Tahukah kau sobat?
Arasy kembali berguncang.
Tempat suci itu bergetar hebat mendengar suara perkasa seorang hamba
Suara teguhnya yang siap mengambil alih dirimu
Ya.. dirimu sobat
Yang telah dijemput dengan gagah oleh seorang pangeran
Tentu itu tak main-main bukan?
Getaran arasy pastilah sampai ke hatimu
Juga hatinya yang menggenggam tangan ayahmu
Siap mengambil alih tanggungjawab menjagamu dari seorang ayah
Seorang yang telah merelakan setiap aliran darah dan nafas untukmu selama ini
Tahukah pula kau sobat?
Sejak hari itu, kau tak lagi sendiri
Genaplah sudah sayapmu
Kau pun siap terbang tinggi, lebih tinggi dari yang selama ini kau arungi
Sobat,
Jika pun kau tak tahu itu,
Dan baru kau sadari saat ini
Aku yakin , ada satu hal yang kau tahu
Bahwa aku, disini, menemanimu dalam doa
Agar ketika kau terbang mengangkasa
Kau tetap tunduk pada Allah
Agar perjalanan yang sudah kau mulai bersamanya ini
Selalu Allah yang kalian jadikan tujuan
Sahabatku,
Doaku terangkai indah
Semoga rumah cinta kalian selalu diselimuti keberkahan
Nb : Buat Santje dan Iwan di bumi Ambon di 18 Oktober 2008. Wan, jaga Santje-ku baik-baik ya
Monday, October 20, 2008
Saturday, October 18, 2008
Persembahan Cintaku untuk Santje dan Iwan
Say, langkahmu kini tak lagi sendiri. Disampingmu telah berdiri seorang pria yang siap melakukan apapun agar kau bahagia. Telah ada seorang pria yang kudengar sendiri dengan lantangnya berakad menganbil tanggungjawab akan dirimu dari papa.
Say,
Melihatmu dengan balutan putih yang elegan dan suci tadi, sulit kujelaskan dengan kata-kata kebahagiaanku. Begitu cepatnya waktu berlalu. Sepertinya baru kemarin kita berlari-lari di sekolah saat jam istirahat tiba. Baru kemarin kau mengibarkan bendera dan aku protokolnya. Baru kemarin kita pergi les bareng hampir tiap hari. Masa-masa SD yang indah.
Persahabatan yang tak bisa dibilang sederhana ini semakin lengkap karena kehadiran suamimu sekarang. Dia yang sejak awal telah begitu mengerti arti setiap kita bagi yang lainnya. Semoga kehadirannya membuat warna persaudaraan kita semakin indah.
Sayangku,
Aku tak punya khutbah pernikahan, tak punya pula pesan untuk kalian bagaimana supaya tetap bahagia. Aku hanya punya doa. Aku hanya punya harap yang begitu besar bahwa selamanya akan selalu kulihat senyum di wajahmu. Selamanya hanya bahasa bahagia yang terangkai dari bicaramu. Selamanya hanya pancaran kilat penuh cinta yang kulihat dari indah sinar matamu.
San dan Iwan,
Pernikahan tidak cuma sampai di sini, sobat. Ada banyak pekerjaan dan tugas yang menanti. Bukan sekedar merapihkan rumah kembali dari sampah-sampah pesta pernikahan, karena itu mungkin sudah dikerjakan oleh panitia. Bukan menata letak perabotan rumah tangga, bukan juga kembali ke kantor atau beraktifitas rutin karena masa cuti habis.
Tapi ada hal yang lebih penting, menyadari sepenuhnya hakikat dan makna pernikahan. Bahwa pernikahan bukan seperti 'rumah kost' atau 'hotel'. Di mana penghuninya datang dan pergi tanpa jelas kapan kembali. Tapi lebih dari itu, pernikahan merupakan tempat dua jiwa yang menyelaraskan warna-warni dalam diri dua insan untuk menciptakan warna yang satu: warna keluarga.
Say,
Harapanku yang terbesar adalah tetaplah menjadi sahabat yang baik bagiku dan Lia. Karena itu sangat berharga. Melangkahlah sayang, tapaki jalan yang terbentang di hadapanmu sekarang. Jalan yang bukan hanya ditaburi mawar merah dan ditemani kicauan burung. Tapi adalah sebuah jalan yang juga banyak ditaburi kerikil kecil yang seringkali menjadi penyebab tersandung. Jalan yang sejuta rasa bercampur di dalamnya. Bahagia, senang, tawa, senyum, tapi juga ada sedih, air mata, kecewa, marah, gelisah. Bingkai ia dengan ketaatan pada Rabb. Kau akan semakin kuat dan cinta akan menjadi obatnya.
Tak ada yang bisa kuberikan. Hanya sejumput doa agar kau bahagia selamanya. Impian yang besar dari seorang sahabat yang memiliki cinta sederhana ini. Dan kepada Iwan, aku ingin meminta kembali satu hal yang sudah kusampaikan di pelaminan tadi, titip san ya, buat dia bahagia. Entah bagaimana caranya, buat dia bahagia. Terimakasih telah memilih sahabatku sebagai pendampingmu. Dia yang terbaik.
San, bersabarlah saat kurang, bersyukurlah saat berlebih. Suamimu bukan malaikat. Ia hanyalah lelaki biasa yang mencoba menjadi malaikat setidaknya untukmu. Berbaktilah dengan bakti terbaik yang bisa kau berikan.
Iwan, istrimu bukan malaikat. Ia hanyalah wanita biasa yang mencoba menjadi malaikat setidaknya untukmu. Luruskan kala bengkok, tapi jangan kau patahkan.
Ambon, 18 Oktober 2008
Sebuah harap bagi Santje dan Iwan yang telah mengambil sebuah langkah besar. Wish you happy ever after.
gambar dari : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqB7NhJucRLjwHo6PW3IMrqmQW7al31zCf3fybhyphenhyphenCNQlnq6i1sOdIIhbAMAPLxrXb5pEoEIr7Bxgg7PsEBkYfxFVTMU9JubqhZ4wnr5kUYniZ5JTnf-hfBTM09BOx3Q3e52AUi/s320/wedding.jpg (dra, ngikut nih)
Saturday, October 11, 2008
Ketika Takdir Bicara
Kehilangan orang-orang yang kita cintai dalam sekejap pastilah terasa sangat menyakitkan. Ketika beberapa jam sebelumnya, kita masih bisa menikmati tawa riang anak-anak kita.bocah-bocah lucu yang pada dirinya telah tertanam sejuta harapan untuknya dalam benak kita. Putra-putri yang padanyalah hidup kita terarah. Lalu tiba-tiba dalam hitungan menit, ia pergi dan tak akan kembali. Dengan cara yang tak biasa pula.
Lalu, apa pula rasaya ketika kita baru saja menikmati senyuman tulus pasangan kita. Melihat riang di matanya dan terpana kagum melihatya ceria menggendong buah cinta. Masih sempat bercerita tentang mimpi-mimpi yang ingin kita rajut bersama. Lalu selang beberapa saat kemudian, pasangan hidup kita mengalami musibah dan harus terbaring lemah di Rumah Sakit tanpa tahu kapan bisa keluar.
Aku memang belum punya pasangan, apatah lagi punya anak. Tapi kecamuk yang dirasakan oleh senior di kantor kini, jelas ikut menusuk batin terdalamku. Kecelakaan mobil Piru – Ambon seminggu lalu jelas menyisakan kekosongan yang mendalam di runag hati. Kehilangan dua orang anak seketika setelah sejam yang lalu masih bersama di feri sungguh sesuatu yang tak ada seorang pun bisa membayangkan. Dan pikirannya kini tercurah pada kondisi kesehatan sang istri sambil berusaha menyembunyikan kepedihan kehilangan anak di depan istrinya itu.
Anak-anak itu, masih begitu muda. 4 dan 5 tahun. Ada begitu banyak keinginan yang ingin diwujudkan orang tua mereka kelak kalau mereka besar nanti. 4 dan 5 tahun, masih banyak kelucuan-kelucuan yang bisa tercipta mewarnai har-hari indah di rumah. Ah, tak bisa kubayangkan.
Begitulah ketika takdir telah berbicara. Manusia memang tetap harus berhati-hati, berikhtiar mengusahakan yang terbaik. Namun di saat yang sama, manusia juga harus bisa menerima setiap ketentuan yang digariskan kepadaNya. Karena apapun yang terjadi, itu dengann ijinNya. Keihklasan dalam menerima takdir Allah yang berlaku pada kita, insyaAllah bisa membantu kita lebih cepat sembuh dari luka karena kita yakin seperti apapun keras dan sedihnya hidup ini, itu berjalan dengan kasih sayangNya.
Aku mencoba memaknai peristiwa ini sebagai sebuah peringatan dari Allah untuk semakin dekat denganNYa karena kita tidak tahu dalam kondisi apa kita saat kita dipanggil olehNya. Apakah dalam keadaan beriman atau tidak. Sebuah pelajaran juga bahwa kita sebenarnya tidak memiliki apa yang kita pikir kita miliki. Orang-orang yang kita sayang, sahabat-sahabat kita, keluarga kita, anak kita, teman kita, bahkan diri kita adalah kepunyaanNYa. Dan ketika Yang Memiliki mengambil kembali apa yang dititipkan ke kita, bolehkah kita protes? Apa hak kita untuk protes? Bukankah kita hanya dititipi?
Allah, jagalah diriku dan seluruh saudara-saudaraku dengan penjagaanMu yang tiada apa bisa menandingi. Tetapkanlah kami dalam keistiqomahan di jalanMu dan hiasi sayap kami dengan indahnya akhlak karena mencintaiMu.
Lalu, apa pula rasaya ketika kita baru saja menikmati senyuman tulus pasangan kita. Melihat riang di matanya dan terpana kagum melihatya ceria menggendong buah cinta. Masih sempat bercerita tentang mimpi-mimpi yang ingin kita rajut bersama. Lalu selang beberapa saat kemudian, pasangan hidup kita mengalami musibah dan harus terbaring lemah di Rumah Sakit tanpa tahu kapan bisa keluar.
Aku memang belum punya pasangan, apatah lagi punya anak. Tapi kecamuk yang dirasakan oleh senior di kantor kini, jelas ikut menusuk batin terdalamku. Kecelakaan mobil Piru – Ambon seminggu lalu jelas menyisakan kekosongan yang mendalam di runag hati. Kehilangan dua orang anak seketika setelah sejam yang lalu masih bersama di feri sungguh sesuatu yang tak ada seorang pun bisa membayangkan. Dan pikirannya kini tercurah pada kondisi kesehatan sang istri sambil berusaha menyembunyikan kepedihan kehilangan anak di depan istrinya itu.
Anak-anak itu, masih begitu muda. 4 dan 5 tahun. Ada begitu banyak keinginan yang ingin diwujudkan orang tua mereka kelak kalau mereka besar nanti. 4 dan 5 tahun, masih banyak kelucuan-kelucuan yang bisa tercipta mewarnai har-hari indah di rumah. Ah, tak bisa kubayangkan.
Begitulah ketika takdir telah berbicara. Manusia memang tetap harus berhati-hati, berikhtiar mengusahakan yang terbaik. Namun di saat yang sama, manusia juga harus bisa menerima setiap ketentuan yang digariskan kepadaNya. Karena apapun yang terjadi, itu dengann ijinNya. Keihklasan dalam menerima takdir Allah yang berlaku pada kita, insyaAllah bisa membantu kita lebih cepat sembuh dari luka karena kita yakin seperti apapun keras dan sedihnya hidup ini, itu berjalan dengan kasih sayangNya.
Aku mencoba memaknai peristiwa ini sebagai sebuah peringatan dari Allah untuk semakin dekat denganNYa karena kita tidak tahu dalam kondisi apa kita saat kita dipanggil olehNya. Apakah dalam keadaan beriman atau tidak. Sebuah pelajaran juga bahwa kita sebenarnya tidak memiliki apa yang kita pikir kita miliki. Orang-orang yang kita sayang, sahabat-sahabat kita, keluarga kita, anak kita, teman kita, bahkan diri kita adalah kepunyaanNYa. Dan ketika Yang Memiliki mengambil kembali apa yang dititipkan ke kita, bolehkah kita protes? Apa hak kita untuk protes? Bukankah kita hanya dititipi?
Allah, jagalah diriku dan seluruh saudara-saudaraku dengan penjagaanMu yang tiada apa bisa menandingi. Tetapkanlah kami dalam keistiqomahan di jalanMu dan hiasi sayap kami dengan indahnya akhlak karena mencintaiMu.
Sunday, September 28, 2008
Happy Lebaran 1429 H
Menghitung mundur, hari Ramadhan akan segera berlalu. Bertanya pada diri, adakah Ramadhan ini berarti? Adakah berakhir dengan predikat kesayangan Allah.
Sejujurnya, aku merasa grafik Ramadhan tahun ini menurun dari tahun kemarin. Padahal tahun kemarin juga gak bagus-bagus amat. Bahaya nih.
Lepas dari itu semua,
Aku pengen ngucapin Selamat Lebaran buat semua teman blogger yang merayakan.
Semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun depan. Bagi yang mudik, hati hati di jalan ya. Orang-orang terkasih menanti di rumah.
Semoga selalu ada Allah dalam setiap lintas pikir kita, dalam setiap jejak hati kita.
