Dia terluka, jatuh terhempas
Katanya, seperti jatuh dari gedung berlantai 250
dan dia ada di lantai teratas itu
Begitu tubuhnya sampai tanah,
Gedung itu ambruk menimpa tubuhnya
Maka serupa raganya yang hancur
Jiwanya pun ikut mati
Katanya, ia tak lagi bisa merasakan sakitnya
Katanya, ia tak peduli lagi apa setelah ini
Katanya, ia pasrah
Dan ia bertanya, apakah ia benar?
Bangunan di taman hatinya hancur
Itu sebabnya ia menangis
Tapi ia melihat di depannya ada yang lebih hancur
Lalu kenapa justru orang itu yang menggenggam tangannya mengalirkan kekuatan?
Bukankah orang itu lebih terluka?
Bukankah manusia itu yang bergetar hebat hatinya karena rasa sakit
Lalu, kenapa manusia itu malah mengkhawatirkan perasaannya
Sungguh, manusia itu adalah manusia cahaya
Yang ketegarannya mampu melenyapkan semua gundah, begitu katanya
Dan ia pun bilang : "Saya memang melihat matanya menangis. Tapi saya juga melihat percik cahaya di matanya. Dan percikan itu berujar, "aku akan melanjutkan hidup untuk anak-anakku""
Ia pun meneguhkan hatinya
Ia tak akan membiarkan air matanya jatuh lagi
Manusia cahaya telah mengilhaminya untuk tegar
Manusia itu berkata dengan pandangannya yang lembut
Bahwa dunia tak berhenti berputar
Manusia cahaya itu yang hatinya porak poranda
Maka jika manusia cahaya itu sudah menemukan cara membalut kembali hati,
Ia bilang, ia akan membersamai manusia cahaya itu
Ia bilang, ia tak akan menangis lagi
Agar manusia cahaya itu tak lagi mengkhawatirkan dirinya
Dan aku hanya bisa mendengar semua catatan hati dia dan manusia cahaya itu
Bahuku luas menadah kepala mereka jika ingin bersandar
Telingaku lapang untuk mendengar mereka bertutur
Tanganku tak lelah menyeka air mata mereka
Dan lisanku hanya bisa berucap,
"Allah adalah sumber ketenangan.
Gelarkanlah sajadah, tumpahkanlah semuanya di tiap jengkal sajadah.
Allah akan memeluk aku, dia dan manusia cahaya itu"
Saturday, January 19, 2008
Ustadz Cahaya, Penabur Cinta
Teman perjalanan paling setia bagiku adalah buku. Dan perjalanan balik hari ini ke Piru, aku sibuk dengan menentukan buku mana yang dibawa. Sebenarnya pengen ambil buku Risalah Pergerakan tapi berhubung cuaca lagi gak bagus, ombak dan juga angin, aku memutuskan ambil bacaan yang gak terlalu serius supaya perjalananku yang sepertinya nanti bakal dibuat tegang oleh cuaca, tidak perlu ditegangkan lagi dengan beratnya bacaan. Pilihan pun jatuh pada buku yang kubeli pertengahan 2005 lalu. Buku yang ditulis oleh Helvy Tiana Rosa, dkk tentang kenangan bersama KH. Rahmat Abdullah. Buku itu berjudul EPISODE CINTA SANG MURABBI.
Mulailah buku itu saya baca saat feri Samandar di pagi hari bertolak dari Hunimua. Dan efek buku itu ternyata lebih luar biasa dari yang saya kira sebelumnya. Perasaan berkecamuk, merinding, haru, bersyukur pernah tahu ada Ustadz sekaliber almarhum menjalar menjadi satu saat membaca satu persatu rangakain kenangan tentang beliau. Seluruh sisi kehidupan beliau adalah kebaikan yang berkilau. Cerita-cerita kebaikan Almarhum menjelma menjadi satu kumpulan jutaan burung yang beterbangan ke langit ketrujuh sebagai saksi. Nyaris tak ada langkahnya yang bukan dakwah
Kalau saat ini, saya posting tulisan tentang beliau, itu sama sekali tidak bermaksud mengingatkan kesedihan yang sama-sama kita rasakan Juni 2005 lalu. Saya hanya ingin mengambil hikmah tentang bagaimana kita ingin dikenang nanti saat kita telah tiada.
