Thursday, December 28, 2006

Usai Seminar “How To Start A Job”

Membicarakan dunia kerja dengan dunia sekolah gak akan ada habis-habisnya. Sekolah, kita hanya mikir belajar. Hubungannya jelas dan terukur. Kalo kamu rajin belajar, IP kamu bagus, kalo tidak ya tidak. Dengan IP yang tidak bagus itu, kamu masih tetap aja lanjutin kuliah walaupun SKSnya gak banyak. Artinya, apa yang ada di genggaman kita berupa nilai atau IP jadi modal untuk semester berikutnya. Kuliahnya sendiri tetap jalan.

Dunia kerja? Tidak sesimple itu. Tidak ada indikator pasti bagaimana seseorang bisa tau dia bakal diterima atau tidak. Pertanyaannya kadang-kadang tidak lagi sesuai dengan idealisme kita semasa kuliah. Kompetensi? bolehlah kita berkoar-koar dan menulis panjang di lamaran pekerjaan. Tapi lantas, pertanyaan seperti “Punya kenalan gak?”, “Ada orang dalam?” dan pertanyaan memuakkan bernada sama lainnya jadi pematah harapan yang sudah dibangun dengan segala kompetensi.
Oke, mungkin memang gak punya orang dalam, maka rupiah pun kemudian bisa menjadikan siapapun sebagai orang dalam kita. Eneg banget. Orang yang cari kerja itu kan karena mo cari uang. Kenapa malah diporotin? Kapan sih kejujuran dan kefairan bisa ada di muka bumi Indonesia ini.

Belum lagi diskriminasi gender, diskriminasi usia, diskriminasi penampilan jadi satu lagi penghambat mimpi anak manusia yang ingin membuktikan dirinya. Trus apalagi tuh tadi si psikolog berkomentar dengan cara saya berpakaian? Yang tidak rapilah, yang tidak praktislah. Saya menghormati anda meskipun saya tahu anda islam tapi tidak berjilbab, maka anda seharusnya lebih bisa menghargai saya yang berusaha menjalankan perintah Tuhan kita, bukan hanya Tuhan saya. Maaf ya, saya tidak mencari ridho dari orang yang mewawancara atau yang menyeleksi, apalagi ridho, tetapi ridho Allah, dzat yang menciptakan saya juga anda juga orang yang nantinya akan meng-interview saya, yang saya cari. Toh rezeki itu milik Allah bukan punya mereka. Kalo memang pada akhirnya dengan cara berpakaian saya menjadi alasan tidak diterima, saya akan sangat senang sekali. Karena itu berarti saya tidak perlu bekerja dengan orang yang berpikiran sempit dan kolot. Justru saya turut berduka cita dengan keadaan mereka yang menyedihkan yang menilai kemampuan otak hanya dari penampilan luar. Saya berani diuji dengan mereka yang berpenampilan jauh lebih menarik dan seksi, asalkan kompetisinya fair, benar2 menilai inteligensi, saya berani. Selamat datanglah kebodohan….

Belum lagi persaingan yang tidak fair. Masuk kantor dan menyibukkan diri dengan membicarakan rekan yang lebih bersinar, lebih baik hasil pekerjaannya tapi disangka karena ada “apa-apanya” bukan karena keahliannya. Kasihan amat ya. Menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak penting, tidak mutu.

Alhamdulillah saat ini saya berkecimpung di dunia pendidikan. Proses yang saya ikuti tidak sama sekali menyinggung bagaimana cara saya berpakaian. Dunia pendidikan yang begitu fair melihat bahwa penampilan tidak akan mempengaruhi kemampuan saya mentransfer ilmu. Saat itu, saya hanya diberitahu bahwa pada Senin sampe Jumat memakai Seragam abu-abu. Dan ketika kainnya diberi, saya diperbolehkan menjahitnya dengan model jubah, tidak putusan pun tak apa. Fair, really fair.

Belum lagi persaingannya, persaingan yang fair. Berlomba-lomba membuat yang terbaik dan menghasilkan yang terbaik di bengkelnya dan untuk meweujudkannya tetap saja bekerjasama dengan bengkel yang lain. Persaingan yang saling mendukung sehingga menjadi baik bersama. Percepatan karier diberikan karena persaingan inteligensi dan pengembangan kemampuan diri, bukan karena permainan. Saya tidak membahas masalah manajemen di Dunia Pendidikan. Mungkin di luar sana, masih ada yang bilang, sekolah itu mahal, beli buku ini beli buku itu bla bla bla. Saya tidak berkomentar karena saya tidak tahu menahu yang terjadi di ruang depan sana. Yang saya tahu, bagaimana proses belajar mengajar di kelas berjalan lancar. bagaimana pula hubungan saya dengan rekan2 guru yang lain memberikan manfaat bagi saya juga bagi murid-murid saya. Kami saling berbagi ilmu, saling melengkapi untuk menghasilkan dan memberikan yang terbaik.
Di Kantor, bisa gak seperti itu?

Tapi saya percaya masih ada kantor yang fair menilai inteligensi daripada penampilan. Saya membuktikannya saat KP di salah satu perusahaan telekomonikasi di Surabaya tahun 2003 lalu. Banyak pegawainya berjilbab lebar, musholanya ramai dengan kegiatan bahkan halaqoh terbentuk di setiap unitnya. Dhuhur selalu dipenuhi jamaah. Para ustadz didatangkan secara bergantian untuk memberi tausiyah. Ustadz Sholeh Drehem dan Ustadz Roem Rowi mendapat hari khusus setiap minggunya untuk menyampaikan tausiyahnya. Luar biasa…

Dunia kerja seperti itu yang saya inginkan. Kalaupun toh nanti saya ditempatkan oleh Allah di lingkungan kerja yang tidak kondusif, penuh rekayasa, tikam sana tikam sini, maka prinsip yang harus dijalankan adalah “Jadilah ikan di tengah lautan. Tidak perlu ikut2an asin meskipun airnya asin”, atau “Meleburlah tapi jangan ikut lebur”.
Bahkan kepulangan saya nanti ke Ambon, lingkungan kerja yang insyaAllah akan saya tempati, Alhamdulillah saya yakin bisa terbuka, fair dan tidak mempermasalahkan hal-hal seperti ini. Selama saya dan anda mau berkembang, selama saya dan anda tebuka dengan perubahan, selama saya dan anda punya kompetensi untuk bekerja di bidang yang kita akan geluti, maka saya dan anda layak mendapatkan pekerjaan itu. Karena saya dan anda harus dinilai dari kemampuan kita bukan dari penampilan kita. Itulah kemerdekaan yang sebenarnya
------------------------------------------------------------------------------------
Barusan nganterin kak Lely pulang ke Ambon naik kapal. Setelah sekian lama, ritual ke pelabuhan saya lakukan lagi. Malam ini, kita makan nasi goreng, ingatanku ke kak Lely. Sedang apa ya di kapal sekarang? Ini pertama kali dia naik kapal, sendirian pula.
2 minggu Kak Lely di Surabaya, suka banget sama nasi goreng buatannya bapak depan UPB itu. Kangen, cerianya, cerewetnya, lucunya, kebiasaan-kebiasaannya. Hati2 ya Kak. Salam kangen kami untuk seluruh keluarga disana

No comments:

Post a Comment