Thursday, August 14, 2008
Renungan Kesyukuran dari Dahan dan Air
Seperti tahun-tahun sebelumnya, suasana mendekati perayaan kemerdekaan penuh hiruk pikuk merah putih. Setiap kantor seperti berlomba mendandani kantornya dengan nuansa merah putih atau bendera hias lainnya. Euforia itu juga terjadi di kantorku. Sebelum nanti ditegur sama yang berhak menegur, tiang bendera harus segera dipasang. Yah,biar kita bisa nyanyi ”Berkibarlah bendera negeriku, berkibarlah di depan kantorku”.
Sebetulnya postingan ini bukan tentang kemerdekaan.
Jadi gini, sejak beberapa hari yang lalu ada orang kantor yang sudah ngurusin pemesanan tiang bendera plus ngecat-ngecat dan nyiapin tempat bakal berdirinya itu tiang. Nah, jadilah tadi siang tiang itu berdiri ditempatnya. Tiang setinggi 6 meter jadi bagian dari kami mulai hari ini. Didepannya tiang bendera itu ada pohon besar yang tingginya mungkin mencapai 9-10 meter. Salah satu dahannya bersentuhan dengan ujung tiang baru itu. It means, bakal mengganggu penglihatan ke bendera nanti dan juga kibaran bendera bakal terganggu karena bersentuhan dengan dahan itu.
Kita memutuskan untuk memotong bagian dahan itu. Nah, si teman kantor ini gak punya keahlian manjat pohon apalagi ditambah keharusan motong dahan. Aku yang merasa gak ada urusannya dengan manjat memanjat pohon plus potong dahan lantas masuk ruangan lagi dan meneruskan pekerjaan. 15 menit kemudian, ada suara berisik di luar sana yang ternyata aktivitas memotong dahan sudah dimulai. Rekan kantor tadi pergi mencari orang yang punya keahlian di bidang panjat memanjat. Dahan-dahan yang besar dipotong agar tidak lagi mengganggu penglihatan. Kerjaan seberat itu, speechless daku.
Singkat cerita, berakhir sudah tugas si bapak ini. Lantas rekan kantor itu mengisyaratkan padaku kalau ia mau memberi upah ke si Bapak. Saya juga membalas isyarat itu dengan mengiyakan. Si teman bertanya ”berapa?”, dan dijawab si bapak ”terserah saja, beta bukan minta-minta”. Teman pun membalas ”bukan begitu, bapak minta berapa?”. lalu sambil menepuk bahu teman saya, bapak itu berkata ”terserah saja, yah, seadanya-lah”.
Lalu temanku pun mengeluarkan dompet dan mengambil duit yang belum bisa kulihat jelas nominalnya. Waktu dikasih ke si Bapak, aku melihat mata si Bapak tersenyum dengan senyum yang tak bisa kujelaskan maknanya. Mata itu menyiratkan bahagia yang tak lengkap. Iya, ada senyum dari bibirnya dan senyum itu terlihat ikhlas. Tapi kenapa hatiku seperti tak enak. Begitu kulihat, besar yang diberi temanku itu 10.000 rupiah. Segera saja aku memberi isyarat dengan mata bahwa yang ia beri itu tak cukup dengan pekerjaan seberat yang sudah dilakukan tadi. Lalu temanku mengeluarkan 5000 rupiah dan kugenapi menjadi 10000 lagi. Bapak dipanggil dan temanku menyodorkan tambahan tadi ke arahnya, aku bisa melihat jelas mata si Bapak menyiratkan sesuatu seperti ingin bertanya ”Betulkah ini?”. Entahlah, tapi aku membaca sebuah ketidakyakinan bahwa beliau diberikan tambahan
Ekspresi kesyukuran itu, membuatku trenyuh. Ada orang yang untuk mendapatkan 20ribu saja harus bekerja seperti itu, itupun sudah sangat ia syukuri. Teringat pula ibu yang setiap hari menimba air untuk memenuhi bak kamar mandi kantor. Ia dibayar 2500 untuk setiap gen 5 liter yang ia angkat. Kadang dalam sebulan ia hanya mendapatkan 300 – 400 ribu rupiah sebagai upah mengangkat air. Kadang ia ditemani anak-anaknya yang kureka sekitar 8-9 tahun yang ikut mengangkat air. Setiap kali ibu dan anak-anak itu bolak balik kantor sambil menenteng gen, aku selalu tak kuasa melihatnya. Yang kulakukan hanya memandang ke arah yang lain agar hati ini tidak tambah teriris. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk mereka. Bagaimanapun, itulah cara mereka mendapatkan uang. Kasihan dan tidak tega melihat lalu melarang ia menimba air justru sebuah kesalahan.
Sementara aku, nominal sebesar itu bisa aku dapatkan dengan mudah. Tapi kesyukuranku tak juga melimpah. Padahal aku ingat, ketika hatiku begitu gelisah, aku pernah meminta taujih dari seorang sahabat. Dan ia bilang ”eby, apapun yang sedang kau rasakan sekarang, jangan gelisah. Seorang muslim akan baik-baik saja selama ia bersyukur dan bersabar”.
Bersyukur saat mendapatkan rezeki, dan bersabar sat mendapat musibah. Dua hal yang teramat mudah untuk dibaca dan diketahui, tapi begitu sulit untuk melakukan. Bersyukur dan bersabar, dua hal yang teramat berat dilakukan jika tanpa kelapangan hati dan kebesaran jiwa. Terimakasih pak, bu, adik-adik atas pelajaran hari ini.
Sebetulnya postingan ini bukan tentang kemerdekaan.
Jadi gini, sejak beberapa hari yang lalu ada orang kantor yang sudah ngurusin pemesanan tiang bendera plus ngecat-ngecat dan nyiapin tempat bakal berdirinya itu tiang. Nah, jadilah tadi siang tiang itu berdiri ditempatnya. Tiang setinggi 6 meter jadi bagian dari kami mulai hari ini. Didepannya tiang bendera itu ada pohon besar yang tingginya mungkin mencapai 9-10 meter. Salah satu dahannya bersentuhan dengan ujung tiang baru itu. It means, bakal mengganggu penglihatan ke bendera nanti dan juga kibaran bendera bakal terganggu karena bersentuhan dengan dahan itu.
Kita memutuskan untuk memotong bagian dahan itu. Nah, si teman kantor ini gak punya keahlian manjat pohon apalagi ditambah keharusan motong dahan. Aku yang merasa gak ada urusannya dengan manjat memanjat pohon plus potong dahan lantas masuk ruangan lagi dan meneruskan pekerjaan. 15 menit kemudian, ada suara berisik di luar sana yang ternyata aktivitas memotong dahan sudah dimulai. Rekan kantor tadi pergi mencari orang yang punya keahlian di bidang panjat memanjat. Dahan-dahan yang besar dipotong agar tidak lagi mengganggu penglihatan. Kerjaan seberat itu, speechless daku.
Singkat cerita, berakhir sudah tugas si bapak ini. Lantas rekan kantor itu mengisyaratkan padaku kalau ia mau memberi upah ke si Bapak. Saya juga membalas isyarat itu dengan mengiyakan. Si teman bertanya ”berapa?”, dan dijawab si bapak ”terserah saja, beta bukan minta-minta”. Teman pun membalas ”bukan begitu, bapak minta berapa?”. lalu sambil menepuk bahu teman saya, bapak itu berkata ”terserah saja, yah, seadanya-lah”.
Lalu temanku pun mengeluarkan dompet dan mengambil duit yang belum bisa kulihat jelas nominalnya. Waktu dikasih ke si Bapak, aku melihat mata si Bapak tersenyum dengan senyum yang tak bisa kujelaskan maknanya. Mata itu menyiratkan bahagia yang tak lengkap. Iya, ada senyum dari bibirnya dan senyum itu terlihat ikhlas. Tapi kenapa hatiku seperti tak enak. Begitu kulihat, besar yang diberi temanku itu 10.000 rupiah. Segera saja aku memberi isyarat dengan mata bahwa yang ia beri itu tak cukup dengan pekerjaan seberat yang sudah dilakukan tadi. Lalu temanku mengeluarkan 5000 rupiah dan kugenapi menjadi 10000 lagi. Bapak dipanggil dan temanku menyodorkan tambahan tadi ke arahnya, aku bisa melihat jelas mata si Bapak menyiratkan sesuatu seperti ingin bertanya ”Betulkah ini?”. Entahlah, tapi aku membaca sebuah ketidakyakinan bahwa beliau diberikan tambahan
Ekspresi kesyukuran itu, membuatku trenyuh. Ada orang yang untuk mendapatkan 20ribu saja harus bekerja seperti itu, itupun sudah sangat ia syukuri. Teringat pula ibu yang setiap hari menimba air untuk memenuhi bak kamar mandi kantor. Ia dibayar 2500 untuk setiap gen 5 liter yang ia angkat. Kadang dalam sebulan ia hanya mendapatkan 300 – 400 ribu rupiah sebagai upah mengangkat air. Kadang ia ditemani anak-anaknya yang kureka sekitar 8-9 tahun yang ikut mengangkat air. Setiap kali ibu dan anak-anak itu bolak balik kantor sambil menenteng gen, aku selalu tak kuasa melihatnya. Yang kulakukan hanya memandang ke arah yang lain agar hati ini tidak tambah teriris. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk mereka. Bagaimanapun, itulah cara mereka mendapatkan uang. Kasihan dan tidak tega melihat lalu melarang ia menimba air justru sebuah kesalahan.
Sementara aku, nominal sebesar itu bisa aku dapatkan dengan mudah. Tapi kesyukuranku tak juga melimpah. Padahal aku ingat, ketika hatiku begitu gelisah, aku pernah meminta taujih dari seorang sahabat. Dan ia bilang ”eby, apapun yang sedang kau rasakan sekarang, jangan gelisah. Seorang muslim akan baik-baik saja selama ia bersyukur dan bersabar”.
Bersyukur saat mendapatkan rezeki, dan bersabar sat mendapat musibah. Dua hal yang teramat mudah untuk dibaca dan diketahui, tapi begitu sulit untuk melakukan. Bersyukur dan bersabar, dua hal yang teramat berat dilakukan jika tanpa kelapangan hati dan kebesaran jiwa. Terimakasih pak, bu, adik-adik atas pelajaran hari ini.
Wednesday, August 13, 2008
Aku merindu-MU
Malam merayap menuju pekat. Pekat yang sebenarnya sedari tadi ada. Mendung bergelayut sepanjang hari, lalu tak henti bumi basah tersirami butiran rahmat. Tiba-tiba saja, sepi menyergap diri. Perasaan sendiri, kesepian, hampa, sunyi bercampur menjadi satu. Tapi ada yang lebih menggelisahkan, mendapati kenyataan bahwa diri ini semakin jauh dari Allah.
Perih sekali rasanya, seperti ditanam di bumi. Aku marah pada diriku sendiri, bagaimana bisa lalai, bagaimana bisa merangkak menjauh, bagaimana bisa?
Ah, tak ada gunanya bertanya. Toh, diri ini pun tak mampu menjawab pertanyaan yang sebenarnya diakibatkan oleh perbuatan lalai memanjakan nafsu duniawi. Untuk apa semua kesenangan yang kurasakan sekarang, untuk apa kemapanan dan gengsi yang sedikit demi sedikit ditiupkan oleh syaitan ke telinga saya lalu menetap di hati? Untuk apa itu semua kalo ternyata kualitas hubunganku denganNYA memburuk?
Sholat, yang fardhu saja. Itupun tidak lagi tepat waktu, kecuali maghrib. Kesibukan melenakan membuat tak beranjak dari empuknya tempat duduk kalau belum merasakan lapar, lalu jadilah makan dan shalat. Lalu kalau suatu saat tidak lapar, bagaimana? Atau kalau laparnya sudah jam ½ 4 bagaimana? Ah, diri, sungguh keterlaluan dirimu.
Cumbu mesra dengan bacaan agung pun tak semesra dulu. Datar, hambar, tidak lagi menggetarkan. Pertanda keringnya hatikah? Diri, sungguh engkau merugi.
Kekosongan yang sekarang kurasakan, semakin membuat lubang di hati semakin besar. Aku merindu. Hatiku berdarah merindukanNYA. Kekasih yang aku tau tak pernah meninggalkanku. Aku yang selalu mengkhianatiNYA. Selalu membuatNYA cemburu dengan kesibukan yang kalau saja kusadari lebih awal, datang karena rahmatNYA. Sungguh tak tahu berterimakasih.
Aku merindu, rindu ini menyiksaku. Rindu kembali akrab denganMU seperti dulu. Rindu untuk hanya berdua denganMU dalam hening malam, rindu membaca surat cintaMU yang indah, rindu dengan kerinduanku padaMU, aku rindu.
Lalu bergetar tangan ini membuka surat cintaMU selepas maghrib tadi. Ah, memandangi hurufnya yang terangkai indah saja sudah membuatku terkesima, terpesona. Lalu kulantunkan suratMU dengan suara hatiku, serasa terserap seluruh beban. Serasa semua kesempitan dan kegelisahan terhisap habis oleh kesucian kata-kataMU.
Bulir hangat menjalari pipi. Betapa kerdil diri ini. Betapa hina diri ini,. Tapi masih saja ENGKAU menyapaku dengan manis. Sungguh, aku merinduMU.