Ada kalimat yang begitu mengilhamiku, bahwa jika kita ingin merancang bagaimana kehidupan kita mau kita jalani, tetapkan dulu ingin seperti apa kita dikenang. Apa yang kita inginkan orang-orang bicara tentang kita di hari pemakaman kita. Kalau kita sudah tahu jawabannya, barulah kita bisa memilih, hidup seperti apa yang ingin kita jalani.
Almarhum menjadi contoh kenangan yang indah, yang selalu berupa kenangan baik dari setiap orang yang pernah berinteraksi dengannya. Bahkan aku. Aku tak pernah bertemu beliau. Tak pernah mendengar suaranya. Aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisan ajaib di kolom Assasiyat majalah Tarbawi. Di sebuah pengajian di teras masjid kampus, mbak I yang mengisi pengajian kami saat itu pernah bilang "Ustadz Rahmat itu, gak usah dengar suaranya. Liat beliau saja, liat wajahnya saja, hati ini sudah sangat tersejukkan. Itulah karena kedekatan beliau dengan Rabb.".
Sejak dengar mbak I bilang begitu, aku berjanji dalam hati bahwa suatu saat kalau Ustadz datang ke Surabaya, aku wajib menemuinya sekedar melihat teduh wajahnya dan mendengar untaian hikmah dari lisannya. Kesempatan itu pernah datang. Di kontrakan Ruhul Jaddid, aku dan teman2 KAMMI Komsat ITS syuro mempersiapkan berdirinya JARSAT ARH. Di dinding depan, saya lihat sebuah pamflet sebuah acara yang digelar KAMMI Komsat UNAIR dan menghadirkan beliau sebagai salah satu narasumber. Pamflet itu sudah ditempel 2 bulan sebelum hari H dan hari itu sudah kulingkari di agenda.
Namun, manusia hanya bisa berencana. Hari H, aku lupa kenapa, aku justru tak bisa datang. Hingga beliau pergi, aku tak pernah bersua, meski hati rasanya tak berjarak.
Selasa 14 Juni 2005. Sore itu, jadwalku berkumpul rutin dengan kelompok tarbiyahku. Saat itu, setelah materi utama dari mbak, kami sempat menyebut nama beliau. Buku tulisan beliau yang rencananya akan kami bedah. Maghrib berjamaah menjadi jadwal penutup. Sesampai di rumah, belum lama, sms dari mbak mengejutkanku. Bahwa Ustadz sudah berpulang maghrib tadi. Aku merinding, seperti ada yang tercerabut dari akar hati. Seperti ada ruang yang hampa.
teringat beberapa pesan beliau dalam berbagai media :
@ Allah SWT akan senantiasa menguji antum di titik terlemah antum. Maka perbaikilah segala kelemahan-kelemahan kita di jalan dakwah ini.
@ Tidak ada lagi waktu bagi kita untuk beristirahat. Tugas dakwah kita terlalu banyak. Jika engkau ingin istirahat wahai pemuda, nanti...ketika engkau langkahkan kakimu ke surga. (ini kupakai sebagai judul blog, karena kalimat ini begitu dalam mengilhamiku. Banyak kalimat2 bagus, tapi efeknya tak sedahsyat ini sampai tak pernah tergoda mengganti. Seperti ada yang menyetrum dan berteriak "Hei, kenapa kau hanya duduk disini sementara kalimat Allah belum tegak di atas bumi, Palestinamu masih terjajah, kebatilan masih tertawa, dan kau sudah beristirahat?" setiap membacanya )
@ Jadilah orang yang merdeka. Yang bersuara tatkala diinjak-injak. Yang mengatakan sejujurnya bahwa yang salah itu salah. Yang mengatakan kebenaran dengan sesungguhnya,
Mungkin saat ini beliau sedang bercanda bersama Rasulullah, Tolong sampaikan pada baginda Rasul, di bumi ini masih ada dakwah.
nb : Tulisan ini dibuat 3 Jan 2008, dan baru diposting sekarang saat masih tersentak dengan berita duka di milis yang memberi kabar kepergian Akhina Supra. Semoga jiwa mujahidnya mengalirkan semangat yang sama bagi kami.
Kawan, giliran kita akan tiba. Itu kepastian. Persiapkanlah dengan indah
Tujuh awan bersuka ria, sambut ruh suci menghadap Rabb-nya.
