANG YANG SEENAKNYA MENGINJAK DAN MEMPERMAINKAN PERASAAN ORANG LAIN. MERASA DIRI LEBIH DI ATAS SEGALANYA.
SEGERA SAJA MENJAUH DARI KEHIDUPAN SAYA DAN KEHIDUPAN SIAPAPUN KARENA TIDAK ADA YANG SUKA DIPERLAKUKAN SEPERTI KALIAN MEMPERLAKUKAN ORANG-ORANG SELAMA INI.
SUDAH SESUCI ITUKAH KALIAN SEHINGGA MERASA BERHAK MENYANJUNG TINGGI DIRI DAN MERENDAHKAN SELAIN DIRI?
BAHKAN JIKA MEMANG SUCI PUN, TAK MUNGKIN MELAKUKAN HAL RENDAH SEPERTI ITU
AKU BICARA, KARENA SEKARANG AKU TAK CUMA MENDENGAR
SUDAH KUBUKTIKAN BAHWA MATA HATI KALIAN SUDAH BUTA
ATAU BAHKAN KALIAN TIDAK PUNYA HATI
CUKUP SUDAH…..
SADARLAH, KALIAN MASIH PUNYA HUTANG
sabar atuh neng,...btw syukron untuk tausyiahnya kemarin,salam u ikhwah di sana
ReplyDeletesabar atuh neng,...btw syukron untuk tausyiahnya kemarin,salam u ikhwah di sana
ReplyDelete