Allah, sampaikan aku pada RamadhanMU, agar kutebus semua kelalaianku, agar aku masih punya kesempatan untuk mendekat padaMU, mencintaiMU dengan cintaku yang sederhana ini, mencintaiMU dengan shaum yang kadang terasa berat, mencintaiMU dengan sahur yang ngantuk, mencintaiMU dengan tarawihku yang bolong, mencintaiMU dengan tadarusku yang singkat. Aku hanya ingin mencintaiMU dengan cara yang aku bisa. Aku tahu aku kalah dengan hamba-hambaMU yang lain yang begitu luar biasa mengejarMU, tapi Allah, aku juga ingin ikut berlari, walaupun langkahku tak cepat, walaupun nafasku tak panjang. Aku hanya ingin mencintaiMU dengan semua energi yang bisa aku persembahkan. Itu karena aku ingin KAU cintai walaupun tak banyak.
Allah, aku tersungkur lagi kali ini. Tapi aku akan berdiri lagi dan kembali dalam barisan yang bersegera kepadaMU.
Perih sekali rasanya, seperti ditanam di bumi. Aku marah pada diriku sendiri, bagaimana bisa lalai, bagaimana bisa merangkak menjauh, bagaimana bisa?
Ah, tak ada gunanya bertanya. Toh, diri ini pun tak mampu menjawab pertanyaan yang sebenarnya diakibatkan oleh perbuatan lalai memanjakan nafsu duniawi. Untuk apa semua kesenangan yang kurasakan sekarang, untuk apa kemapanan dan gengsi yang sedikit demi sedikit ditiupkan oleh syaitan ke telinga saya lalu menetap di hati? Untuk apa itu semua kalo ternyata kualitas hubunganku denganNYA memburuk?
Sholat, yang fardhu saja. Itupun tidak lagi tepat waktu, kecuali maghrib. Kesibukan melenakan membuat tak beranjak dari empuknya tempat duduk kalau belum merasakan lapar, lalu jadilah makan dan shalat. Lalu kalau suatu saat tidak lapar, bagaimana? Atau kalau laparnya sudah jam ½ 4 bagaimana? Ah, diri, sungguh keterlaluan dirimu.
Cumbu mesra dengan bacaan agung pun tak semesra dulu. Datar, hambar, tidak lagi menggetarkan. Pertanda keringnya hatikah? Diri, sungguh engkau merugi.
Kekosongan yang sekarang kurasakan, semakin membuat lubang di hati semakin besar. Aku merindu. Hatiku berdarah merindukanNYA. Kekasih yang aku tau tak pernah meninggalkanku. Aku yang selalu mengkhianatiNYA. Selalu membuatNYA cemburu dengan kesibukan yang kalau saja kusadari lebih awal, datang karena rahmatNYA. Sungguh tak tahu berterimakasih.
Aku merindu, rindu ini menyiksaku. Rindu kembali akrab denganMU seperti dulu. Rindu untuk hanya berdua denganMU dalam hening malam, rindu membaca surat cintaMU yang indah, rindu dengan kerinduanku padaMU, aku rindu.
Lalu bergetar tangan ini membuka surat cintaMU selepas maghrib tadi. Ah, memandangi hurufnya yang terangkai indah saja sudah membuatku terkesima, terpesona. Lalu kulantunkan suratMU dengan suara hatiku, serasa terserap seluruh beban. Serasa semua kesempitan dan kegelisahan terhisap habis oleh kesucian kata-kataMU.
Bulir hangat menjalari pipi. Betapa kerdil diri ini. Betapa hina diri ini,. Tapi masih saja ENGKAU menyapaku dengan manis. Sungguh, aku merinduMU.
Allah, sampaikan aku pada RamadhanMU, agar kutebus semua kelalaianku, agar aku masih punya kesempatan untuk mendekat padaMU, mencintaiMU dengan cintaku yang sederhana ini, mencintaiMU dengan shaum yang kadang terasa berat, mencintaiMU dengan sahur yang ngantuk, mencintaiMU dengan tarawihku yang bolong, mencintaiMU dengan tadarusku yang singkat. Aku hanya ingin mencintaiMU dengan cara yang aku bisa. Aku tahu aku kalah dengan hamba-hambaMU yang lain yang begitu luar biasa mengejarMU, tapi Allah, aku juga ingin ikut berlari, walaupun langkahku tak cepat, walaupun nafasku tak panjang. Aku hanya ingin mencintaiMU dengan semua energi yang bisa aku persembahkan. Itu karena aku ingin KAU cintai walaupun tak banyak.
Allah, aku tersungkur lagi kali ini. Tapi aku akan berdiri lagi dan kembali dalam barisan yang bersegera kepadaMU.
Thursday, August 07, 2008
Undangan Lagi, Lagi-lagi Undangan
Awal bulan yang lalu, dua berita pernikahan kuterima. Keduanya dari teman-teman STM, Iswandi dan Arieswati, tentunya dengan pasangan masing-masing. Siang tadi, di sela-sela kesibukan di kantor, bunyi sms di hp memberitahukan satu lagi. Begitu menginjak kata-kata ”you are all invited to our wedding reception” maka tuing,
lonceng di kepalaku berdentang. Siapa dia?
Siapa kenalanku yang menikah?
Taraaa,
ternyata mas Danang, mantan Ketos.
Seneng...seneng. tapi juga sedih.
Kapan ya giliran aku yang ngundang? (Ngarep...*boleh dong*)
Untuk iswandi dan istri, juga Aries dan Suami, Barakallah ya. Semoga sakinah, mawaddah warahmah, pokoknya semoga bahagia deh.
Buat mas Danang, kayaknya gak bisa dateng tuh (ya iya lah, di Bandung gitu lho), tapi doaku menembus batas waktu dan jarak. Semoga bahagia hingga menua.
Buat stelkers yang belum, kapan pada nyusul mereka yang sudah berlayar duluan. Kok kita di tepi-tepi gini aja nge-dadah mereka yang sudah berlayar?
Slank, cepat ma ko. Atau belum pi ada calonmu? Cari ko…
Amha, apa ji. Danang, Jyo, Cobho sudah mi. Kau iya? Perasaan, calonmu ada mi sejak kita sekolah dulu. Kenapa beng kau yang paling tertinggal?
Armand, hey ayo segera maju
Baya, tinggal kita berdua nih. Gimana dong?
Budi, apa masih berlaku ”Yang tersisa adalah yang terbaik?”. masa lomba-lombaan jadi yang tersisa?
Jadi,
Buat yang sudah duluan menemukan pelayaran, berlayarlah menuju pulau bahagia.
Buat yang belum juga berani berlayar, bersegeralah.
Buat yang mau tapi belum ada yang mengajak atau diajak berlayar, hunting terus yak. Chayo....
lonceng di kepalaku berdentang. Siapa dia?
Siapa kenalanku yang menikah?
Taraaa,
ternyata mas Danang, mantan Ketos.
Seneng...seneng. tapi juga sedih.
Kapan ya giliran aku yang ngundang? (Ngarep...*boleh dong*)
Untuk iswandi dan istri, juga Aries dan Suami, Barakallah ya. Semoga sakinah, mawaddah warahmah, pokoknya semoga bahagia deh.
Buat mas Danang, kayaknya gak bisa dateng tuh (ya iya lah, di Bandung gitu lho), tapi doaku menembus batas waktu dan jarak. Semoga bahagia hingga menua.
Buat stelkers yang belum, kapan pada nyusul mereka yang sudah berlayar duluan. Kok kita di tepi-tepi gini aja nge-dadah mereka yang sudah berlayar?
Slank, cepat ma ko. Atau belum pi ada calonmu? Cari ko…
Amha, apa ji. Danang, Jyo, Cobho sudah mi. Kau iya? Perasaan, calonmu ada mi sejak kita sekolah dulu. Kenapa beng kau yang paling tertinggal?
Armand, hey ayo segera maju
Baya, tinggal kita berdua nih. Gimana dong?
Budi, apa masih berlaku ”Yang tersisa adalah yang terbaik?”. masa lomba-lombaan jadi yang tersisa?
Jadi,
Buat yang sudah duluan menemukan pelayaran, berlayarlah menuju pulau bahagia.
Buat yang belum juga berani berlayar, bersegeralah.
Buat yang mau tapi belum ada yang mengajak atau diajak berlayar, hunting terus yak. Chayo....
Jiwa, Aku Bicara Padamu
Jiwa,
Coba kau renungkan kembali
Dimanakah kau berada saat ini?
Di dunia mana kau sedang berpijak
Wahai diri,
Tak malukah kau pada dirimu
Bahwa ketika di luar sana, semuanya berlomba mendekat
Kau malah menjauh
Jiwa,
Lalu sampai kapan kau biarkan dirimu berlari
Apa kau pikir kulitmu itu sanggup menahan panasnya neraka?
Setebal apa sih kulitmu itu?
Lupa ya jiwa, bahwa kulit itu buatan Allah
Dan lupakah pula kalau api neraka itu juga punya Allah?
Sombong sekali kau bah...
Tak tahu diri
Hai manusia hina,
Beraninya engkau mengulur-ulur waktu
Seakan matimu masih lama.
Tak sadarkah bahwa ia tengah mengintaimu
Dan mampu menyergapmu kapan saja
Sudahlah,
Berhentilah bermain-main dengan dosa
Karena kau tak akan sanggup menahan siksaNYA
Balasan yang kau sendiri cari
PS : Tulisan pada diri sendiri yang semakin sombong. Astaghfirullah........
Coba kau renungkan kembali
Dimanakah kau berada saat ini?
Di dunia mana kau sedang berpijak
Wahai diri,
Tak malukah kau pada dirimu
Bahwa ketika di luar sana, semuanya berlomba mendekat
Kau malah menjauh
Jiwa,
Lalu sampai kapan kau biarkan dirimu berlari
Apa kau pikir kulitmu itu sanggup menahan panasnya neraka?
Setebal apa sih kulitmu itu?
Lupa ya jiwa, bahwa kulit itu buatan Allah
Dan lupakah pula kalau api neraka itu juga punya Allah?
Sombong sekali kau bah...
Tak tahu diri
Hai manusia hina,
Beraninya engkau mengulur-ulur waktu
Seakan matimu masih lama.
Tak sadarkah bahwa ia tengah mengintaimu
Dan mampu menyergapmu kapan saja
Sudahlah,
Berhentilah bermain-main dengan dosa
Karena kau tak akan sanggup menahan siksaNYA
Balasan yang kau sendiri cari
PS : Tulisan pada diri sendiri yang semakin sombong. Astaghfirullah........
Monday, June 09, 2008
Gundah Pak Supir
Perjalanan balik ke Piru hari itu seperti biasa. Rute Mardika - liang, Feri, Waipirit - Piru. Semua seperti biasanya. Sampai di Feri, ketemu sama Abang yang kebetulan aktif di sebuah LSM di Ambon. Maka berdiskusilah kami sepanjang perjalanan Waipirit - Piru. Pak Sopir yang duduk di samping saya (ato saya yang duduk disampingnya ya?) diam saja. Aku dan abang terus saja berdiskusi tanpa ada selaan dari Pak Supir. Sampe di suatu belokan di gunung parang, ada sebuah bus jurusan Ambon - Waesala yang parkir dan kondisinya mengisyaratkan terjadi sesuatu tadi. Tanya-tanya serupa bisikan seolah bertanya pada diri sendiri itu ternyata didengar juga oleh Pak Supir. Dan mengalirlah rangkaian kata dari Bapak yang dari tadi diam saja. ia berucap begini :
"Mobil itu abis jato. Liat itu body-nya, sudah seng bisa bilang lai. Padahal itu punya BUMN. kalo swasta la iyo jua. Ini BUMN tapi oto su bobrok, su seng layak pakai lai. Bagaimana kalo supir musti kasi jatah par disini, disini jatah par disana, disana kasi par disitu lalu disitu kasih jatah par di atas lai. Lalu kalo 100 akang sampai di atas cuma 10, la iyo jua, mo dapa biaya perbaikan dari mana. Susah memang seng tau pemimpin bagaimana yang betul. Mar Rakyat Indonesia ni memang paling sanang sudah. Tinggal dong datang kasi permen, la sudah, katong pilih jua. Asal datang sa bilang kalo terpilih nanti KTP gratis. Abis nae, urus KTP 3 bulan seng jadi-jadi. Jadi wajar kalo rakyat sakarang su apatis. Seng bisa kasih salah rakyat. Dong su bosan deng janji-janji, tau sama sa. Padahal rakyat tu seng mau apa-apa. Katong ni seng manuntut banyak. Yang penting jalan bagus, pendidikan bagus, kesehatan bagus, air bagus, la sudah. Jalan bagus, katong pi mancari bagini enak, katong pung anak-anak bisa sekolah. Kalo dong sakit, katong bisa pi bawa rumah sakit. Jang kong katong bawa rumah sakit, lalu kalo dong seng bisa, la rujuk ke Ambon mo pake ambulans katong musti bayar lai. Macam bagitu katong tunggu waktu sa. Kalo orang muslim, tinggal tunggu baca yasin sa. Beta kamareng kamareng ada pi antar orang BAWASDA liat polindes di desa balakang-balakang. Beta sampe tanya par dong, Polindes ni biking par kambing tinggal ka par perawat tinggal. Polindes kosong baru kambing su pono di muka akang. Kalo memang seng bisa orang luar yang praktek di situ, musti pemerintah pikir akang pung cara. Kalo orang luar datang jauh-jauh baru sampe situ kesejahteraan seng ada, dong makan susah, jelas jua dong seng betah. Maknya kas sekolah orang asli situ supaya biar bagaimana dong akan betah karena dong pikir itu dong pung daerah. Baru pemerintah ni seng bisa kerjasama baik. Kalo memang su rencana bikin bangunan kayak begitu, harusnya su siapkan siapa nanti yang mo masuk akang. Daripada kayak begini, tinggal par kambing jaga akang"
Aku ngapain?