Sahabat, nantikan hadir kami. Kan menyusulmu sebentar lagi (Untukmu Syuhada-IZIS)
Mulailah buku itu saya baca saat feri Samandar di pagi hari bertolak dari Hunimua. Dan efek buku itu ternyata lebih luar biasa dari yang saya kira sebelumnya. Perasaan berkecamuk, merinding, haru, bersyukur pernah tahu ada Ustadz sekaliber almarhum menjalar menjadi satu saat membaca satu persatu rangakain kenangan tentang beliau. Seluruh sisi kehidupan beliau adalah kebaikan yang berkilau. Cerita-cerita kebaikan Almarhum menjelma menjadi satu kumpulan jutaan burung yang beterbangan ke langit ketrujuh sebagai saksi. Nyaris tak ada langkahnya yang bukan dakwah
Kalau saat ini, saya posting tulisan tentang beliau, itu sama sekali tidak bermaksud mengingatkan kesedihan yang sama-sama kita rasakan Juni 2005 lalu. Saya hanya ingin mengambil hikmah tentang bagaimana kita ingin dikenang nanti saat kita telah tiada.
Ada kalimat yang begitu mengilhamiku, bahwa jika kita ingin merancang bagaimana kehidupan kita mau kita jalani, tetapkan dulu ingin seperti apa kita dikenang. Apa yang kita inginkan orang-orang bicara tentang kita di hari pemakaman kita. Kalau kita sudah tahu jawabannya, barulah kita bisa memilih, hidup seperti apa yang ingin kita jalani.
Almarhum menjadi contoh kenangan yang indah, yang selalu berupa kenangan baik dari setiap orang yang pernah berinteraksi dengannya. Bahkan aku. Aku tak pernah bertemu beliau. Tak pernah mendengar suaranya. Aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisan ajaib di kolom Assasiyat majalah Tarbawi. Di sebuah pengajian di teras masjid kampus, mbak I yang mengisi pengajian kami saat itu pernah bilang "Ustadz Rahmat itu, gak usah dengar suaranya. Liat beliau saja, liat wajahnya saja, hati ini sudah sangat tersejukkan. Itulah karena kedekatan beliau dengan Rabb.".
Sejak dengar mbak I bilang begitu, aku berjanji dalam hati bahwa suatu saat kalau Ustadz datang ke Surabaya, aku wajib menemuinya sekedar melihat teduh wajahnya dan mendengar untaian hikmah dari lisannya. Kesempatan itu pernah datang. Di kontrakan Ruhul Jaddid, aku dan teman2 KAMMI Komsat ITS syuro mempersiapkan berdirinya JARSAT ARH. Di dinding depan, saya lihat sebuah pamflet sebuah acara yang digelar KAMMI Komsat UNAIR dan menghadirkan beliau sebagai salah satu narasumber. Pamflet itu sudah ditempel 2 bulan sebelum hari H dan hari itu sudah kulingkari di agenda.
Namun, manusia hanya bisa berencana. Hari H, aku lupa kenapa, aku justru tak bisa datang. Hingga beliau pergi, aku tak pernah bersua, meski hati rasanya tak berjarak.
Selasa 14 Juni 2005. Sore itu, jadwalku berkumpul rutin dengan kelompok tarbiyahku. Saat itu, setelah materi utama dari mbak, kami sempat menyebut nama beliau. Buku tulisan beliau yang rencananya akan kami bedah. Maghrib berjamaah menjadi jadwal penutup. Sesampai di rumah, belum lama, sms dari mbak mengejutkanku. Bahwa Ustadz sudah berpulang maghrib tadi. Aku merinding, seperti ada yang tercerabut dari akar hati. Seperti ada ruang yang hampa.
teringat beberapa pesan beliau dalam berbagai media :
@ Allah SWT akan senantiasa menguji antum di titik terlemah antum. Maka perbaikilah segala kelemahan-kelemahan kita di jalan dakwah ini.
@ Tidak ada lagi waktu bagi kita untuk beristirahat. Tugas dakwah kita terlalu banyak. Jika engkau ingin istirahat wahai pemuda, nanti...ketika engkau langkahkan kakimu ke surga. (ini kupakai sebagai judul blog, karena kalimat ini begitu dalam mengilhamiku. Banyak kalimat2 bagus, tapi efeknya tak sedahsyat ini sampai tak pernah tergoda mengganti. Seperti ada yang menyetrum dan berteriak "Hei, kenapa kau hanya duduk disini sementara kalimat Allah belum tegak di atas bumi, Palestinamu masih terjajah, kebatilan masih tertawa, dan kau sudah beristirahat?" setiap membacanya )
@ Jadilah orang yang merdeka. Yang bersuara tatkala diinjak-injak. Yang mengatakan sejujurnya bahwa yang salah itu salah. Yang mengatakan kebenaran dengan sesungguhnya,
Mungkin saat ini beliau sedang bercanda bersama Rasulullah, Tolong sampaikan pada baginda Rasul, di bumi ini masih ada dakwah.
nb : Tulisan ini dibuat 3 Jan 2008, dan baru diposting sekarang saat masih tersentak dengan berita duka di milis yang memberi kabar kepergian Akhina Supra. Semoga jiwa mujahidnya mengalirkan semangat yang sama bagi kami.