Gak ngapa-ngapain. Hanya mendengarkan semua yang terpikirkan oleh Pak Supir. Bisa jadi itu juga dipikirkan oleh berjuta rakyat yang lain. Jujur, saya gak bisa berkata-kata. Saya yang setiap hari berinteraksi dengan pihak-pihak yang bisa saja mengambil kebijakan, toh juga masih belum memberi kontribusi apa-apa. Idealisme saya belum bisa disalurkan dengan maksimal. Jadi saya tak bisa menimpali apa-apa karena memang seperti itu realitanya.
Lalu apa yang sedang atau bisa saya lakukan? Saya ingin sekali mengajak semua pihak untuk bekerja dengan jujur, dengan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai motivasi utama. Terlalu berlebihankah? Terlalu sok-kah? Entahlah, hanya saja saya berusaha untuk jujur dalam pekerjaan saya. At least saya berusaha merancang sesuatu yang tepat guna untuk rakyat.
Kadang hati ini begitu gelisah melihat realita di depan mata. Gemas dan sedih tak bisa berbuat apa-apa. Sistem telah mendukung, semua terpola dengan baik untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Dan tak ada yang bisa bicara karena semua terjebak di dalamnya. Pernah terpikirkan untuk berhenti ketika dada ini semakin sesak. Tapi teringat diskusi di salah satu rumah makan di Jl A.Y. Patty bersama sahabat-sahabat sekolah dulu, saat awal memilih di tempat ini. Dia bilang "By, kalo semua orang seperti kamu memilih mundur, lantas siapa dan kapan semua bisa diubah?. Kalo semua orang yang melihat ketidakberesan memilih pergi ketimbang membenarkan ketidakberesan itu, lantas kapan ketidakberesan itu bisa jadi beres?"
Lantas teringat pula kata-kata saya sendiri pada salah seorang teman yang dulu saat tertatih-tatih di dakwah kampus dan memilih mundur. Saat itu saya bilang "Akhi, kalo antum naik kapal bersama teman-teman dan dalam kapal ada kerusakan, mana yang lebih baik? Tinggal dan bersama-sama memperbaiki kerusakan itu atau terjun menyelamatkan diri sendiri ke laut? Kalo pilihan ke dua yang antum ambil, berapa lama antum pikir bisa bertahan dengan dinginnya air laut? Bisakah antum menjamin tidak ada hiu yang akan datang. Lalu berapa lama antum bisa bertahan berenang hingga menemukan pulau lain?".
Kata-kata itu sekarang tertuju pada saya.
nb : soal analogi kapal, pernah baca di Al-Izzah entah edisi berapa. Salah satu motivation word-ku. Makasih ya Pak Supir atas celoteh indahnya. Sebelum tulisan ini diposting, sempat diskusi dengan rekan kerja, Mr K tentang pilihan untuk PNS. Sudah bahas panjang lebar, Eh, kemarin ditanya lagi sama rekan yang lain, Mr. J, tapi tak terjawab karena sudah gak tahu harus bilang apa.
"Mobil itu abis jato. Liat itu body-nya, sudah seng bisa bilang lai. Padahal itu punya BUMN. kalo swasta la iyo jua. Ini BUMN tapi oto su bobrok, su seng layak pakai lai. Bagaimana kalo supir musti kasi jatah par disini, disini jatah par disana, disana kasi par disitu lalu disitu kasih jatah par di atas lai. Lalu kalo 100 akang sampai di atas cuma 10, la iyo jua, mo dapa biaya perbaikan dari mana. Susah memang seng tau pemimpin bagaimana yang betul. Mar Rakyat Indonesia ni memang paling sanang sudah. Tinggal dong datang kasi permen, la sudah, katong pilih jua. Asal datang sa bilang kalo terpilih nanti KTP gratis. Abis nae, urus KTP 3 bulan seng jadi-jadi. Jadi wajar kalo rakyat sakarang su apatis. Seng bisa kasih salah rakyat. Dong su bosan deng janji-janji, tau sama sa. Padahal rakyat tu seng mau apa-apa. Katong ni seng manuntut banyak. Yang penting jalan bagus, pendidikan bagus, kesehatan bagus, air bagus, la sudah. Jalan bagus, katong pi mancari bagini enak, katong pung anak-anak bisa sekolah. Kalo dong sakit, katong bisa pi bawa rumah sakit. Jang kong katong bawa rumah sakit, lalu kalo dong seng bisa, la rujuk ke Ambon mo pake ambulans katong musti bayar lai. Macam bagitu katong tunggu waktu sa. Kalo orang muslim, tinggal tunggu baca yasin sa. Beta kamareng kamareng ada pi antar orang BAWASDA liat polindes di desa balakang-balakang. Beta sampe tanya par dong, Polindes ni biking par kambing tinggal ka par perawat tinggal. Polindes kosong baru kambing su pono di muka akang. Kalo memang seng bisa orang luar yang praktek di situ, musti pemerintah pikir akang pung cara. Kalo orang luar datang jauh-jauh baru sampe situ kesejahteraan seng ada, dong makan susah, jelas jua dong seng betah. Maknya kas sekolah orang asli situ supaya biar bagaimana dong akan betah karena dong pikir itu dong pung daerah. Baru pemerintah ni seng bisa kerjasama baik. Kalo memang su rencana bikin bangunan kayak begitu, harusnya su siapkan siapa nanti yang mo masuk akang. Daripada kayak begini, tinggal par kambing jaga akang"
Aku ngapain?
Gak ngapa-ngapain. Hanya mendengarkan semua yang terpikirkan oleh Pak Supir. Bisa jadi itu juga dipikirkan oleh berjuta rakyat yang lain. Jujur, saya gak bisa berkata-kata. Saya yang setiap hari berinteraksi dengan pihak-pihak yang bisa saja mengambil kebijakan, toh juga masih belum memberi kontribusi apa-apa. Idealisme saya belum bisa disalurkan dengan maksimal. Jadi saya tak bisa menimpali apa-apa karena memang seperti itu realitanya.
Lalu apa yang sedang atau bisa saya lakukan? Saya ingin sekali mengajak semua pihak untuk bekerja dengan jujur, dengan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai motivasi utama. Terlalu berlebihankah? Terlalu sok-kah? Entahlah, hanya saja saya berusaha untuk jujur dalam pekerjaan saya. At least saya berusaha merancang sesuatu yang tepat guna untuk rakyat.
Kadang hati ini begitu gelisah melihat realita di depan mata. Gemas dan sedih tak bisa berbuat apa-apa. Sistem telah mendukung, semua terpola dengan baik untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Dan tak ada yang bisa bicara karena semua terjebak di dalamnya. Pernah terpikirkan untuk berhenti ketika dada ini semakin sesak. Tapi teringat diskusi di salah satu rumah makan di Jl A.Y. Patty bersama sahabat-sahabat sekolah dulu, saat awal memilih di tempat ini. Dia bilang "By, kalo semua orang seperti kamu memilih mundur, lantas siapa dan kapan semua bisa diubah?. Kalo semua orang yang melihat ketidakberesan memilih pergi ketimbang membenarkan ketidakberesan itu, lantas kapan ketidakberesan itu bisa jadi beres?"
Lantas teringat pula kata-kata saya sendiri pada salah seorang teman yang dulu saat tertatih-tatih di dakwah kampus dan memilih mundur. Saat itu saya bilang "Akhi, kalo antum naik kapal bersama teman-teman dan dalam kapal ada kerusakan, mana yang lebih baik? Tinggal dan bersama-sama memperbaiki kerusakan itu atau terjun menyelamatkan diri sendiri ke laut? Kalo pilihan ke dua yang antum ambil, berapa lama antum pikir bisa bertahan dengan dinginnya air laut? Bisakah antum menjamin tidak ada hiu yang akan datang. Lalu berapa lama antum bisa bertahan berenang hingga menemukan pulau lain?".
Kata-kata itu sekarang tertuju pada saya.
nb : soal analogi kapal, pernah baca di Al-Izzah entah edisi berapa. Salah satu motivation word-ku. Makasih ya Pak Supir atas celoteh indahnya. Sebelum tulisan ini diposting, sempat diskusi dengan rekan kerja, Mr K tentang pilihan untuk PNS. Sudah bahas panjang lebar, Eh, kemarin ditanya lagi sama rekan yang lain, Mr. J, tapi tak terjawab karena sudah gak tahu harus bilang apa.
Saturday, May 31, 2008
Gak ada judul
Jarum jam menunjuk pukul tiga lebih lima belas sore. Pengen tetap di kantor, tapi kerjaan udah kelar (masih ada sih, cuma sudah gak produktif). Pengen pulang, tapi lagi ujan lebat di luar sana. Maka disinilah saya, terjebak dalam tembok berukuran 3x4 meter sambil melihat ujan, wallpaper monitor dan jam dinding bergantian. Wallpaper ruang utama masjid kampus itu selalu saja membuatku adem setiap melihatnya. Seperti bongkahan kenangan manis di masjid itu berenang di kepalaku, keluar dari ruang memori menuju sunggingan senyum. 5 hari yang lalu, paket yang dikirim sahabat-sahabat surgaku, UKMBI, sampai juga kuterima.
Total isinya tuh : baju kaos, note book, pamflet dan undangan FSDa, Pembatas bukunya UKMBI, CD Dokuementasi FSDa, Gantungan Kunci, Brosur Q-blat dan brosur Sambut Maba, Stiker dan hiasan pintu/id ruangan bertuliskan "Serambi KMBI"
Dokumentasi yang ikut mereka kirimkan sudah saya putar. Subhanallah, semoga perjuangan mereka disana mendapat catatan indah. Semoga suatu saat, entah kapan, entah bagaimana, Islam yang mulia bisa terefleksi dengan gagahnya di kampus.
Sudah hampir setengah empat, Bumi Piru masih saja dibasahi oleh rahmat. Dari winamp, terlantun nasyid Brothers ”Lagu Untuk Ibu”. Lagu yang selalu saja mengingatkanku akan wnita tercantik dalam hidupku. Besok, insyaAllah, aku akan melakukan perjalanan menemuimu, ibu. Besok, ibu, dengan izin Allah, kita akan bertemu di rumah cinta kita. Tunggu aku ya, bu. Miss you
nb : mudah2an besok gak ujan, jadi perjalanan piru-ambon bisa lancar. Harga-harga naik ya? ongkos pulang pergi bengkak dong....
nb lagi : Ditulis kemarin, diposting setelah sampe di ambon yang disambut dengan menu makan malam sayur favorit plus hujan lebat.
Total isinya tuh : baju kaos, note book, pamflet dan undangan FSDa, Pembatas bukunya UKMBI, CD Dokuementasi FSDa, Gantungan Kunci, Brosur Q-blat dan brosur Sambut Maba, Stiker dan hiasan pintu/id ruangan bertuliskan "Serambi KMBI"
Dokumentasi yang ikut mereka kirimkan sudah saya putar. Subhanallah, semoga perjuangan mereka disana mendapat catatan indah. Semoga suatu saat, entah kapan, entah bagaimana, Islam yang mulia bisa terefleksi dengan gagahnya di kampus.
Sudah hampir setengah empat, Bumi Piru masih saja dibasahi oleh rahmat. Dari winamp, terlantun nasyid Brothers ”Lagu Untuk Ibu”. Lagu yang selalu saja mengingatkanku akan wnita tercantik dalam hidupku. Besok, insyaAllah, aku akan melakukan perjalanan menemuimu, ibu. Besok, ibu, dengan izin Allah, kita akan bertemu di rumah cinta kita. Tunggu aku ya, bu. Miss you
nb : mudah2an besok gak ujan, jadi perjalanan piru-ambon bisa lancar. Harga-harga naik ya? ongkos pulang pergi bengkak dong....
nb lagi : Ditulis kemarin, diposting setelah sampe di ambon yang disambut dengan menu makan malam sayur favorit plus hujan lebat.
Thursday, May 22, 2008
Sekali Lagi tentang Ibu
16-05-08, 12:16 pm
"Ca Ebhy mengapa seng bel atau sms ibu sedikit ka? ibu rindu, ibu dan ade berlawanan jam sekolah. sering-sering sms ibu ee, salam rindu ibu dan ade dari ambon"
Begitu isi pesan yang ibunda tercinta kirim tepat siang hari saat pekerjaan begitu melenakan. Ada yang mengalir di sudut hati, betapa hati bidadariku sedang sedih karena tak ada berita dariku. Belakangan ini, saya memang sedang sibuk-sibuknya berlari mengikuti ritme pekerjaan di kantor baru ini. Dan yang tersisa saat pulang hanyalah istirahat hingga terlupa berkirim berita.
sms itu kubalas dengan penuh penyesalan dan keinginan akan menelpon ibu setiap hari. :Ibu cinta, maaf e. Iya nanti eby sering sms ibu. mmmuuuaaah.
Hanya begitu saja. Dan sms itupun terlupa begitu saja. Hingga kemarin sore, 5 hari setelah sms pertama itu beliau berkirim kabar dengan begitu singkat "Ca ebhy, ada bikin apa. sms ibu ka"
Deg, betapa berdosanya diriku yang tak jua bisa membahagiakannya meski hanya sekedar sms. Maka tak menunggu lama, setelah maghrib, aku menelpon wanita mulia itu, mendengar suaranya, meraba kerinduannya dan mencumbu kasihnya.
Kawan, ada kalanya kita lupa bahwa ibu kita yang jauh di sana menanti kita. Bukan fisik, hanya suara atau bahkan menyapa lewat sms. se-simple itu tapi terkadang kita lupakan. Sering-seringlah mengabarinya. Ini bukan nasehat murni untuk kalian, ini sebenarnya untuk saya. Ini sekedar mengajak, mari kembali dapatkan kekuatan dan spirit dari suara indahnya.
Ibu, putrimu ini sudah memenuhi hatinya dengan namamu. Hanya saja mungkin tak bisa ia ekspresikan dengan indah. Aku mencintaimu ibu, hingga hati ini berkarat dan berlubang tak sanggup menahan cintaku padamu.
"Ca Ebhy mengapa seng bel atau sms ibu sedikit ka? ibu rindu, ibu dan ade berlawanan jam sekolah. sering-sering sms ibu ee, salam rindu ibu dan ade dari ambon"
Begitu isi pesan yang ibunda tercinta kirim tepat siang hari saat pekerjaan begitu melenakan. Ada yang mengalir di sudut hati, betapa hati bidadariku sedang sedih karena tak ada berita dariku. Belakangan ini, saya memang sedang sibuk-sibuknya berlari mengikuti ritme pekerjaan di kantor baru ini. Dan yang tersisa saat pulang hanyalah istirahat hingga terlupa berkirim berita.
sms itu kubalas dengan penuh penyesalan dan keinginan akan menelpon ibu setiap hari. :Ibu cinta, maaf e. Iya nanti eby sering sms ibu. mmmuuuaaah.
Hanya begitu saja. Dan sms itupun terlupa begitu saja. Hingga kemarin sore, 5 hari setelah sms pertama itu beliau berkirim kabar dengan begitu singkat "Ca ebhy, ada bikin apa. sms ibu ka"
Deg, betapa berdosanya diriku yang tak jua bisa membahagiakannya meski hanya sekedar sms. Maka tak menunggu lama, setelah maghrib, aku menelpon wanita mulia itu, mendengar suaranya, meraba kerinduannya dan mencumbu kasihnya.
Kawan, ada kalanya kita lupa bahwa ibu kita yang jauh di sana menanti kita. Bukan fisik, hanya suara atau bahkan menyapa lewat sms. se-simple itu tapi terkadang kita lupakan. Sering-seringlah mengabarinya. Ini bukan nasehat murni untuk kalian, ini sebenarnya untuk saya. Ini sekedar mengajak, mari kembali dapatkan kekuatan dan spirit dari suara indahnya.
Ibu, putrimu ini sudah memenuhi hatinya dengan namamu. Hanya saja mungkin tak bisa ia ekspresikan dengan indah. Aku mencintaimu ibu, hingga hati ini berkarat dan berlubang tak sanggup menahan cintaku padamu.
Tuesday, May 20, 2008
Menjenguk Kematian
Sms masuk pas jam 12 malam. Jam segitu biasanya saya malah beraktivitas setelah bangun dari tidur awal waktu. Bunyi sms sempat membuat jengkel dan bergumam "siapa sih tengah malam begini sms, kurang kerjaan". Tapi tak urung, kaki ini melangkah juga mengambil handphone dan ...... Shock, kaget, tak percaya.
"maaf, ganggu. cuma mau kasih tau, baeng yang eby titip novel ayat2 cinta itu baru saja meninggal.
Pemuda itu bernama baeng. Entah siapa nama aslinya, tapi sebulan lalu pertama kali dia bertamu ke rumah untuk suatu urusan, kami mengenalnya dengan nama Baeng. Tak banyak bicara. Pertemuan kedua, masih ketika dia ke rumah menyelesaikan keperluannya itu, kebetulan di rumah saudara2 lagi ngumpul bikin pagar. Maka ikutlah dia maku-maku kayu buat pagar. Masih tanpa bicara. Pertemuan ketiga, adalah ketika di SBB lagi penerimaan guru kontrak. Dia datang lagi ke Piru untuk ikut testnya. Pemuda Baeng tidak tinggal di rumah, dia hanya datang maen karena di rumah, banyak yang tinggal sementara untuk ikut test juga.
Masih tidak banyak bicara, sewaktu pulang, kutitipkan novel ayat-ayat cinta yang mo dipinjam saudara. Kebetulan pemuda Baeng tinggal di tempat Saudara itu. Besoknya dia datang lagi silaturrahim kumpul2 dengan saudara-saudara dan dia sempat mengabari bahwa novel titipan itu sudah sampai sesuai amanah.
Dan berita kepulangannya itu terus terang bikin tubuh saya bergetar sedemikian hebatnya. Dia, pemuda Baeng itu, masih sangat muda. Usianya bahkan di bawah saya. Dalam kesederhanaan pribadi dan mudanya usia, ia telah dijenguk kematian. Lalu saya, apa masih bisa tersenyum dan merasa waktuku masih lama?
Dua hari kemudian, ibunda tercintaku datang ke Piru. Sore ketika baru pulang dari koordinasi kegiatan di Waesala dan Allang Asaude, kedatangan ibu seperti oase bagi kelelahan fisik dan pikiran. Kami kemudian ziarah ke makamnya kakek dari pihak Ibu.
Mengunjungi tempat itu sungguh sebuah perjalanan ruhani yang menyadarkan. Bahwa hari ini kau menjenguk, mungkin besok kau yang dijenguk. Sering, setiap kali aku ke makam kakek, hatiku bertanya, jika waktuku sampai, akankah cucu-cucuku datang membersihkan tempat kecilku? Akankah ada doa yang mereka sampaikan padaku?
Di sebelah makam kakek, ada makam saudara yang kata ibu, meninggalnya bersamaan dengan kakek. Makam itu ukurannya begitu kecil. Kata ibu juga, memang meninggalnya masih sangat kecil. Tak sempat ia berbuat dosa. Ah, sebesar ini, berapa banyak dosa yang harus kutanggung hukumannya nanti?
Waktuku tak lagi banyak. Kematian bisa menjenguk dan membawaku kapan saja.
Ya Allah, jadikan akhirku indah.
Nb : Postingan lama, baru diupload sekarang
"maaf, ganggu. cuma mau kasih tau, baeng yang eby titip novel ayat2 cinta itu baru saja meninggal.
Pemuda itu bernama baeng. Entah siapa nama aslinya, tapi sebulan lalu pertama kali dia bertamu ke rumah untuk suatu urusan, kami mengenalnya dengan nama Baeng. Tak banyak bicara. Pertemuan kedua, masih ketika dia ke rumah menyelesaikan keperluannya itu, kebetulan di rumah saudara2 lagi ngumpul bikin pagar. Maka ikutlah dia maku-maku kayu buat pagar. Masih tanpa bicara. Pertemuan ketiga, adalah ketika di SBB lagi penerimaan guru kontrak. Dia datang lagi ke Piru untuk ikut testnya. Pemuda Baeng tidak tinggal di rumah, dia hanya datang maen karena di rumah, banyak yang tinggal sementara untuk ikut test juga.
Masih tidak banyak bicara, sewaktu pulang, kutitipkan novel ayat-ayat cinta yang mo dipinjam saudara. Kebetulan pemuda Baeng tinggal di tempat Saudara itu. Besoknya dia datang lagi silaturrahim kumpul2 dengan saudara-saudara dan dia sempat mengabari bahwa novel titipan itu sudah sampai sesuai amanah.
Dan berita kepulangannya itu terus terang bikin tubuh saya bergetar sedemikian hebatnya. Dia, pemuda Baeng itu, masih sangat muda. Usianya bahkan di bawah saya. Dalam kesederhanaan pribadi dan mudanya usia, ia telah dijenguk kematian. Lalu saya, apa masih bisa tersenyum dan merasa waktuku masih lama?
Dua hari kemudian, ibunda tercintaku datang ke Piru. Sore ketika baru pulang dari koordinasi kegiatan di Waesala dan Allang Asaude, kedatangan ibu seperti oase bagi kelelahan fisik dan pikiran. Kami kemudian ziarah ke makamnya kakek dari pihak Ibu.
Mengunjungi tempat itu sungguh sebuah perjalanan ruhani yang menyadarkan. Bahwa hari ini kau menjenguk, mungkin besok kau yang dijenguk. Sering, setiap kali aku ke makam kakek, hatiku bertanya, jika waktuku sampai, akankah cucu-cucuku datang membersihkan tempat kecilku? Akankah ada doa yang mereka sampaikan padaku?
Di sebelah makam kakek, ada makam saudara yang kata ibu, meninggalnya bersamaan dengan kakek. Makam itu ukurannya begitu kecil. Kata ibu juga, memang meninggalnya masih sangat kecil. Tak sempat ia berbuat dosa. Ah, sebesar ini, berapa banyak dosa yang harus kutanggung hukumannya nanti?
Waktuku tak lagi banyak. Kematian bisa menjenguk dan membawaku kapan saja.
Ya Allah, jadikan akhirku indah.
Nb : Postingan lama, baru diupload sekarang
Monday, April 07, 2008
Tidur Panjang Om Ance
06 April 2008
Ia pergi dalam kesendirian,
Di sebuah tempat dimana hanya ada dia dan ALlah.
Dan berita kepergian dalam sepi itu
Menghentak kesepian dan ketenangan waktu maghrib.
Lagi-lagi, tak terasa, tak terbaca
Allah menjemput satu lagi keluargaku
Ia yang semasa hidupnya begitu diam,
Sering hanya senyum saja yang menatapku jika bertemu
Tak banyak kata, tak banyak ucap,
Senyum lewat tarikan bibir dan pandangan mata
Itu saja.
Om,
Kami tak ada disisimu saat ini
Kami tak bisa ikut berjalan disamping kerandamu
Tapi Om, doa kami menemanimu tidur panjang
Sampaikan salam kami pada yang kau temui disana.
Mungkin hari ini, besok, lusa, atau entah
kami akan menyusulmu, pasti....
Selamat Jalan Om,
Sampai jumpa
Ia pergi dalam kesendirian,
Di sebuah tempat dimana hanya ada dia dan ALlah.
Dan berita kepergian dalam sepi itu
Menghentak kesepian dan ketenangan waktu maghrib.
Lagi-lagi, tak terasa, tak terbaca
Allah menjemput satu lagi keluargaku
Ia yang semasa hidupnya begitu diam,
Sering hanya senyum saja yang menatapku jika bertemu
Tak banyak kata, tak banyak ucap,
Senyum lewat tarikan bibir dan pandangan mata
Itu saja.
Om,
Kami tak ada disisimu saat ini
Kami tak bisa ikut berjalan disamping kerandamu
Tapi Om, doa kami menemanimu tidur panjang
Sampaikan salam kami pada yang kau temui disana.
Mungkin hari ini, besok, lusa, atau entah
kami akan menyusulmu, pasti....
Selamat Jalan Om,
Sampai jumpa
Thursday, April 03, 2008
1/4 Abad sudah
Rabu, 27 Februari 2008, usia saya genap seperempat abad.
Ah, usia yang sudah begitu banyak diberi oleh Allah. Adakah itu berarti? Apakah sudah ada percik kebahagiaan yang saya kucurkan ke orang lain? Adakah manfaat yang dirasakan oleh orang-orang dengan kehadiran saya? Ataukah justru kebencian yang telah saya sebar?
Tak bisa, saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Hampir tak ada yang berarti yang saya semai padahal waktu merangsek hebat dan tiba-tiba saya sudah di angka seperempat abad. Padahal pula, saya tak tahu masih bisakah saya tiba di seperempat abad berikutnya. Akankah Allah memberi kesempatan pada saya menggenapi setengah abad? Tak ada jaminan. Kalaupun iya, akankah ia terlewati dengan sempurna ataukah seperti mengulang lembar seperempat abad ini, berlalu dengan kesia-siaan?
Saya tergugu. Betapa telah banyak yang Allah berikan pada saya. Panca indera yang lengkap tanpa pernah saya minta, udara yang selalu bisa saya hirup tanpa pernah Ia minta bayarannya, air yang selalu masih bisa saya rasakan kesegarannya, orang-orang yang mencintai saya, sungguh teramat banyak. Dan adakah yang saya berikan? Ah, betapa jiwa kerdil ini tidak mampu membalas semua anugerah yang didapat. Padahal maut jelas-jelas tengah mengintai dan bisa menyergap kapan saja.
Aku hanya berharap dan mencoba memastikan semua yang aku lakukan adalah rangkaian sejarah hidup yang kutulis dengan tinta kebaikan saja. Agar kelak di saat maut telah mendekapku, orang-orang yang mengenalku hanya punya kenangan indah tentangku. Aku hanya ingin meninggalkan dunia ini dalam keadaan yang berarti. Seperti kata Mbak HTR dalam multiply-nya "Menjadi orang yang berarti di mataMu. Yang selalu sampai padaMu"
Allah, aku ingin sampai padaMU dengan indah
agar Kau mau memelukku,
menuntaskan dahagaku yang tertatih-tatih ........
......... mencintaiMU.
Terimakasih Rabb, atas nikmat seperempat abadMU,
aku butuh pandangan cintaMU
agar nikmat itu tak tersia-siakan.
Genggam tanganku, Rabb.