Kawan, giliran kita akan tiba. Itu kepastian. Persiapkanlah dengan indah
Tujuh awan bersuka ria, sambut ruh suci menghadap Rabb-nya.
Sahabat, nantikan hadir kami. Kan menyusulmu sebentar lagi (Untukmu Syuhada-IZIS)
Tuesday, January 01, 2008
Kaleidoskop 2007
Kalo besok sudah tanggal 1, sebenarnya sih nothing special. Kata dek Eya, toh tiap bulan juga ada tanggal 1nya kan? Ya sih, makanya itu pula waktu diajak malam nanti ikut keliling kota sambut pergantian tahun, saya sih milih di rumah. Nonton teve, baca buku, ngemil, makan plus nemenin ibu yang juga di rumah (Papa, Caca dan dek Unhy pada buat acara sendiri-sendiri).
Cuman, saya sih pengen flashback aja setahun ini sudah ngapain sih? Dulu emang gak ada resolusi 2007, makanya gak bisa diukur keberhasilannya lewati tahun ini. Hanya mau berkaca, waktuku terbuang percuma gak sih? atau ada yang aku hasilkan? Minimal, hikmah apa sih sepanjang tahun ini yang bisa kutangkap.
Start dari Januari.
Ini salah satu bulan yang berat. Di bulan ini, satu goal tercipta diiringi rasa syukur yang tak henti. Pula, finaly aku memutuskan meninggalkan semua kesenangan di perantauan. Cerita perpisahan mewarnai bulan ini. Waktu harus berpisah dengan teman2 kuliah sesama pejuang skripsi, murid-muridku di STM serta rekan2 guru yang baru satu semester bertemu tapi sudah begitu dekat, 2 kelompok binaanku yang dari mereka justru aku belajar banyak, berpisah dengan lingkar cintaku sendiri yang telah banyak merangkai kisah bersama. Perpisahan dengan KMBI yang telah menjadi tempat aku memulai langkah sebagai aku yang baru, juga kost mungil tempatku menemukan
keluarga baru. Maka segala kenangan lalu dibungkus untuk dibawa pulang bersama.
Februari
Setelah meninggalkan kenangan untuk menjemput masa depan, maka disinilah saya. Di tanah kelahiran tercinta. Bulan ini bulan pemenuhan ruangan kosong yang selama ini jarang terisi, kunjungi keluarga. Masih mencoba beradaptasi dengan lingkungan yang telah sekian lama kutinggalkan plus bersilaturrahmi kemana-mana.
Maretnya
Belum ngapa-ngapain. Masih saja mencari kesesuaian dengan lingkungan sekarang. Masih saja menikmati hari-hari tanpa kuliah, syuro dan ngajar. Hanya baca baca dan baca plus program penggemukan badan. Sampe akhirnya pada akhir bulan ini, saya ke SBB memenuhi panggilan ikut dalam barisan membangun negeri.
Trus April
Masa-masa adaptasi dengan lingkungan pekerjaan. Shocking, but try hard to survive.
Lantas Mei
4 bulan setelah kembali, di bulan ini rindu kenangan memuncak. Pulsa HP bulan ini membengkak karena telepon plus sms kemana-mana sekedar memastikan tak ada yang melupakanku, hiks
Lalu Juni
Rindu untuk kembali bergerak, menekuni hari-hari penuh kedinamisan. Agar hidup kembali lebih hidup.
Julinya
Bulan ke-tujuh ini salah satu bulan yang berat. Penuh cobaan, tapi di bulan ini aku jadi tahu dengan pasti, betapa ada begitu banyak orang yang menyayangiku, yang mendampingiku saat aku jatuh dan terpuruk. Mereka ada dan tak pergi. Mereka meraihku dan membantuku berdiri. Sejak itu, aku tahu aku telah begitu terberkati oleh Allah karena diberi manusia-manusia penuh cinta itu untukku.