27 Februari 2008
Titik 11.58 pm
Ah, aku sudah begini tua
Ah, usia yang sudah begitu banyak diberi oleh Allah. Adakah itu berarti? Apakah sudah ada percik kebahagiaan yang saya kucurkan ke orang lain? Adakah manfaat yang dirasakan oleh orang-orang dengan kehadiran saya? Ataukah justru kebencian yang telah saya sebar?
Tak bisa, saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Hampir tak ada yang berarti yang saya semai padahal waktu merangsek hebat dan tiba-tiba saya sudah di angka seperempat abad. Padahal pula, saya tak tahu masih bisakah saya tiba di seperempat abad berikutnya. Akankah Allah memberi kesempatan pada saya menggenapi setengah abad? Tak ada jaminan. Kalaupun iya, akankah ia terlewati dengan sempurna ataukah seperti mengulang lembar seperempat abad ini, berlalu dengan kesia-siaan?
Saya tergugu. Betapa telah banyak yang Allah berikan pada saya. Panca indera yang lengkap tanpa pernah saya minta, udara yang selalu bisa saya hirup tanpa pernah Ia minta bayarannya, air yang selalu masih bisa saya rasakan kesegarannya, orang-orang yang mencintai saya, sungguh teramat banyak. Dan adakah yang saya berikan? Ah, betapa jiwa kerdil ini tidak mampu membalas semua anugerah yang didapat. Padahal maut jelas-jelas tengah mengintai dan bisa menyergap kapan saja.
Aku hanya berharap dan mencoba memastikan semua yang aku lakukan adalah rangkaian sejarah hidup yang kutulis dengan tinta kebaikan saja. Agar kelak di saat maut telah mendekapku, orang-orang yang mengenalku hanya punya kenangan indah tentangku. Aku hanya ingin meninggalkan dunia ini dalam keadaan yang berarti. Seperti kata Mbak HTR dalam multiply-nya "Menjadi orang yang berarti di mataMu. Yang selalu sampai padaMu"
Allah, aku ingin sampai padaMU dengan indah
agar Kau mau memelukku,
menuntaskan dahagaku yang tertatih-tatih ........
......... mencintaiMU.
Terimakasih Rabb, atas nikmat seperempat abadMU,
aku butuh pandangan cintaMU
agar nikmat itu tak tersia-siakan.
Genggam tanganku, Rabb.
27 Februari 2008
Titik 11.58 pm
Ah, aku sudah begini tua
Monday, March 03, 2008
Menjaga Keikhlasan
Menghadirkan keikhlasan memang sulit, tapi lebih sulit lagi menjaga agar keikhlasan itu tetap ada. Begitu kurang lebih jargon yang dipakai salah satu sahabat dunia maya saya, indra (aku lebih suka memanggilnya fathi), sebagai tema blog-nya di suatu masa. Di masa-masa itu, tertanam kuat bahwa kata-kata itu memang betul. Dan hari-hari belakangan ini kalimat itu berputar-putar di kepalaku, bermain-main di sekitarku.
Pantaskah ketika di suatu masa kita berbuat baik lalu kemudian mengungkitnya karena orang yang dibaiki itu melakukan sesuatu yang mengecewakan diri? Lalu apa dengan begitu, pahala kebaikan itu menguap, membumbung ke angkasa dan jatuh menjadi hujan penyesalan?. Alangkah ruginya.
Dulu, semasa kuliah, saya pernah membaca di sebuah tulisan yang entah milis, entah web sebuah organisasi atau apa, yang jelas sejak baca sampai saat ini, inti tulisan itu menjadi salah satu prinsip dalam hidup.
1. Jangan berkata " Untung ada saya". Karena kalo Allah mau, Allah bisa saja kasih kesempatan berbuat baik itu untuk orang lain. Kayak gak ada orang lain saja.
2. Jangan berkata "Bukannya saya menuntut balasan, paling tidak ingat dong kalo pernah dibantu". Katanya gak nuntut balasan, lah, tadi tuh apa?
3. Jangan berkata "Sudah dibantu gak tau terimakasih". Kalo mo bantu, bantu aja. Ngapain repot-repot minta di-terimakasih-i
Pertama baca langsung saja saya notepad-in tanpa sempat menulis sumbernya. Siapapun anda, thank you.
Back to topic, eneg aja (emosi, red) kalo ada orang yang tiba-tiba ngomong di depan saya kalo pernah tolong si Anu-lah, pernah minjemin duit si Inu-lah, pernah bantu si Enu-lah. Males banget. Atau "Punyamu istri saya yang lunasi, 60 ribu harganya". Bah, apapula itu. Emang kamu pernah diminta bayarin? Gak kan? Trus skarang kalo istrimu sok mau bayarin, ngapain lu pengumuman?.
Atau juga seorang suami yang lain bilang ke istrinya yang berniat ngasih sesuatu ke saudara2nya "Kamu mau kasih ini ke mereka, emangnya mereka nanti kasih apa?" Ih, males banget. Apaan sih? Sama sekali bukan omongan yang bermutu. Kalaupun niatnya bercanda, itu candaan yang basi, yang gak berbobot.
Yang kayak gini nih sia-sia semua yang sudah kita lakukan, se-sia-sia membuang garam ke lautan dan ajarin cicak terbang.
Kalo dengan mendengar dan melihat sikap seseorang kayak gitu, sudah sangat cukup menyedot hormon emosi saya, apatah lagi jika kata-kata itu tertujunya ke saya. Sedihnya, ini yang belakangan terjadi dalam hari-hariku. Sibuk mengungkit betapa sudah banyak hal yang dilakukan untuk saya. Betapa telah dikorbankan banyak hal. Oke, fine, saya ngerti itu sepenuhnya benar. Tapi dengan mengutarakannya, apa yang kamu tuntut dari saya? Berterimakasih? Hanya Allah yang tahu betapa terimakasih itu berada di kantong hati saya paling dalam dan tulus. Terimakasih saya kembalikan pada Allah karena telah memilihmu yang berbagi denganku, yang do much thing for me. Dan terimakasih itu menguap, membumbung ke angkasa berwujud doa semoga segala kemudahan, kebahagiaan dan keberkahan Allah menyertai hari-harimu. Saya gak bisa ngapa-ngapain. Hanya seucap kata "Terimakasih" setiap kau menanam satu lagi saham kebaikan dalam kehidupanku. Kadang ucapan itu saya ganti dengan "Gak usah repot-repot" dan bahkan kadang mencoba menolak sebisaku. Selain itu, apa yang kau pikir bisa aku lakukan? Terus terang, saya gak bisa membalas dengan cara yang sama karena saya tak mampu untuk itu. Kalaupun ada saat saya mampu melakukannya, saya tak mau. Saya cenderung memilih untuk membalas dengan tindakan, dengan telinga untuk mendengar, dengan kehadiran setiap kau butuh, tapi tidak materi. Bukan pelit, tapi karena saya tak bisa menilai kebaikan dengan materi karena memang tak ada nilai materi yang sebanding dengan kebaikan yang efeknya nembus sampai ke hati, gak ada.
Saya berharap kau tahu, jeng, bahwa tanpa semua yang kau beri pun, kau sudah teramat indah di hatiku. Maaf jika telah menyakiti hatimu. Dan, ssst, saya tahu kamu membelai rambut saya semalam ketika kau pikir saya telah tertidur, padahal beberapa jam sebelumnya kita sempat bertengkar hebat. Aku tahu, belaian itu adalah ekspresi maaf darimu.
Sist, maaf telah banyak membebani. Hanya Allah yang mampu membalas dengan kebaikan yang setimpal, bahkan lebih besar.
Pantaskah ketika di suatu masa kita berbuat baik lalu kemudian mengungkitnya karena orang yang dibaiki itu melakukan sesuatu yang mengecewakan diri? Lalu apa dengan begitu, pahala kebaikan itu menguap, membumbung ke angkasa dan jatuh menjadi hujan penyesalan?. Alangkah ruginya.
Dulu, semasa kuliah, saya pernah membaca di sebuah tulisan yang entah milis, entah web sebuah organisasi atau apa, yang jelas sejak baca sampai saat ini, inti tulisan itu menjadi salah satu prinsip dalam hidup.
1. Jangan berkata " Untung ada saya". Karena kalo Allah mau, Allah bisa saja kasih kesempatan berbuat baik itu untuk orang lain. Kayak gak ada orang lain saja.
2. Jangan berkata "Bukannya saya menuntut balasan, paling tidak ingat dong kalo pernah dibantu". Katanya gak nuntut balasan, lah, tadi tuh apa?
3. Jangan berkata "Sudah dibantu gak tau terimakasih". Kalo mo bantu, bantu aja. Ngapain repot-repot minta di-terimakasih-i
Pertama baca langsung saja saya notepad-in tanpa sempat menulis sumbernya. Siapapun anda, thank you.
Back to topic, eneg aja (emosi, red) kalo ada orang yang tiba-tiba ngomong di depan saya kalo pernah tolong si Anu-lah, pernah minjemin duit si Inu-lah, pernah bantu si Enu-lah. Males banget. Atau "Punyamu istri saya yang lunasi, 60 ribu harganya". Bah, apapula itu. Emang kamu pernah diminta bayarin? Gak kan? Trus skarang kalo istrimu sok mau bayarin, ngapain lu pengumuman?.
Atau juga seorang suami yang lain bilang ke istrinya yang berniat ngasih sesuatu ke saudara2nya "Kamu mau kasih ini ke mereka, emangnya mereka nanti kasih apa?" Ih, males banget. Apaan sih? Sama sekali bukan omongan yang bermutu. Kalaupun niatnya bercanda, itu candaan yang basi, yang gak berbobot.
Yang kayak gini nih sia-sia semua yang sudah kita lakukan, se-sia-sia membuang garam ke lautan dan ajarin cicak terbang.
Kalo dengan mendengar dan melihat sikap seseorang kayak gitu, sudah sangat cukup menyedot hormon emosi saya, apatah lagi jika kata-kata itu tertujunya ke saya. Sedihnya, ini yang belakangan terjadi dalam hari-hariku. Sibuk mengungkit betapa sudah banyak hal yang dilakukan untuk saya. Betapa telah dikorbankan banyak hal. Oke, fine, saya ngerti itu sepenuhnya benar. Tapi dengan mengutarakannya, apa yang kamu tuntut dari saya? Berterimakasih? Hanya Allah yang tahu betapa terimakasih itu berada di kantong hati saya paling dalam dan tulus. Terimakasih saya kembalikan pada Allah karena telah memilihmu yang berbagi denganku, yang do much thing for me. Dan terimakasih itu menguap, membumbung ke angkasa berwujud doa semoga segala kemudahan, kebahagiaan dan keberkahan Allah menyertai hari-harimu. Saya gak bisa ngapa-ngapain. Hanya seucap kata "Terimakasih" setiap kau menanam satu lagi saham kebaikan dalam kehidupanku. Kadang ucapan itu saya ganti dengan "Gak usah repot-repot" dan bahkan kadang mencoba menolak sebisaku. Selain itu, apa yang kau pikir bisa aku lakukan? Terus terang, saya gak bisa membalas dengan cara yang sama karena saya tak mampu untuk itu. Kalaupun ada saat saya mampu melakukannya, saya tak mau. Saya cenderung memilih untuk membalas dengan tindakan, dengan telinga untuk mendengar, dengan kehadiran setiap kau butuh, tapi tidak materi. Bukan pelit, tapi karena saya tak bisa menilai kebaikan dengan materi karena memang tak ada nilai materi yang sebanding dengan kebaikan yang efeknya nembus sampai ke hati, gak ada.
Saya berharap kau tahu, jeng, bahwa tanpa semua yang kau beri pun, kau sudah teramat indah di hatiku. Maaf jika telah menyakiti hatimu. Dan, ssst, saya tahu kamu membelai rambut saya semalam ketika kau pikir saya telah tertidur, padahal beberapa jam sebelumnya kita sempat bertengkar hebat. Aku tahu, belaian itu adalah ekspresi maaf darimu.
Sist, maaf telah banyak membebani. Hanya Allah yang mampu membalas dengan kebaikan yang setimpal, bahkan lebih besar.
Saturday, January 19, 2008
Manusia Cahaya yang Terluka
Dia terluka, jatuh terhempas
Katanya, seperti jatuh dari gedung berlantai 250
dan dia ada di lantai teratas itu
Begitu tubuhnya sampai tanah,
Gedung itu ambruk menimpa tubuhnya
Maka serupa raganya yang hancur
Jiwanya pun ikut mati
Katanya, ia tak lagi bisa merasakan sakitnya
Katanya, ia tak peduli lagi apa setelah ini
Katanya, ia pasrah
Dan ia bertanya, apakah ia benar?
Bangunan di taman hatinya hancur
Itu sebabnya ia menangis
Tapi ia melihat di depannya ada yang lebih hancur
Lalu kenapa justru orang itu yang menggenggam tangannya mengalirkan kekuatan?
Bukankah orang itu lebih terluka?