Kemudian Agustus
1. Ega keterima SPMB di fakultas impiannya
2. Dapat panggilan tes dari salah satu perusahaan terkemuka
3. Kantor rolling staf, jadi sekarang sudah di bidang yang ruangannya di tengah bagian depan.
4. Ibuku ujian sarjana dan LULUS. Love you, mommy
September Ceria
1. Remas PIRU terbentuk
2. Ramadhan luar biasa
Oktober datang
Setelah datang panggilan psikotes, lantas wawancara, maka saat mengambil keputusan pun tiba. Antara mengikuti idealisme atau mengikuti hati nurani. Dan hati nurani-lah yang jelas menang. Lalu ramadhan hampir usai dan Lebaran rame (semuanya kumpul lengkap) plus syahdu pun tiba. Dan ditutup dengan berita duka, salah satu bibiku meninggal. Terakhir, ia masih sempat menyuguhkan es kacang saat aku ber-ramadhan di Luhu. Miss you, ma Enga. Semoga jadi pelajaran untuk kami yang masih hidup bahwa akan tiba saatnya.
November lalala
Bulan ini bulan yang rame. Dimulai dari Eya yang wisuda. Sayang saya belum bisa ke Surabaya pas itu karena kerjaan masih numpuk. Di Lingkungan kantor, kita semua sudah punya atasan yang definitif paca pelantikan. Trus juga kisah sedih dibalik ketegangan efek trauma kerusuhan 1998 kejadian lagi dan ditutup dengan indah di kota Surabaya pada akhir bulan mengunjungi KMBI-ku tercinta (UKMBI, red)
Desember (tidak) kelabu
Bulan ini banyak peristiwa yang menjadi pegangan. Apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dirasa dan apa yang diperbuat semakin memantapkan langkahku. Telah kutemukan kemana aku ingin mengayunkan langkah, dimana aku akan menunjukkan eksistensi diriku. Puzzle raksasa yang tadinya gelap, kini sudah mulai terlihat meski samar.
Meski begitu, ada bagian kelabunya. Suami dari guru ngajiku meninggal. Papa Zen, semoga arwahmu diterima Allah. Beliau yang tak penah sakit flu sejak masuk Islam (mantan pendeta) karena cara berwudhu-nya yang luar biasa. Terimakasih telah menemani mama Em (Guru ngajiku) selama hidupnya, dan setelah mama Em sudah tiada pun, engkau masih tetap memberikan senyum pada kami jika kami ingin bertemu denganmu sembari mengenang
mama Em tercinta. Aku rindu kalian berdua, peletak batu kedua (setelah ortu) perkenalanku dengan Allah dan Islam. Terimakasih, hanya Allah yang mampu membalas
Catatan :
1. Temukan lautan tarbiyahmu lagi dan berenanglah
2. Amanah di DPD itu, bersiaplah
Cuman, saya sih pengen flashback aja setahun ini sudah ngapain sih? Dulu emang gak ada resolusi 2007, makanya gak bisa diukur keberhasilannya lewati tahun ini. Hanya mau berkaca, waktuku terbuang percuma gak sih? atau ada yang aku hasilkan? Minimal, hikmah apa sih sepanjang tahun ini yang bisa kutangkap.
Start dari Januari.
Ini salah satu bulan yang berat. Di bulan ini, satu goal tercipta diiringi rasa syukur yang tak henti. Pula, finaly aku memutuskan meninggalkan semua kesenangan di perantauan. Cerita perpisahan mewarnai bulan ini. Waktu harus berpisah dengan teman2 kuliah sesama pejuang skripsi, murid-muridku di STM serta rekan2 guru yang baru satu semester bertemu tapi sudah begitu dekat, 2 kelompok binaanku yang dari mereka justru aku belajar banyak, berpisah dengan lingkar cintaku sendiri yang telah banyak merangkai kisah bersama. Perpisahan dengan KMBI yang telah menjadi tempat aku memulai langkah sebagai aku yang baru, juga kost mungil tempatku menemukan
keluarga baru. Maka segala kenangan lalu dibungkus untuk dibawa pulang bersama.
Februari
Setelah meninggalkan kenangan untuk menjemput masa depan, maka disinilah saya. Di tanah kelahiran tercinta. Bulan ini bulan pemenuhan ruangan kosong yang selama ini jarang terisi, kunjungi keluarga. Masih mencoba beradaptasi dengan lingkungan yang telah sekian lama kutinggalkan plus bersilaturrahmi kemana-mana.
Maretnya
Belum ngapa-ngapain. Masih saja mencari kesesuaian dengan lingkungan sekarang. Masih saja menikmati hari-hari tanpa kuliah, syuro dan ngajar. Hanya baca baca dan baca plus program penggemukan badan. Sampe akhirnya pada akhir bulan ini, saya ke SBB memenuhi panggilan ikut dalam barisan membangun negeri.
Trus April
Masa-masa adaptasi dengan lingkungan pekerjaan. Shocking, but try hard to survive.
Lantas Mei
4 bulan setelah kembali, di bulan ini rindu kenangan memuncak. Pulsa HP bulan ini membengkak karena telepon plus sms kemana-mana sekedar memastikan tak ada yang melupakanku, hiks
Lalu Juni
Rindu untuk kembali bergerak, menekuni hari-hari penuh kedinamisan. Agar hidup kembali lebih hidup.
Julinya
Bulan ke-tujuh ini salah satu bulan yang berat. Penuh cobaan, tapi di bulan ini aku jadi tahu dengan pasti, betapa ada begitu banyak orang yang menyayangiku, yang mendampingiku saat aku jatuh dan terpuruk. Mereka ada dan tak pergi. Mereka meraihku dan membantuku berdiri. Sejak itu, aku tahu aku telah begitu terberkati oleh Allah karena diberi manusia-manusia penuh cinta itu untukku.
Kemudian Agustus
1. Ega keterima SPMB di fakultas impiannya
2. Dapat panggilan tes dari salah satu perusahaan terkemuka
3. Kantor rolling staf, jadi sekarang sudah di bidang yang ruangannya di tengah bagian depan.
4. Ibuku ujian sarjana dan LULUS. Love you, mommy
September Ceria
1. Remas PIRU terbentuk
2. Ramadhan luar biasa
Oktober datang
Setelah datang panggilan psikotes, lantas wawancara, maka saat mengambil keputusan pun tiba. Antara mengikuti idealisme atau mengikuti hati nurani. Dan hati nurani-lah yang jelas menang. Lalu ramadhan hampir usai dan Lebaran rame (semuanya kumpul lengkap) plus syahdu pun tiba. Dan ditutup dengan berita duka, salah satu bibiku meninggal. Terakhir, ia masih sempat menyuguhkan es kacang saat aku ber-ramadhan di Luhu. Miss you, ma Enga. Semoga jadi pelajaran untuk kami yang masih hidup bahwa akan tiba saatnya.
November lalala
Bulan ini bulan yang rame. Dimulai dari Eya yang wisuda. Sayang saya belum bisa ke Surabaya pas itu karena kerjaan masih numpuk. Di Lingkungan kantor, kita semua sudah punya atasan yang definitif paca pelantikan. Trus juga kisah sedih dibalik ketegangan efek trauma kerusuhan 1998 kejadian lagi dan ditutup dengan indah di kota Surabaya pada akhir bulan mengunjungi KMBI-ku tercinta (UKMBI, red)
Desember (tidak) kelabu
Bulan ini banyak peristiwa yang menjadi pegangan. Apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dirasa dan apa yang diperbuat semakin memantapkan langkahku. Telah kutemukan kemana aku ingin mengayunkan langkah, dimana aku akan menunjukkan eksistensi diriku. Puzzle raksasa yang tadinya gelap, kini sudah mulai terlihat meski samar.
Meski begitu, ada bagian kelabunya. Suami dari guru ngajiku meninggal. Papa Zen, semoga arwahmu diterima Allah. Beliau yang tak penah sakit flu sejak masuk Islam (mantan pendeta) karena cara berwudhu-nya yang luar biasa. Terimakasih telah menemani mama Em (Guru ngajiku) selama hidupnya, dan setelah mama Em sudah tiada pun, engkau masih tetap memberikan senyum pada kami jika kami ingin bertemu denganmu sembari mengenang
mama Em tercinta. Aku rindu kalian berdua, peletak batu kedua (setelah ortu) perkenalanku dengan Allah dan Islam. Terimakasih, hanya Allah yang mampu membalas
Catatan :
1. Temukan lautan tarbiyahmu lagi dan berenanglah
2. Amanah di DPD itu, bersiaplah
Subscribe to:
Posts (Atom)