Bukankah manusia itu yang bergetar hebat hatinya karena rasa sakit
Lalu, kenapa manusia itu malah mengkhawatirkan perasaannya
Sungguh, manusia itu adalah manusia cahaya
Yang ketegarannya mampu melenyapkan semua gundah, begitu katanya
Dan ia pun bilang : "Saya memang melihat matanya menangis. Tapi saya juga melihat percik cahaya di matanya. Dan percikan itu berujar, "aku akan melanjutkan hidup untuk anak-anakku""
Ia pun meneguhkan hatinya
Ia tak akan membiarkan air matanya jatuh lagi
Manusia cahaya telah mengilhaminya untuk tegar
Manusia itu berkata dengan pandangannya yang lembut
Bahwa dunia tak berhenti berputar
Manusia cahaya itu yang hatinya porak poranda
Maka jika manusia cahaya itu sudah menemukan cara membalut kembali hati,
Ia bilang, ia akan membersamai manusia cahaya itu
Ia bilang, ia tak akan menangis lagi
Agar manusia cahaya itu tak lagi mengkhawatirkan dirinya
Dan aku hanya bisa mendengar semua catatan hati dia dan manusia cahaya itu
Bahuku luas menadah kepala mereka jika ingin bersandar
Telingaku lapang untuk mendengar mereka bertutur
Tanganku tak lelah menyeka air mata mereka
Dan lisanku hanya bisa berucap,
"Allah adalah sumber ketenangan.
Gelarkanlah sajadah, tumpahkanlah semuanya di tiap jengkal sajadah.
Allah akan memeluk aku, dia dan manusia cahaya itu"
Katanya, seperti jatuh dari gedung berlantai 250
dan dia ada di lantai teratas itu
Begitu tubuhnya sampai tanah,
Gedung itu ambruk menimpa tubuhnya
Maka serupa raganya yang hancur
Jiwanya pun ikut mati
Katanya, ia tak lagi bisa merasakan sakitnya
Katanya, ia tak peduli lagi apa setelah ini
Katanya, ia pasrah
Dan ia bertanya, apakah ia benar?
Bangunan di taman hatinya hancur
Itu sebabnya ia menangis
Tapi ia melihat di depannya ada yang lebih hancur
Lalu kenapa justru orang itu yang menggenggam tangannya mengalirkan kekuatan?
Bukankah orang itu lebih terluka?
Bukankah manusia itu yang bergetar hebat hatinya karena rasa sakit
Lalu, kenapa manusia itu malah mengkhawatirkan perasaannya
Sungguh, manusia itu adalah manusia cahaya
Yang ketegarannya mampu melenyapkan semua gundah, begitu katanya
Dan ia pun bilang : "Saya memang melihat matanya menangis. Tapi saya juga melihat percik cahaya di matanya. Dan percikan itu berujar, "aku akan melanjutkan hidup untuk anak-anakku""
Ia pun meneguhkan hatinya
Ia tak akan membiarkan air matanya jatuh lagi
Manusia cahaya telah mengilhaminya untuk tegar
Manusia itu berkata dengan pandangannya yang lembut
Bahwa dunia tak berhenti berputar
Manusia cahaya itu yang hatinya porak poranda
Maka jika manusia cahaya itu sudah menemukan cara membalut kembali hati,
Ia bilang, ia akan membersamai manusia cahaya itu
Ia bilang, ia tak akan menangis lagi
Agar manusia cahaya itu tak lagi mengkhawatirkan dirinya
Dan aku hanya bisa mendengar semua catatan hati dia dan manusia cahaya itu
Bahuku luas menadah kepala mereka jika ingin bersandar
Telingaku lapang untuk mendengar mereka bertutur
Tanganku tak lelah menyeka air mata mereka
Dan lisanku hanya bisa berucap,
"Allah adalah sumber ketenangan.
Gelarkanlah sajadah, tumpahkanlah semuanya di tiap jengkal sajadah.
Allah akan memeluk aku, dia dan manusia cahaya itu"
Ustadz Cahaya, Penabur Cinta
Teman perjalanan paling setia bagiku adalah buku. Dan perjalanan balik hari ini ke Piru, aku sibuk dengan menentukan buku mana yang dibawa. Sebenarnya pengen ambil buku Risalah Pergerakan tapi berhubung cuaca lagi gak bagus, ombak dan juga angin, aku memutuskan ambil bacaan yang gak terlalu serius supaya perjalananku yang sepertinya nanti bakal dibuat tegang oleh cuaca, tidak perlu ditegangkan lagi dengan beratnya bacaan. Pilihan pun jatuh pada buku yang kubeli pertengahan 2005 lalu. Buku yang ditulis oleh Helvy Tiana Rosa, dkk tentang kenangan bersama KH. Rahmat Abdullah. Buku itu berjudul EPISODE CINTA SANG MURABBI.
Mulailah buku itu saya baca saat feri Samandar di pagi hari bertolak dari Hunimua. Dan efek buku itu ternyata lebih luar biasa dari yang saya kira sebelumnya. Perasaan berkecamuk, merinding, haru, bersyukur pernah tahu ada Ustadz sekaliber almarhum menjalar menjadi satu saat membaca satu persatu rangakain kenangan tentang beliau. Seluruh sisi kehidupan beliau adalah kebaikan yang berkilau. Cerita-cerita kebaikan Almarhum menjelma menjadi satu kumpulan jutaan burung yang beterbangan ke langit ketrujuh sebagai saksi. Nyaris tak ada langkahnya yang bukan dakwah
Kalau saat ini, saya posting tulisan tentang beliau, itu sama sekali tidak bermaksud mengingatkan kesedihan yang sama-sama kita rasakan Juni 2005 lalu. Saya hanya ingin mengambil hikmah tentang bagaimana kita ingin dikenang nanti saat kita telah tiada.
Ada kalimat yang begitu mengilhamiku, bahwa jika kita ingin merancang bagaimana kehidupan kita mau kita jalani, tetapkan dulu ingin seperti apa kita dikenang. Apa yang kita inginkan orang-orang bicara tentang kita di hari pemakaman kita. Kalau kita sudah tahu jawabannya, barulah kita bisa memilih, hidup seperti apa yang ingin kita jalani.
Almarhum menjadi contoh kenangan yang indah, yang selalu berupa kenangan baik dari setiap orang yang pernah berinteraksi dengannya. Bahkan aku. Aku tak pernah bertemu beliau. Tak pernah mendengar suaranya. Aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisan ajaib di kolom Assasiyat majalah Tarbawi. Di sebuah pengajian di teras masjid kampus, mbak I yang mengisi pengajian kami saat itu pernah bilang "Ustadz Rahmat itu, gak usah dengar suaranya. Liat beliau saja, liat wajahnya saja, hati ini sudah sangat tersejukkan. Itulah karena kedekatan beliau dengan Rabb.".
Sejak dengar mbak I bilang begitu, aku berjanji dalam hati bahwa suatu saat kalau Ustadz datang ke Surabaya, aku wajib menemuinya sekedar melihat teduh wajahnya dan mendengar untaian hikmah dari lisannya. Kesempatan itu pernah datang. Di kontrakan Ruhul Jaddid, aku dan teman2 KAMMI Komsat ITS syuro mempersiapkan berdirinya JARSAT ARH. Di dinding depan, saya lihat sebuah pamflet sebuah acara yang digelar KAMMI Komsat UNAIR dan menghadirkan beliau sebagai salah satu narasumber. Pamflet itu sudah ditempel 2 bulan sebelum hari H dan hari itu sudah kulingkari di agenda.
Namun, manusia hanya bisa berencana. Hari H, aku lupa kenapa, aku justru tak bisa datang. Hingga beliau pergi, aku tak pernah bersua, meski hati rasanya tak berjarak.
Selasa 14 Juni 2005. Sore itu, jadwalku berkumpul rutin dengan kelompok tarbiyahku. Saat itu, setelah materi utama dari mbak, kami sempat menyebut nama beliau. Buku tulisan beliau yang rencananya akan kami bedah. Maghrib berjamaah menjadi jadwal penutup. Sesampai di rumah, belum lama, sms dari mbak mengejutkanku. Bahwa Ustadz sudah berpulang maghrib tadi. Aku merinding, seperti ada yang tercerabut dari akar hati. Seperti ada ruang yang hampa.
teringat beberapa pesan beliau dalam berbagai media :
@ Allah SWT akan senantiasa menguji antum di titik terlemah antum. Maka perbaikilah segala kelemahan-kelemahan kita di jalan dakwah ini.
@ Tidak ada lagi waktu bagi kita untuk beristirahat. Tugas dakwah kita terlalu banyak. Jika engkau ingin istirahat wahai pemuda, nanti...ketika engkau langkahkan kakimu ke surga. (ini kupakai sebagai judul blog, karena kalimat ini begitu dalam mengilhamiku. Banyak kalimat2 bagus, tapi efeknya tak sedahsyat ini sampai tak pernah tergoda mengganti. Seperti ada yang menyetrum dan berteriak "Hei, kenapa kau hanya duduk disini sementara kalimat Allah belum tegak di atas bumi, Palestinamu masih terjajah, kebatilan masih tertawa, dan kau sudah beristirahat?" setiap membacanya )
@ Jadilah orang yang merdeka. Yang bersuara tatkala diinjak-injak. Yang mengatakan sejujurnya bahwa yang salah itu salah. Yang mengatakan kebenaran dengan sesungguhnya,
Mungkin saat ini beliau sedang bercanda bersama Rasulullah, Tolong sampaikan pada baginda Rasul, di bumi ini masih ada dakwah.
nb : Tulisan ini dibuat 3 Jan 2008, dan baru diposting sekarang saat masih tersentak dengan berita duka di milis yang memberi kabar kepergian Akhina Supra. Semoga jiwa mujahidnya mengalirkan semangat yang sama bagi kami.
Kawan, giliran kita akan tiba. Itu kepastian. Persiapkanlah dengan indah
Tujuh awan bersuka ria, sambut ruh suci menghadap Rabb-nya.
Sahabat, nantikan hadir kami. Kan menyusulmu sebentar lagi (Untukmu Syuhada-IZIS)
Mulailah buku itu saya baca saat feri Samandar di pagi hari bertolak dari Hunimua. Dan efek buku itu ternyata lebih luar biasa dari yang saya kira sebelumnya. Perasaan berkecamuk, merinding, haru, bersyukur pernah tahu ada Ustadz sekaliber almarhum menjalar menjadi satu saat membaca satu persatu rangakain kenangan tentang beliau. Seluruh sisi kehidupan beliau adalah kebaikan yang berkilau. Cerita-cerita kebaikan Almarhum menjelma menjadi satu kumpulan jutaan burung yang beterbangan ke langit ketrujuh sebagai saksi. Nyaris tak ada langkahnya yang bukan dakwah
Kalau saat ini, saya posting tulisan tentang beliau, itu sama sekali tidak bermaksud mengingatkan kesedihan yang sama-sama kita rasakan Juni 2005 lalu. Saya hanya ingin mengambil hikmah tentang bagaimana kita ingin dikenang nanti saat kita telah tiada.
Ada kalimat yang begitu mengilhamiku, bahwa jika kita ingin merancang bagaimana kehidupan kita mau kita jalani, tetapkan dulu ingin seperti apa kita dikenang. Apa yang kita inginkan orang-orang bicara tentang kita di hari pemakaman kita. Kalau kita sudah tahu jawabannya, barulah kita bisa memilih, hidup seperti apa yang ingin kita jalani.
Almarhum menjadi contoh kenangan yang indah, yang selalu berupa kenangan baik dari setiap orang yang pernah berinteraksi dengannya. Bahkan aku. Aku tak pernah bertemu beliau. Tak pernah mendengar suaranya. Aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisan ajaib di kolom Assasiyat majalah Tarbawi. Di sebuah pengajian di teras masjid kampus, mbak I yang mengisi pengajian kami saat itu pernah bilang "Ustadz Rahmat itu, gak usah dengar suaranya. Liat beliau saja, liat wajahnya saja, hati ini sudah sangat tersejukkan. Itulah karena kedekatan beliau dengan Rabb.".
Sejak dengar mbak I bilang begitu, aku berjanji dalam hati bahwa suatu saat kalau Ustadz datang ke Surabaya, aku wajib menemuinya sekedar melihat teduh wajahnya dan mendengar untaian hikmah dari lisannya. Kesempatan itu pernah datang. Di kontrakan Ruhul Jaddid, aku dan teman2 KAMMI Komsat ITS syuro mempersiapkan berdirinya JARSAT ARH. Di dinding depan, saya lihat sebuah pamflet sebuah acara yang digelar KAMMI Komsat UNAIR dan menghadirkan beliau sebagai salah satu narasumber. Pamflet itu sudah ditempel 2 bulan sebelum hari H dan hari itu sudah kulingkari di agenda.
Namun, manusia hanya bisa berencana. Hari H, aku lupa kenapa, aku justru tak bisa datang. Hingga beliau pergi, aku tak pernah bersua, meski hati rasanya tak berjarak.
Selasa 14 Juni 2005. Sore itu, jadwalku berkumpul rutin dengan kelompok tarbiyahku. Saat itu, setelah materi utama dari mbak, kami sempat menyebut nama beliau. Buku tulisan beliau yang rencananya akan kami bedah. Maghrib berjamaah menjadi jadwal penutup. Sesampai di rumah, belum lama, sms dari mbak mengejutkanku. Bahwa Ustadz sudah berpulang maghrib tadi. Aku merinding, seperti ada yang tercerabut dari akar hati. Seperti ada ruang yang hampa.
teringat beberapa pesan beliau dalam berbagai media :
@ Allah SWT akan senantiasa menguji antum di titik terlemah antum. Maka perbaikilah segala kelemahan-kelemahan kita di jalan dakwah ini.
@ Tidak ada lagi waktu bagi kita untuk beristirahat. Tugas dakwah kita terlalu banyak. Jika engkau ingin istirahat wahai pemuda, nanti...ketika engkau langkahkan kakimu ke surga. (ini kupakai sebagai judul blog, karena kalimat ini begitu dalam mengilhamiku. Banyak kalimat2 bagus, tapi efeknya tak sedahsyat ini sampai tak pernah tergoda mengganti. Seperti ada yang menyetrum dan berteriak "Hei, kenapa kau hanya duduk disini sementara kalimat Allah belum tegak di atas bumi, Palestinamu masih terjajah, kebatilan masih tertawa, dan kau sudah beristirahat?" setiap membacanya )
@ Jadilah orang yang merdeka. Yang bersuara tatkala diinjak-injak. Yang mengatakan sejujurnya bahwa yang salah itu salah. Yang mengatakan kebenaran dengan sesungguhnya,
Mungkin saat ini beliau sedang bercanda bersama Rasulullah, Tolong sampaikan pada baginda Rasul, di bumi ini masih ada dakwah.
nb : Tulisan ini dibuat 3 Jan 2008, dan baru diposting sekarang saat masih tersentak dengan berita duka di milis yang memberi kabar kepergian Akhina Supra. Semoga jiwa mujahidnya mengalirkan semangat yang sama bagi kami.
Kawan, giliran kita akan tiba. Itu kepastian. Persiapkanlah dengan indah
Tujuh awan bersuka ria, sambut ruh suci menghadap Rabb-nya.
Sahabat, nantikan hadir kami. Kan menyusulmu sebentar lagi (Untukmu Syuhada-IZIS)
Tuesday, January 01, 2008
Kaleidoskop 2007
Kalo besok sudah tanggal 1, sebenarnya sih nothing special. Kata dek Eya, toh tiap bulan juga ada tanggal 1nya kan? Ya sih, makanya itu pula waktu diajak malam nanti ikut keliling kota sambut pergantian tahun, saya sih milih di rumah. Nonton teve, baca buku, ngemil, makan plus nemenin ibu yang juga di rumah (Papa, Caca dan dek Unhy pada buat acara sendiri-sendiri).
Cuman, saya sih pengen flashback aja setahun ini sudah ngapain sih? Dulu emang gak ada resolusi 2007, makanya gak bisa diukur keberhasilannya lewati tahun ini. Hanya mau berkaca, waktuku terbuang percuma gak sih? atau ada yang aku hasilkan? Minimal, hikmah apa sih sepanjang tahun ini yang bisa kutangkap.
Start dari Januari.
Ini salah satu bulan yang berat. Di bulan ini, satu goal tercipta diiringi rasa syukur yang tak henti. Pula, finaly aku memutuskan meninggalkan semua kesenangan di perantauan. Cerita perpisahan mewarnai bulan ini. Waktu harus berpisah dengan teman2 kuliah sesama pejuang skripsi, murid-muridku di STM serta rekan2 guru yang baru satu semester bertemu tapi sudah begitu dekat, 2 kelompok binaanku yang dari mereka justru aku belajar banyak, berpisah dengan lingkar cintaku sendiri yang telah banyak merangkai kisah bersama. Perpisahan dengan KMBI yang telah menjadi tempat aku memulai langkah sebagai aku yang baru, juga kost mungil tempatku menemukan
keluarga baru. Maka segala kenangan lalu dibungkus untuk dibawa pulang bersama.
Februari
Setelah meninggalkan kenangan untuk menjemput masa depan, maka disinilah saya. Di tanah kelahiran tercinta. Bulan ini bulan pemenuhan ruangan kosong yang selama ini jarang terisi, kunjungi keluarga. Masih mencoba beradaptasi dengan lingkungan yang telah sekian lama kutinggalkan plus bersilaturrahmi kemana-mana.
Maretnya
Belum ngapa-ngapain. Masih saja mencari kesesuaian dengan lingkungan sekarang. Masih saja menikmati hari-hari tanpa kuliah, syuro dan ngajar. Hanya baca baca dan baca plus program penggemukan badan. Sampe akhirnya pada akhir bulan ini, saya ke SBB memenuhi panggilan ikut dalam barisan membangun negeri.
Trus April
Masa-masa adaptasi dengan lingkungan pekerjaan. Shocking, but try hard to survive.
Lantas Mei
4 bulan setelah kembali, di bulan ini rindu kenangan memuncak. Pulsa HP bulan ini membengkak karena telepon plus sms kemana-mana sekedar memastikan tak ada yang melupakanku, hiks
Lalu Juni
Rindu untuk kembali bergerak, menekuni hari-hari penuh kedinamisan. Agar hidup kembali lebih hidup.
Julinya
Bulan ke-tujuh ini salah satu bulan yang berat. Penuh cobaan, tapi di bulan ini aku jadi tahu dengan pasti, betapa ada begitu banyak orang yang menyayangiku, yang mendampingiku saat aku jatuh dan terpuruk. Mereka ada dan tak pergi. Mereka meraihku dan membantuku berdiri. Sejak itu, aku tahu aku telah begitu terberkati oleh Allah karena diberi manusia-manusia penuh cinta itu untukku.
Kemudian Agustus
1. Ega keterima SPMB di fakultas impiannya
2. Dapat panggilan tes dari salah satu perusahaan terkemuka
3. Kantor rolling staf, jadi sekarang sudah di bidang yang ruangannya di tengah bagian depan.
4. Ibuku ujian sarjana dan LULUS. Love you, mommy
September Ceria
1. Remas PIRU terbentuk
2. Ramadhan luar biasa
Oktober datang
Setelah datang panggilan psikotes, lantas wawancara, maka saat mengambil keputusan pun tiba. Antara mengikuti idealisme atau mengikuti hati nurani. Dan hati nurani-lah yang jelas menang. Lalu ramadhan hampir usai dan Lebaran rame (semuanya kumpul lengkap) plus syahdu pun tiba. Dan ditutup dengan berita duka, salah satu bibiku meninggal. Terakhir, ia masih sempat menyuguhkan es kacang saat aku ber-ramadhan di Luhu. Miss you, ma Enga. Semoga jadi pelajaran untuk kami yang masih hidup bahwa akan tiba saatnya.
November lalala
Bulan ini bulan yang rame. Dimulai dari Eya yang wisuda. Sayang saya belum bisa ke Surabaya pas itu karena kerjaan masih numpuk. Di Lingkungan kantor, kita semua sudah punya atasan yang definitif paca pelantikan. Trus juga kisah sedih dibalik ketegangan efek trauma kerusuhan 1998 kejadian lagi dan ditutup dengan indah di kota Surabaya pada akhir bulan mengunjungi KMBI-ku tercinta (UKMBI, red)
Desember (tidak) kelabu
Bulan ini banyak peristiwa yang menjadi pegangan. Apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dirasa dan apa yang diperbuat semakin memantapkan langkahku. Telah kutemukan kemana aku ingin mengayunkan langkah, dimana aku akan menunjukkan eksistensi diriku. Puzzle raksasa yang tadinya gelap, kini sudah mulai terlihat meski samar.
Meski begitu, ada bagian kelabunya. Suami dari guru ngajiku meninggal. Papa Zen, semoga arwahmu diterima Allah. Beliau yang tak penah sakit flu sejak masuk Islam (mantan pendeta) karena cara berwudhu-nya yang luar biasa. Terimakasih telah menemani mama Em (Guru ngajiku) selama hidupnya, dan setelah mama Em sudah tiada pun, engkau masih tetap memberikan senyum pada kami jika kami ingin bertemu denganmu sembari mengenang
mama Em tercinta. Aku rindu kalian berdua, peletak batu kedua (setelah ortu) perkenalanku dengan Allah dan Islam. Terimakasih, hanya Allah yang mampu membalas
Catatan :
1. Temukan lautan tarbiyahmu lagi dan berenanglah
2. Amanah di DPD itu, bersiaplah
Cuman, saya sih pengen flashback aja setahun ini sudah ngapain sih? Dulu emang gak ada resolusi 2007, makanya gak bisa diukur keberhasilannya lewati tahun ini. Hanya mau berkaca, waktuku terbuang percuma gak sih? atau ada yang aku hasilkan? Minimal, hikmah apa sih sepanjang tahun ini yang bisa kutangkap.
Start dari Januari.
Ini salah satu bulan yang berat. Di bulan ini, satu goal tercipta diiringi rasa syukur yang tak henti. Pula, finaly aku memutuskan meninggalkan semua kesenangan di perantauan. Cerita perpisahan mewarnai bulan ini. Waktu harus berpisah dengan teman2 kuliah sesama pejuang skripsi, murid-muridku di STM serta rekan2 guru yang baru satu semester bertemu tapi sudah begitu dekat, 2 kelompok binaanku yang dari mereka justru aku belajar banyak, berpisah dengan lingkar cintaku sendiri yang telah banyak merangkai kisah bersama. Perpisahan dengan KMBI yang telah menjadi tempat aku memulai langkah sebagai aku yang baru, juga kost mungil tempatku menemukan
keluarga baru. Maka segala kenangan lalu dibungkus untuk dibawa pulang bersama.
Februari
Setelah meninggalkan kenangan untuk menjemput masa depan, maka disinilah saya. Di tanah kelahiran tercinta. Bulan ini bulan pemenuhan ruangan kosong yang selama ini jarang terisi, kunjungi keluarga. Masih mencoba beradaptasi dengan lingkungan yang telah sekian lama kutinggalkan plus bersilaturrahmi kemana-mana.
Maretnya
Belum ngapa-ngapain. Masih saja mencari kesesuaian dengan lingkungan sekarang. Masih saja menikmati hari-hari tanpa kuliah, syuro dan ngajar. Hanya baca baca dan baca plus program penggemukan badan. Sampe akhirnya pada akhir bulan ini, saya ke SBB memenuhi panggilan ikut dalam barisan membangun negeri.
Trus April
Masa-masa adaptasi dengan lingkungan pekerjaan. Shocking, but try hard to survive.
Lantas Mei
4 bulan setelah kembali, di bulan ini rindu kenangan memuncak. Pulsa HP bulan ini membengkak karena telepon plus sms kemana-mana sekedar memastikan tak ada yang melupakanku, hiks
Lalu Juni
Rindu untuk kembali bergerak, menekuni hari-hari penuh kedinamisan. Agar hidup kembali lebih hidup.
Julinya
Bulan ke-tujuh ini salah satu bulan yang berat. Penuh cobaan, tapi di bulan ini aku jadi tahu dengan pasti, betapa ada begitu banyak orang yang menyayangiku, yang mendampingiku saat aku jatuh dan terpuruk. Mereka ada dan tak pergi. Mereka meraihku dan membantuku berdiri. Sejak itu, aku tahu aku telah begitu terberkati oleh Allah karena diberi manusia-manusia penuh cinta itu untukku.
Kemudian Agustus
1. Ega keterima SPMB di fakultas impiannya
2. Dapat panggilan tes dari salah satu perusahaan terkemuka
3. Kantor rolling staf, jadi sekarang sudah di bidang yang ruangannya di tengah bagian depan.
4. Ibuku ujian sarjana dan LULUS. Love you, mommy
September Ceria
1. Remas PIRU terbentuk
2. Ramadhan luar biasa
Oktober datang
Setelah datang panggilan psikotes, lantas wawancara, maka saat mengambil keputusan pun tiba. Antara mengikuti idealisme atau mengikuti hati nurani. Dan hati nurani-lah yang jelas menang. Lalu ramadhan hampir usai dan Lebaran rame (semuanya kumpul lengkap) plus syahdu pun tiba. Dan ditutup dengan berita duka, salah satu bibiku meninggal. Terakhir, ia masih sempat menyuguhkan es kacang saat aku ber-ramadhan di Luhu. Miss you, ma Enga. Semoga jadi pelajaran untuk kami yang masih hidup bahwa akan tiba saatnya.
November lalala
Bulan ini bulan yang rame. Dimulai dari Eya yang wisuda. Sayang saya belum bisa ke Surabaya pas itu karena kerjaan masih numpuk. Di Lingkungan kantor, kita semua sudah punya atasan yang definitif paca pelantikan. Trus juga kisah sedih dibalik ketegangan efek trauma kerusuhan 1998 kejadian lagi dan ditutup dengan indah di kota Surabaya pada akhir bulan mengunjungi KMBI-ku tercinta (UKMBI, red)
Desember (tidak) kelabu
Bulan ini banyak peristiwa yang menjadi pegangan. Apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dirasa dan apa yang diperbuat semakin memantapkan langkahku. Telah kutemukan kemana aku ingin mengayunkan langkah, dimana aku akan menunjukkan eksistensi diriku. Puzzle raksasa yang tadinya gelap, kini sudah mulai terlihat meski samar.
Meski begitu, ada bagian kelabunya. Suami dari guru ngajiku meninggal. Papa Zen, semoga arwahmu diterima Allah. Beliau yang tak penah sakit flu sejak masuk Islam (mantan pendeta) karena cara berwudhu-nya yang luar biasa. Terimakasih telah menemani mama Em (Guru ngajiku) selama hidupnya, dan setelah mama Em sudah tiada pun, engkau masih tetap memberikan senyum pada kami jika kami ingin bertemu denganmu sembari mengenang
mama Em tercinta. Aku rindu kalian berdua, peletak batu kedua (setelah ortu) perkenalanku dengan Allah dan Islam. Terimakasih, hanya Allah yang mampu membalas
Catatan :
1. Temukan lautan tarbiyahmu lagi dan berenanglah
2. Amanah di DPD itu, bersiaplah
Subscribe to:
Posts (Atom)